Follow Us @farahzu

Monday, February 21, 2011

cukup singkat untuk jadi sahabatku

7:18 PM 5 Comments

Sahabat itu...
Biasanya kita anggap demikian karena menemukan kebaikan-kebaikan yang konsisten diberikannya untuk kita. Biasanya kita bisa merasakan ketulusan, meski tanpa keterangan, ‘aku tulus memberikannya/melakukannya untukmu’.

Sahabat adalah setelah pertemanan yang panjang; biasanya. Setelah saling mengenal, berinteraksi, saling memberi, menerima kebaikan-kebaikannya, bersabar atas sifatnya yang kurang baik, dan menerima dengan lapang bahwa, “dia baik, dia sahabatku”.

Namun ternyata, aku punya beberapa sahabat, beberapa orang yang belum lama berinteraksi denganku. Yang aku tau hanya, aku merasa nyaman dengan mereka. Selanjutnya mereka tidak menyebalkan. Atau, selain nyaman, mereka juga baik kepadaku. Itu saja.

Hey, sahabat-sahabatku, terima kasih ya ^^

As Every Monday Morning

2:17 PM 1 Comments
Hampir semua orang yang saya kenal, merasa berat hati ketika pada Ahad malam menyadari tentang sesuatu; “Ouch, besok sudah Senin ya?!” Teman-teman, kuliah maupun kerja, menampakkan gejala yang sama. Tapi, mungkin beda kalau yang pengusaha, karena semuanya mudah diatur. Itulah hebatnya. *tapi saya ga bahas tentang pengusaha kok...

Senin pagi, dirasakan berat oleh sebagian orang. Kebanyakan merasa masih lelah karena waktu liburnya dirasa kurang, atau bisa juga lelahnya karena liburan (cth: melancong, hhe). Tapi, bisa juga karena berat menghadapi ‘kenyataan’ kembali.

Kalau hari pertama setelah libur adalah hari yang berat bagi kebanyakan orang, menurut saya, kalau dilihat dari kacamata ideal, ini aneh. Yang namanya libur, harusnya kan sebagai pemulih kondisi tubuh, pikiran, maupun ruhani setelah banyak beraktivitas selama berhari-hari. Untuk refreshing juga. Namun kalau kenyataannya setelah ‘refreshing’ itu malah merasa berat, dari mana dong seharusnya orang-orang mendapatkan semangat untuk produktif kembali?

Yang saya perhatikan juga, senin adalah hari yang paling sibuk. Kereta lebih penuh penumpang, baik berangkat maupun pulang. Jalan-jalan sudah macet lebih awal. Pakaian orang-orang lebih ‘rapi’. Ritme kerja lebih cepat dan saya merasa ‘lebih tegang’.

Uhm... tapi, seiring berjalannya waktu, dari Senin pagi ke Senin siang, ke sore dan ke malam, hingga akhirnya tiba hari berikutnya, ‘ketegangan Senin’ mulai mereda dan energi pun mulai bermunculan kembali. Mungkin ketegangan itu hanya momok.

Setelah melalui pemikiran yang tidak dalam dan perenungan yang tidak panjang, saya pun menyimpulkan: yang berat itu memulai. Langkah pertama. Sampai ada sebuah inspirasi terkenal: seribu langkah besar pasti dimulai dari satu langkah kecil.

Karena yang berat itu memulai. Memecah mimpi besar ke dalam sekian cita-cita dan prestasi kecil-kecil hingga pada akhirnya sukses lah sang mimpi besar tercapai. Kesabaran lah yang membuatnya bisa merasakan kemudahan, melintasi waktu-waktu yang terbingkai oleh ketegangan, yang seringkali bingkainya hanya ada di dalam pikiran kita.

Semangaaaatttt!!!

Senin, 21 Februari 2011
Dari dan untuk rekan-rekan yang
selalu menginspirasi
*mudah-mudahan saya bisa mengamalkan ^_^

Friday, February 18, 2011

FF-- Menahan Uang

8:37 AM 8 Comments
         Suatu pagi ketika matahari belum muncul, seorang ayah dan ibu berbincang di meja makan, sambil menemani anak gadisnya sarapan. Mereka tengah membicarakan harga tiket pesawat yang bisa lebih murah beberapa ratus ribu jika pembayaran dilakukan dengan kartu kredit.
        Tapi keluarga itu tidak memiliki kartu kredit satupun. Sang anak berkata,
“Aku ingat kata ayah; (jika ingin sesuatu)
kalau punya uang, beli, kalau tidak, diam saja.”
Anak ini diajarkan untuk menahan hawa nafsunya dan tidak membiasakan berhutang.
“Kata Nurul (temannya) juga; jangan beli kalau sedang kepingin”.
       Artinya, belilah barang yang kau butuhkan, bukan yang kau inginkan karena ingin itu relatif semu.
       Sang ayah dan sang ibu mulai tersenyum mendengar kata-kata anaknya itu, ‘anakku sudah mulai bijak bersikap pada uang dan hatinya’.
       Namun sayang, sang anak melanjutkan,
“Nah, aku insya Allah bisa sih kalau nahan beli-beli barang. Tapi aku ga bisa nahan kalau diajak jalan-jalan... gimana dong?”
Seketika mereka berkomentar gubrak...

Sunday, February 13, 2011

Waktu Kita Sama

3:32 PM 7 Comments
    Tapi kok nasib kita beda-beda ya? Ada yang sukses, ada yang biasa aja, ada yang melarat. Jawaban gampangnya: takdir. =_______=’’’
    Tapi dalam hal ini kita bisa memilih. Takdir untuk sukses, biasa saja, atau melarat. Kala kita memilih takdir sukses, maka pilihan (sadar) itu akan mengarahkan jiwa, raga, dan pikiran untuk menemui takdir itu. Usaha yang keras. Dan cerdas. Juga ikhlas. *mirip mottonya ka edwin. Hehe
    Ya, waktu kita sama. 24 jam sehari. 7 hari sepekan. 4 pekan sebulan, dan seterusnya. Tapi cara kita memberi makna dan nilai terhadap waktu itu yang berbeda. Sama-sama di angkutan umum; ada yang bengong, ngobrol, tidur, mainan handphone, dzikir, membaca, memikirkan rencana hidup, masalah kerja dan sekolah, berdagang, mencicil tugas/pekerjaan, dan lain-lain.
     Waktu tidak bernilai, kalau kita tidak memberinya nilai. Pun tidak menambah kebaikan pada diri kita, kalau kita tidak menjadikannya detik-detik perbaikan.
    That’s it. Semoga bermanfaat. 

HI oh GI…

3:06 PM 3 Comments
Bunderan HI.
     Kuakrabi karena sebuah status: mahasiswa UI. Seringkali aksi ke sana, az-zumaar; berombongan-rombongan, dengan mencarter beberapa miniarta jurusan Depok-Pasar Minggu. Berjejal-jejal dalam metromini itu, panas karena sesak pun karena berjaket kuning dan siap dengan slayer penutup wajah. Seringnya jadi ‘rakyat jelata’, hanya beberapa kali turut menertibkan rombongan aksi.
     Sampai di bunderan HI, turun dengan sigap, menyatu dengan barisan. Panas terik. Debu. Keringat. Semangat. Ah, baru perjuangan kecil ini saja yang bisa kami lakukan, pikirku saat itu. Meski gedung-gedung megah mengelilinginya, seingatku, sekalipun tak ada keingintahuan untuk mencicipi kesejukan udara dalam kemegahan gedung itu, apalagi menikmatinya. Kami hanya singgah sebentar, namanya juga sedang berjuang. ;)
     Sekarang, berkantor di dekat lokasi kenangan itu. Kadang jalan dengan teman-teman ke GI (Grand Indonesia) untuk makan siang. Di kantinnya, tentu saja. Hehe… kalau dulu naik angkutan seperti yang disebut di atas, sekarang naik taksi (cuman 6ribuan sampe GI, muat berlima). Dulu melintas bundaran HI dengan panas sesak di miniarta, sekarang nyaman sejuk di dalam taksi. Dulu pakaian berkeringat terbungkus jaket kuning, sekarang rapi.
      Ah, tapi sungguh, jauh lebih indah dan membahagiakan kala dulu di sana bersama kawan-kawan seperjuangan, dengan aroma kemenangan. Perlahan. Masih sangat perlahan, sayangnya.
Namun pasti. 

Tuesday, February 8, 2011

Satu-Satu

7:12 AM 4 Comments
    Kemarin ada yang bertanya, fokus pada banyak hal adalah keahlian yang bisa dilatih bukan sih?
    Menurutku, ya. Kuncinya hanya fokus. *lhoh, muter-muter. Maksudnya, fokus mengerjakan setiap hal itu, satu-persatu. Misal, kita ingin sukses dalam bidang akademis, organisasi kampus, dan bisnis yang mulai kita rintis. Tidak ada yang harus dipilih untuk lebih diutamakan, kecuali kalau hanya ingin berhasil di salah satu saja. Fokus saja untuk ketiganya. Tapi, satu-satu.
    Ketika sedang melakukan hal-hal yang berhubungan dengan akademik (contoh: belajar, kuliah, ngerjain skripsi), fokus saja di situ. Jangan pikirkan dulu hal lain. Fokus. Setelah selesai untuk jangka waktu tertentu yang kita alokasikan untuk itu, baru pindah ke hal lain; organisasi atau bisnis.
    Yang terjadi ketika kita fokus dan menyelesaikan urusan akademik itu, adalah kita bisa fokus dan optimal untuk melakukan hal lainnya. Kita bisa fokus dan bebas berorganisasi atau menjalankan bisnis karena urusan akademis kita sudah selesai. *kalau prinsip yang saya adopsi dari La Tansa Male Cafe sih, ½ + ½ = 0. Jadi, jangan setengah-setengah untuk apapun yang kita kerjakan. 
    Nah, yang harus dilakukan pertama kali adalah, bertekad. Bertekad untuk mencurahkan energi pikiran dan raga untuk membuat semua keinginan kita tercapai. 
   Lalu setelah bertekad, menulislah. Buat daftar tentang hal apa saja kita ingin fokus. Atau amanah-amanah kita. Di atas kertas. Harus ditulis dan harus di atas kertas. Hal ini remeh, maka itu banyak yang berpikir, “oke, nanti ditulis”. Tapi karena remeh dan nanti, lupa deh. Padahal dengan menulis dan membuat daftar (to do list) ini, kita mengonkretkan apa saja yang perlu kita kerjakan, satu-persatu, sehingga lebih mudah dalam eksekusinya. Dengan menulis ini juga, seringkali akan terpikir langkah ‘kecil’ penting lain untuk mencapai keinginan kita.
   So, please take a write, right now. ;)

Sunday, February 6, 2011

Rekan Seangkatan

11:02 AM 14 Comments
        Ini bukan tentang teman-teman yang lulus sekolah maupun masuk kuliah di tahun yang sama. Bukan juga angkatan bersenjata. Ini cerita tentang kereta. *lhoh? Ya, cerita tentang ‘rekan-rekan’ seangkatan kaki pada detik-detik menegangkan yang sama *lebay, berlomba memasuki gerbong kereta. Hehe..
        Ini salah satu manfaat dari observasi atau pengamatan kita pada lingkungan sekitar. Pulang bareng dengan tetangga yang telah lebih dulu hafal dan memang suka memperhatikan lingkungan juga, sangat membantu saya untuk mendapatkan tempat duduk di kereta saat pulang kantor yang melelahkan.
      Bekasi Express pukul 18.30 dari stasiun Sudirman adalah kereta terakhir Bekasi-Tanah Abang setiap hari. Orang-orang, sama-sama baru pulang kerja, sama-sama juga lelahnya, jadi sama-sama pula agresifnya berebut tempat duduk di kereta. Tetangga saya itu, menghapal di mana letak pintu kereta akan terbuka, lalu berdiri setiap hari di titik yang sama. Alhamdulillah saya tinggal ngintil, kecuali kalau beliau tidak masuk kerja. Hehe.. Tapi saya jadi bertanya-tanya, kenapa ya, orang lain tidak belajar dan melakukan hal yang sama?
      Beberapa hari menunggu kereta yang sama, dengan orang-orang yang sama, membuat saya dan tetangga saya itu hampir hafal dengan rekan-rekan ‘seangkatan’ kami. Ya itu tadi, ‘seangkatan kaki’ melangkah masuk gerbong kereta. Kalau begini, saya tidak heran kalau ada penumpang sebuah gerbong kereta ekspress di Jakarta hubungannya cukup dekat dan sampai mengadakan arisan bergilir di rumah para anggotanya. Pada akhirnya saya juga tidak heran dengan cerita senior saya tentang temannya yang menikah dengan orang yang setiap hari menumpang kereta yang sama dengannya. *tapi saya gak ngarep ketemu jodoh di kereta kok. Hehe..
…………….
Entah ya, dari dulu saya suka dengan kereta. Saya ingat, pertama kali naik kereta ketika berusia 5 tahun, diajak sepupu yang usianya berbeda sangat jauh ke rumahnya di daerah Jakarta Kota. Saya juga ingat waktu itu menyimpan sebuah rahasia memalukan tentang yang saya lakukan di kerumunan orang di kereta ekonomi itu. ^_^
Semakin sering berinteraksi dengan kereta, adalah saat saya kuliah. Maklum kampus saya dilalui jalur kereta, sampai ada stasiun bernama Universitas Indonesia. *ahey! :D Semakin banyak juga berinteraksi dengan kawan-kawan anker (anak kereta), dari daerah Jakarta maupun Bogor.
Kalau lagi burn out (a.k.a jenuh a.k.a mumet), yang saya inginkan adalah naik kereta ekonomi dari kampus menuju Stasiun Bogor. Harus ke Bogor, karena pemandangannya tidak hanya gedung, tapi juga hijau pepohonan. Angin yang masuk ke gerbong kereta pun sejuk dan terasa lebih ringan dan bersih.
Harus pula ekonomi, karena saya senang memperhatikan manusia-manusia di dalamnya. Ada penumpang, pedagang, pengemis, pengamen... Serasa melihat ‘masyarakat’ sebenarnya.
Penumpang saja macam-macam. Ada yang cuek, ada yang rame ngobrol, ada yang antusias dengan setiap yang dijajakan para pedagang,,, ada ibu-ibu yang ngomelin anaknya terus; kasihan anaknya.. ada bapak-bapak yang ‘sayang istri sekali’; belanja terus peralatan rumah tangga seperti spon cuci piring dan alat dapur lainnya.. Yah… angkutan massal seperti kereta memang bisa memperkaya kita sebagai individu maupun bagian dari entitas sosial. Pintar-pintar saja mencari hikmah ^_^

telah bersepakat lisan, laku, dan pikir

10:29 AM 6 Comments
Lisan, laku, dan pikir, bisa saja mereka bersepakat dengan lisan, laku, dan pikir orang lain.
Tapi nyatanya, hati tidak begitu saja bisa amanah menjalankan kompromi atau kesepakatan yang sama.

Berkhianatkah?
Entah,
Tapi, yaaa, asal simpan saja sendiri.
Biarkan lisan,laku,dan pikir itu yang tunjukkan amanahnya.
Cukup.
Selebihnya bukan lagi urusan khianat atau tidak, dan dosa atau tidak.
Melainkan tinggal urusan hatimu dengan lisan, laku, dan pikirmu itu.