Follow Us @farahzu

Monday, July 27, 2009

Ngatur Duiiittt…

1:58 PM 10 Comments
Beberapa hari yang lalu saya diminta mengisi materi tentang manajemen waktu. Saat menyusun alur penyampaian materi, saya menemukan bahwa bagaimana pun teknik yang digunakan dalam menyiasati dan mengatur waktu, ternyata bermula dari sebuah sikap: menghargai waktu. Penghargaan yang besar terhadap waktu melahirkan tekad dan keinginan yang kuat untuk memanfaatkan waktu yang ada semaksimal mungkin. Dari tekad itulah semua kiat yang ada dalam manajemen waktu dapat diaplikasikan secara konsisten hingga berhasil.
Singkat cerita setelah closing statement sore itu, sebenarnya saya ingin berkata pada panitia, “Lain kali kalau bahas tentang manajemen finansial undang aku lagi ya, tapi sebagai peserta,” tapi urung.
Saya memang sedang (dan masih saja) bermasalah dalam hal manajemen keuangan. Cukup banyak orang yang telah saya tanya dan saya minta saran-saran mereka, dari teman, senior, ibu-ibu, bapak-bapak, hingga anak FE berdasarkan keilmuan mereka. Namun hingga kini belum juga menampakkan hasil, saya masih saja kesulitan dalam mengatur pembelanjaan pribadi (untung belum berkeluarga, hehe..).
Bila dibandingkan, lebih sulit mana, manajemen waktu atau manajemen keuangan? Jawabannya pasti tergantung. Terutama tergantung orangnya. Bagi saya manajemen waktu lebih mudah, tapi bagi teman yang lain mungkin manajemen keuangan yang jauh lebih mudah. Jadi, kita anggap saja kesulitan keduanya setara, supaya pembahasan ini bisa lebih mudah.
Banyak cara untuk membagi terbatasnya waktu yang ada agar dapat bermanfaat sebanyak-banyaknya. Juga banyak cara untuk menyiasati agar pasak tidak lebih besar daripada tiang, kalau bisa bahkan besar tiang daripada pasak. Lalu, bisakah kalau kita coba hubungkan?
Bahwa keduanya harus dimulai dari 1 titik, sebuah sikap yang sama. Penghargaan.
Semua kiat hebat yang ada hanya dapat berjalan efektif bila dilandasi dengan tekad yang kuat untuk bisa. Dan tekad yang kuat berasal dari rasa menghargai. Menghargai waktu, dan menghargai uang.
Ayo Farah! Sebelum harus mengatur
yang lebih besar!!
Bekasi, 26 Juli 200

Baca Juga: Tentang Ikhlas dan Apa yang Kita Inginkan

Saturday, July 25, 2009

Road to BEM UI

1:00 PM 4 Comments
–Refleksi Tengah Tahun—

Akhir-akhir ini sedang banyak mengalami hal-hal yang mengubah hidupku. Juga baru banyak memahami dan mengalami hal-hal yang sudah kumengerti sebenarnya sejak lama. Hanya baru mendapatkan insight-nya baru-baru ini.

Diminta jadi Kabir PSDM pertama kali,,, dengan berat hati permintaan itu kutolak. Sms-sms dari mereka masih tersimpan hingga saat ini. Menyisakan kenangan keegoisan yang mengkanak-kanak. Lalu kutawarkan banyak orang lain yang kuanggap kompeten untuk posisi itu. Sebuah sms malam itu berbunyi, “Emangnya kalo Farah kenapa? Mau lulus ya? Sama dong…” Huks, huks, itu benar-benar menyisakan perih. Perih atas pilihanku sendiri.

“Far, mau lulus 4 tahun kan? Bantuin MWA aja gimana?” Wah. Kujawab dengan mengingatkannya, bahwa keberatanku bukan hanya harus lulus 4 tahun. Dan ia langsung mundur.

“Far, lagi sibuk ga? Boleh kutelpon sekarang?” Witri minta aku jadi kadept Kesma. Oh tidak, aku tidak bisa. Maafkan aku…

Hingga akhirnya 10 Januari 2009, hasil muktamar SMA membebankan sekaligus melegakan sedikit rasa bersalahku. Allah tau jalanmu yang lebih baik… Tidak lagi punya amanah di kampus, saatnya aku kembali ke sekolah. Pikirku, saat itu sudah final.

Ternyata belum. “Mba, saya mohon, bayangkan adik-adik kita dari pelosok yang ingin masuk UI.. ini bisa jadi ladang pahala yang besar… Kita jihad bareng-bareng…”. Pertimbangan dari orang-orang terpercaya kuminta, lalu paginya aku menjawab, “Saya insya Allah bisa bantu di Kesma, tapi jadi staf dan hanya 6 bulan”. Deal. Kupikir, saat itu sudah final.

Ternyata belum. Beberapa hari setelahnya, malam hari aku ditelepon Nanda, wakil ketua BEM UI. Aku diminta memberi ‘lebih’, memback-up kadept Kesma. Aku takut ‘Kesma sebelumnya’ terulang lagi. Tapi, ya sudahlah. Bismillah. Malam itu, kupikir sudah final.

Ternyata belum. Tepat pagi harinya, aku ditelfon lagi. PSDM. Dengan berbagai pertimbangan, mereka kembali memintaku. Akupun butuh sangat banyak pertimbangan. Kutelfon mba-ku. Kutanya pihak sekolah. Tak banyak waktu kumiliki untuk memutuskan. Hanya 1 waktu shalat tersisa untuk istikharah: ba’da zuhur. Kuminta pertimbangan sepupuku,,, beliau pun akhirnya bingung. Akhirnya, “Gini aja deh Far, jalanin aja yang ada sekarang dulu. Nanti pasti Allah ngasih jalan.” Akupun akhirnya membulatkan hati. Padahal pihak sekolah belum menjawab. Tapi tak ada waktu lagi! bismillah. Akhirnya, kupikir inilah finalnya. Aku menerima.

“Alhamdulillaah… Far, besok kita Oprec”. Appaaa???!!!!

Hyaaaa!!! Besoknya aku langsung berlala-lili di Depok.

Pagi. Kutelepon sahabatku, Lissa, staf PSDM tahun lalu, meminta bala bantuan. “Tapi Lissa cuma bisa 6 bulan, Farah.. Lissa harus lulus semester ini” aku mengerti, masih ada 2 adiknya yang menunggu giliran. Tanpa pikir panjang karena panik, “Ya udah gapapa. Pokoknya bantuin aku dulu”. Langsung kubuat janji siang itu juga dengan temanku Rina, deputi PSDM tahun lalu. Di Pusgiwa. Kantor baruku.

Sampai pusgiwa, wajah yang kutemui pertama adalah Fathia. Rasa bingung dan cemas yang memuncak membuatku langsung menghamburkan diri, “Faaaaattthhh!!!” memeluk Fathia. Ia menenangkan, “Akhirnya Far, datang juga…” sambil tersenyum lega.

Sore itu aku melihat kelegaan memancar dari wajah banyak orang. Dari teman-teman tim sukses yang sudah bergabung lebih dulu, Yuli, Avid, Input, juga dari Tiko, apalagi dari Nanda. Selanjutnya aku tau orang ini memang ekspresif sekali. Ya Allah, betapa selama ini aku menghambat kerja banyak orang… Jadi tidak tega mau setengah jalan dan lulus duluan… Apalagi ketika bercanda dengan Yuli, ingin lulus di tengah kepengurusan. Menurut Yuli aku bergurau saat itu, padahal dalam hati aku sungguh-sungguh serius. Lalu Yuli berkata pada Tiko yang ada di seberangnya, “Wah, Ko, parah nih, belum-belum udah pada mau resign tengah tahun!” Tiko yang sedang menunduk mengurus sesuatu mendongak pada kami, dan, aku, aku merasa iba seketika melihatnya! Oh tidak. Farah, jangan mudah terpengaruh… dan aku pulang masih dengan keinginan mundur di tengah tahun…

Sampai sore, teman-teman se-fakultasku itu –anak-anak PSDM tahun lalu- terutama RIna benar-benar menentir aku dari nol, terutama tentang rekrutmen yang sudah di depan mata. Aku bingung. Bingung. Setelah itu, dengan masih canggung, aku masuk lagi ke ruang BEM. Ka Edwin datang dan mengucapkan, “Akhirnya Farah….” Maksudnya, akhirnya Farah, ke sini-sini juga larinya. Aku yang masih bingung harus apa, meminta Ka Edwin bicara apapun tentang PSDM. Aku butuh gambaran. Aku butuh masukan. Aku butuh arahan. Terima kasih kak. Lalu Nanda. Tiko masih sibuk. Dan… besok team building BPH. Artinya aku tidak bisa menyiapkan rekrutmen.

Sepulang dari Pusgiwa matahari t’lah lama tenggelam. Shalat maghrib di ruang BEM.
Menunggu bis kuning. Berjalan dari stasiun UI hingga kosan, sambil berpikir. Hmmhh,, sepertinya aku tidak pernah ditakdirkan untuk kuliah, perpus, pulang ditemani matahari, beres-beres kosan, dan istirahat atau belajar lagi dengan tenang. Rasanya sampai lulus aku harus berjibaku dengan kegiatan seabrek di luar akademis. Tapi aku tidak menyesali apapun. Aku merasa beruntung bahkan. Dan aku hanya tersenyum.

Esok paginya kami berkumpul di stasiun UI. Kesan pertama. Aku telat 3 menit dari jam 7, sebelumnya sudah izin akan sedikit telat. Tapi sampai sana, aku baru sendiri. Hummfh,, biasa. Eh, ternyata di ujung sana, udah ada Tiko! Subhanallah, memberi teladan yang baik. Tak lama datang Nanda membawa bungkusan Alfamart. Lalu menunggu yang lain. Singkat cerita, kami baru jalan dari UI jam 8. Berkenalan dengan orang-orang yang sama sekali baru kukenal, saling mengakrabkan diri selama perjalanan. Ini sahabat suka-duka-ku ke depan.

Ternyata perjalanan kami cukup panjang. Jauh bo! Kalau tidak salah ingat 3 jam kami habis di jalan, menuju jalur pendakian Curug Cibodas. Begitu turun dari bus yang menuju Tasik itu, kami langsung meregangkan sendi-sendi, meledek Nanda menanyakan “jackpot”, mengambil beberapa foto kami, dan beristirahat sambil menunggu Tiko dan Nanda membeli makan siang untuk kami yang akan disantap bersama di bawah air terjun nanti. Hohhoo,, servis nyaris sempurna. Mereka berdua bahkan membawanya dalam pendakian kami setelahnya.

Sebenarnya aku sedang khawatir. Khawatir tidak bisa pulang cepat seperti yang diwanti-wanti orang rumah karena subuh esok harinya kami akan  berangkat ke Jogja, wisudaan kakakku. Ditambah lagi aku belum meminta izin pada orang tuaku bahwa aku akan lulus terlambat, menerima amanah di BEM UI. Dan betapa leganya aku kala perjalanan kami semakin jauh dari jalan, semakin mendekati air terjun. Karena, tidak ada sinyal!! Jadi keberadaanku tidak bisa dilacak =D di saat yang bersamaan orang-orang resah karena tidak ada sinyal.

Singkat cerita… aku merasakan kenyamanan yang luar biasa dalam perjalanan bersama tersebut. Tanpa tekanan sedikitpun yang belakangan baru kusadari hampir selalu menyertaiku selama mengemban berbagai amanah di tingkat fakultas. Apalagi saat itu aku sedang sangat ingin naik gunung dan berenang. Atau salah satunya. Dan naik gunungku terkabul, bersama teman-teman baru yang sangat menyenangkan. Saat itu, aku benar-benar merasa lepas.

Lagi-lagi cerita indah ini harus saya singkat, kami berjalan turun menuju peradaban kembali. Sebelum turun, Tiko meminta kami mengambil masing-masing sebuah batu dari dalam air terjun yang menganak sungai. Aku mengambil 3. Batu ini yang kelak akan menjadi saksi berubahnya pikiran dan hatiku drastis. Saksi atas komitmenku senja itu.

Di bawah, tepat di luar pagar Taman Raya Cibodas, kami duduk melingkar dan saling memperkenalkan diri masing-masing. Identitas, kesenangan, sifat-sifat, yang tidak disukai, membuka diri. Terutama aku dan korbidku yang baru saja bergabung. Aku sehari sebelumnya, korbidku semalam sebelumnya. Setelah semua memperkenalkan dirinya, Tiko meminta kami menggenggam batu yang kami bawa dari air terjun tadi siang, dan, ini dia salah satu keahlian dan kesenangan ketua kami; merenung dan kontemplasi.

Kami menutup mata, khusyuk mendengarkan kata demi kata dari Tiko. Semuanya jelas. Semuanya berat. Tentang besarnya amanah di pundak kami. Aku sangat tertohok karna masih saja bertahan dengan “niat jahat”ku. Alirkan, alirkan semua keegoisan diri pada batu dalam genggaman kalian. Keberadaan kita untuk kemanfaatan yang jauh lebih besar daripada sekedar untuk diri kita. Ketika membuka mata, kami diperintahkan untuk meletakkan batu itu di depan kami. Meninggalkan batu itu di sana bersama segala keegoisan yang tersisa, di dataran yang tinggi, jauh dari tempat kami berjibaku kelak, Depok, Jakarta dan sekitarnya.

Aku… yang menjadi merasa sebenar-benar egois, tidak meletakkan batu itu di depanku. Aku melemparnya, meneriakinya,

“Batu! Kamu aja yang lulus 4 tahun! Aku ga bisa ninggalin mereka!!!”


Dan komitmen itu seketika membatu. Keras. Kuat menancap.

Betapa Allah benar-benar
Maha Tau segala yang terbaik,
Depok, Januari-Juli 2009
--tahun terindahku di kampus perjuangan ini—

Penyeberang Phytagoras

12:36 PM 16 Comments

Berawal dari penghargaanku terhadap waktu yang mungkin bagi sebagian orang berlebihan. Aku selalu berusaha agar semua waktuku tak ada yang terbuang percuma, dalam hitungan jam, menit, bahkan detik. Sayang. Jadi aku juga berusaha mengerjakan segala hal yang kulakukan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja (jadi ingat naskah Proklamasi). Aku terhitung orang yang gesit. Dan seringkali geregetan melihat orang yang lelet dan bermalas-malasan. Bagiku, kalau bisa 1 menit, mengapa harus ada menit ke-2 untuk selesai?
      
Hal ini tercermin dalam hampir semua perilaku dan gerak-gerikku. Irama berjalanku cukup cepat, tapi masih normal. Aku menulis juga dengan cepat. Terkecuali mungkin dalam berpikir, suka agak lelet, hehehe... Nah, rutinitas harianku menyeberang Margonda, seringkali memakan waktu lama terutama pada jam-jam berangkat dan pulang kantor. Tapi ada sesuatu yang ternyata cukup unik dari perilaku menyeberangku. Aku menyeberang menggunakan prinsip phytagoras; c2 = a2 + b2 .

Bila tujuanku ke seberang kiri, alih-alih menyeberang lurus ke depan lalu berjalan ke kiri seperti lazimnya orang-orang, aku menyeberang langsung miring ke arah kiri. Bagiku itu lebih efisien dan semakin mendekatkanku pada tujuan. Waktu beberapa detik untuk menempuh b2 itu berharga. Begitu juga bila arahku ke seberang kanan.

Alasan ke-2 penyebab perilaku menyeberang ini adalah kecintaanku pada matematika. Aku mencintai rumus-rumus itu tidak hanya di atas kertas atau papan tulis. Aku ingin juga menerapkannya di kehidupanku sehari-hari. Benar-benar sehari-hari.

Dan aku bertemu teman setipe dalam hal ini. Ia tidak menyeberang phytagoras, tapi bila melewati belokan ia selalu berjalan di zona terdekat dari pusat belokan atau tikungan tersebut. “Supaya jari-jarinya semakin kecil”, katanya. Jadi waktu dan effort yang dibutuhkan juga semakin sedikit.

Setiap ilmu pasti punya manfaatnya masing-masing. Matematika, membuat hidup lebih efisien ^.^

Friday, July 24, 2009

Sang Penandai

2:23 PM 4 Comments

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Other
Author:Tere Liye

Semua orang bertanya, “Apa itu penandai, Far?” ketika melihatku membaca novel ini. Tidak ada gunanya sebenarnya jawabanku, karena setiap aku mencoba menjelaskan, orang-orang akan semakin mengernyit, semakin tidak mengerti.

Sang penjaga dongeng.... jawabku.

Novel ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang pemuda yatim piatu, tidak berpendidikan, tidak bisa baca-tulis, pengecut dan tidak pernah bisa mengambil keputusan. Kisah cintanya dalam beberapa bulan bersama seorang gadis –cinta pertamanya— menjadi awal perubahan perjalanan hidupnya. Kematian sang gadis menjadi sebab pemuda ini (Jim) didatangi oleh Sang Penandai, yang berusaha meyakinkannya bahwa pencinta sejati tidak akan menyerah hingga kematian itu sendiri yang menjemputnya. Berbekal kata-kata itu, ia memulai dongeng tentang dirinya sendiri.

Keikutsertaannya dalam armada 40 kapal menemukan Tanah Harapan (sepertinya yang dimaksud penulis adalah Indonesia) benar-benar mengubah hidupnya. Kelak ia mengakhiri hidupnya sebagai pemuda gagah berani yang kuat dan hebat. Setelah sepanjang sisa hidupnya ia tidak pernah bisa berdamai dengan masa lalunya, selalu menangis pilu bila mengingat gadis cinta sejatinya, pada akhirnya kepalanya tertebas pedang dengan tersenyum, mengucap nama gadis kecintaannya, Nayla.

Kesabaran. Penerimaan atas hidup dan masa lalunya. Serta bersyukurlah.

Rembulan Tenggelam Di Wajahmu

1:25 PM 8 Comments

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Other
Author:Tere Liye
rembulan tenggelam wajahmu

Novel ini bagus banget! Mengisahkan perjalanan hidup seorang anak Adam sejak kecil hingga penghujung hidupnya. Novel ini mengajak kita untuk memaknai hidup, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh banyak orang, seperti apakah hidup ini adil, kenapa Tuhan selalu merenggut kebahagiaan orang-orang yang kita kasihi, mengapa hidup seolah hanya kerasnya perjuangan dan air mata, tentang mengapa harus terjadi begini, mengapa itu terjadi,…..

Ah, satu kesimpulan yang dapat saya tarik selepas membaca novel ini. Sebagai manusia… betapa banyak yang tidak kita ketahui. Maka jangan pernah merutuki nasib. Apalagi merutuki Sang Penguasa nasib manusia.

Baca Juga: Yang Single Minggiiiiirrr!

Sumber Gambar: https://books.google.co.id/books/about/Rembulan_tenggelam_di_wajahmu.html?id=cNHox5OgdFQC&source=kp_cover&redir_esc=y

Friday, July 10, 2009

anak cucuku

10:39 AM 4 Comments
Kepada Yth
 Manusia
 Di
 Tahun 2009

 Aku hidup di tahun 2050. Aku berumur 50 tahun, tetapi kelihatan seperti
 sudah 85 tahun.

 Aku mengalami banyak masalah kesehatan, terutama masalah ginjal karena aku
 minum sangat sedikit air putih.

 Aku fikir aku tidak akan hidup lama lagi. Sekarang, aku adalah orang yang
 paling tua di lingkunganku, Aku teringat disaat aku berumur 5 tahun semua
 sangat berbeda, masih banyak pohon di hutan dan tanaman hijau di sekitar,
 setiap rumah punya halaman dan taman yang indah, dan aku sangat suka
 bermain air dan mandi sepuasnya.

 Sekarang, kami harus membersihkan diri hanya dengan handuk sekali pakai
 yang di basahi dengan minyak mineral.

 Sebelumnya, rambut yang indah adalah kebanggaan semua perempuan. Sekarang,
 kami harus mencukur habis rambut untuk membersihkan kepala tanpa
 menggunakan air.

 Sebelumnya, ayahku mencuci mobilnya dengan menyemprotkan air langsung dari
 keran ledeng. Sekarang, anak-anak tidak percaya bahwa dulunya air bisa
 digunakan untuk apa saja.

 Aku masih ingat seringkali ada pesan yang mengatakan: “JANGAN MEMBUANG
 BUANG AIR”

 Tapi tak seorangpun memperhatikan pesan tersebut. Orang beranggapan bahwa
 air tidak akan pernah habis karena persediaannya yang tidak terbatas.
 Sekarang, sungai, danau, bendungan dan air bawah tanah semuanya telah
 tercemar atau sama sekali kering.

 Pemandangan sekitar yang terlihat hanyalah gurun-gurun pasir yang tandus.
 Infeksi saluran pencernaan, kulit dan penyakit saluran kencing sekarang
 menjadi penyebab kematian nomor satu. Industri mengalami kelumpuhan,
 tingkat pengangguran mencapai angka yang sangat dramatik. Pekerja hanya
 dibayar dengan segelas air minum per harinya.

 Banyak orang menjarah air di tempat-tempat yang sepi. 80% makanan adalah
 makanan sintetis. Sebelumnya, rekomendasi umum untuk menjaga kesehatan
 adalah minum sedikitnya 8 gelas air putih setiap hari. Sekarang, aku hanya
 bisa minum setengah gelas air setiap hari.

 Sejak air menjadi barang langka, kami tidak mencuci baju, pakaian bekas
 pakai langsung dibuang, yang kemudian menambah banyaknya jumlah sampah.

 Kami menggunakan septic tank untuk buang air, seperti pada masa lampau,
 karena tidak ada air.

 Manusia di jaman kami kelihatan menyedihkan: tubuh sangat lemah; kulit
 pecah-pecah akibat dehidrasi; ada banyak koreng dan luka akibat banyak
 terpapar sinar matahari karena lapisan ozon dan atmosfir bumi semakin
 habis. Karena keringnya kulit, perempuan berusia 20 tahun kelihatan
 seperti telah berumur 40 tahun.

 Para ilmuwan telah melakukan berbagai investigasi dan penelitian, tetapi
 tidak menemukan jalan keluar. Manusia tidak bisa membuat air. Sedikitnya
 jumlah pepohonan dan tumbuhan hijau membuat ketersediaan oksigen sangat
 berkurang, yang membuat turunnya kemampuan intelegensi generasi mendatang.




 Morphology manusia mengalami perubahan… yang menghasilkan/ melahirkan
 anak-anak dengan berbagai masalah defisiensi, mutasi, dan malformasi.
 Pemerintah bahkan membuat pajak atas udara yang kami hirup: 137 m3 per
 orang per hari. [31.102 galon]

 Bagi siapa yang tidak bisa membayar pajak ini akan dikeluarkan dari
 “kawasan ventilasi” yang dilengkapi dengan peralatan paru-paru mekanik
 raksasa bertenaga surya yang menyuplai oksigen.

 Udara yang tersedia di dalam “kawasan ventilasi” tidak berkulitas baik,
 tetapi setidaknya menyediakan oksigen untuk bernafas.Umur hidup manusia
 rata-rata adalah 35 tahun.

 Beberapa negara yang masih memiliki pulau bervegetasi mempunyai sumber air
 sendiri. Kawasan ini dijaga dengan ketat oleh pasukan bersenjata. Air
 menjadi barang yang sangat langka dan berharga, melebihi emas atau
 permata.

 Disini ditempatku tidak ada lagi pohon karena sangat jarang turun hujan.
 Kalaupun hujan, itu adalah hujan asam.Tidak dikenal lagi adanya musim.
 Perubahan iklim secara global terjadi di abad 20 akibat efek rumah kaca
 dan polusi.

 Kami sebelumnya telah diperingatkan bahwa sangat penting untuk menjaga
 kelestarian alam, tetapi tidak ada yang peduli. Pada saat anak perempuanku
 bertanya bagaimana keadaannya ketika aku masih muda dulu, aku
 menggambarkan bagaimana indahnya hutan dan alam sekitar yang masih hijau.

 Aku menceritakan bagaimana indahnya hujan, bunga, asyiknya bermain air,
 memancing di sungai, dan bisa minum air sebanyak yang kita mau. Aku
 menceritakan bagaimana sehatnya manusia pada masa itu.

 Dia bertanya: - Ayah ! Mengapa tidak ada air lagi sekarang ?

 Aku merasa seperti ada yang menyumbat tenggorokanku. ..

 Aku tidak dapat menghilangkan perasaan bersalah, karena aku berasal dari
 generasi yang menghancurkan alam dan lingkungan dengan tidak mengindahkan
 secara serius pesan-pesan pelestarian… dan banyak orang lain juga !.

 Aku berasal dari generasi yang sebenarnya bisa merubah keadaan, tetapi
 tidak ada seorangpun yang melakukan. Sekarang, anak dan keturunanku yang
 harus menerima akibatnya, Sejujurnya, dengan situasi ini kehidupan di
 planet bumi tidak akan lama lagi punah, karena kehancuran alam akibat ulah
 manusia sudah mencapai titik akhir.

 Aku berharap untuk bisa kembali ke masa lampau dan meyakinkan umat manusia
 untuk mengerti apa yang akan terjadi… Pada saat itu masih ada kemungkinan
 dan waktu bagi kita untuk melakukan upaya menyelamatkan planet bumi ini !

 Tolong Kirim surat ini ke semua teman dan kenalan anda, walaupun hanya
 berupa pesan, kesadaran global dan aksi nyata akan pentingnya melestarikan
 air dan lingkungan harus dimulai dari setiap orang.

 Persoalan ini adalah serius dan sebagian sudah menjadi hal yang nyata dan
 terjadi di sekitar kita.

 Lakukan untuk anak dan keturunan mu kelak”

 “AIR DAN BUMI UNTUK MASA DEPAN”


-copas imel dari ayah-