Follow Us @farahzu

Friday, March 19, 2010

Darah untuk Skripsi Putriku

11:58 AM 15 Comments
Berhari-hari, bermalam-malam, aku layaknya pemuda kahfi yang walaupun jelas tidak sehebat mereka, mengisolasi  diri di dalam gua. Kesamaannya, ini sama-sama ujian keimanan. Skripsi itu ujian keimanan luar biasa bagiku (nanti deh kalo ada kesempatan, abis sidang, insya Allah aku cerita tentang itu). Pintu gua (baca: kamar) sesekali terbuka, tapi lebih sering hanya ‘sedikit’ terbuka agar tetap bisa kontak dengan ‘dunia luar’. Berhari-hari dan bermalam-malam itu juga kamarku diseraki kertas-kertas putih bernoda print out dan coretan-coretan pembimbing atau coretanku sendiri. Rusuh.
Hingga sampailah pada suatu pagi, Rabu yang indah, akhirnya draft selesai. Berikutnya di kampus nanti aku harus mengeprint ratusan halamannya. Demi menghemat beberapa puluh ribu rupiah, aku berusaha membuka kembali jilidan draft yang lama, untuk mengambil sekitar 70an lembar lampiran verbatimnya. Tidak ada alasan untuk mengeprint kembali dan tidak menyerahkan 70an lembar itu pada penguji, karena masih sangat layak tanpa coretan.
Ternyata, s u s a h sekali. Hasil steples jilidan itu sepertinya langsung dibuat paten oleh abang foto kopi. Ibuku ikut membantu dan mengambil alih. Awalnya ia memakai bagian belakang steples lain untuk membuka temannya (sesama steples). Tak berhasil, terlalu kuat. Beliau minta aku mengambilkan pisau.
Tapi sebelum pisau dariku sampai, ujung steples besi yang tajam itu telah menggores tangannya, mengguratkan luka panjang. Dan, darah segar mengalir. Tapi beliau seperti tidak merasakan apapun. Kuobati, beliau berjuang lagi. Seperti mati rasa. Setelah bersusah payah beberapa menit kemudian, jilidan itu pun terbuka.
Beberapa menit kemudian sebelum berangkat, aku memeluk dan mencium beliau, meminta maaf lagi atas lukanya. Tau, apa jawaban beliau?
“Mamah seneng, akhirnya ada juga yang bisa mamah bantu buat skripsi ade”
Bekasi, 18 Maret 2010

Monday, March 1, 2010

Wibawa

10:41 AM 12 Comments
            Dulu, waktu masih muda (uhuk, uhuk) dan banyak kuliah di kelas, temanku pernah bercanda, “Cari suami tuh yang penting berwibawa”. Iyakah? Tapi tunggu, dia melanjutkan, “Wii, bawa mobil. Wii, bawa berlian. Wii, bawain banyak belanjaan…”, dan seterusnya. Dasssaaaarrr…
Hehe, sebenarnya bukan itu yang ingin saya bahas. Melainkan tentang wibawa itu sesungguhnya. Tapi mohon maaf saya tidak membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia ketika menulis ini, jadi tidak ada definisi. Ya, anggap saja persepsi kita sama lah ya…
Menurut saya, wibawa itu penting untuk kita miliki. Tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan. Tapi tetap saja, terutama laki-laki. Hhe… hal ini dikarenakan, arrijaalu qawwaamuuna ‘ala nnisaa, laki-laki itu pemimpin bagi perempuan. Jadi harus lebih lagi wibawanya. Apalagi untuk orang-orang yang diamanahkan sebagai pemimpin. Harus lebih juga wibawanya. 
Memangnya kenapa wibawa itu penting?
Agar orang lain menghormati dan menghargai kita. Bukan, bukan karena haus hormat dan penghargaan manusia (semoga kita dihindarkan dari kehinaan). Tapi agar kita tidak digampangkan oleh orang lain. Bagi orang-orang yang kecintaannya mengajak manusia pada jalan kebaikan, wibawa lebih penting lagi. Kenapa? Agar kita disegani, kawan. Kalau orang segan pada kita, kita akan didengar. Seruan dan nasihat-nasihat kita pun, akan diterima. Insya Allah. Ini salah satu kekuatan kepribadian da’i. Atau muslim.
Lalu, bagaimana agar kita bisa menjadi cukup berwibawa, terutama untuk mad’u-mad’u (sasaran da’wah) kita? Mudah-mudahan beberapa tips berikut bisa menjawab dan bermanfaat.
1.       Hindari terlalu banyak bercanda dan tertawa. Apalagi jadi bahan tertawaan. Tidak perlu berambisi membahagiakan semua orang dengan lawakan-lawakan kita. Banyak cara lain untuk membuat orang bahagia (minimal senang lah), tanpa menjatuhkan wibawa kita. Jadi orang humoris boleh saja, asal proporsional, paham harus serius dan kapan boleh bercanda. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik kan?
2.       Hemat bicara. Anis Matta bilang, jangan membuang-buang energi percuma dengan banyak membicarakan hal-hal yang kurang penting. Apalagi yang tidak penting ya. Kenapa? Agar kita menjadi orang yang tidak terduga, kata beliau. Orang akan lebih menghargai orang-orang yang tidak terduga. Dengan kata lain, orang lain akan lebih respect (bahasa Indonesianya apa ya?).
3.       Perluas wawasan dan keilmuan kita. Wawasan dan keilmuan yang luas, apalagi bila ditambah dengan sesekali  merenung untuk mengambil pelajaran dalam hidup, akan menambah kebijaksanaan kita. Dalam memandang masalah. Juga dalam hidup.
4.       Terakhir, ini sangat kuat pengaruhnya: perkuat ruhiyah dan perbaiki kedekatan kita dengan Allah. Orang yang ruhiyahnya kuat, biasanya memiliki aura positif tersendiri yang membuat orang lain betah berlama-lama dengan dia (*duh, saya bingung bagaimana harus menjelaskan poin ini).

Kita harus memiliki wibawa, teman. Agar da’wah kita, diterima dengan penuh kerelaan. Agar da’wah kita tidak malah jadi bahan tertawaan. Jangan sampai.

Bekasi, 27 Februari 2010..