Genre: Fiksi
Author: Ahmad Tohari, 1993
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 360 halaman
Assalamualaikum! Apa kabar Readers?
Ada masanya, saya mengisi waktu dengan menikmati karya-karya sastrawan angkatan lalu. Salah satunya Ahmad Tohari dengan novel Bekisar Merahnya.
Bekisar adalah jenis ayam hasil persilangan yang berharga mahal dan sering dikonteskan.
Novel ini berlatar tahun-tahun awal kemerdekaan
Indonesia, saat masih dipimpin oleh Presiden Soekarno. Isinya bercerita tentang
seorang gadis desa yang berperawakan mirip Jepang, karena ayahnya memang
tentara Jepang. Dia cantik dan kecantikannya sangat menonjol. Namanya Lasi.
Awalnya ia seorang istri dari pemuda kampung yang
miskin dan biasa saja, hidup dengan bersahaja dan setia. Namun ia harus menelan
kecewa karena kekhilafan suaminya yang tak termaafkan. Lasi pun kabur ke
Jakarta, dan terjerumus pada ‘bisnis’ yang tak pernah dipahaminya dengan
kepolosan pandangannya. Ia menjadi wanita simpanan pejabat dan sempat
dipindahtangankan kepada pejabat lain yang menginginkannya, yang lebih berkuasa
daripada pejabat sebelumnya. Lasi yang cantik berdarah Jepang ini menjadi
‘incaran’ di kalangan pejabat, terkait dengan pemimpin negara yang belum lama
menikahi seorang wanita Jepang (hayooo siapa yang jadi auto-browsing??).
Singkat cerita, ia menemukan cinta sejatinya (bernama Kanjat) di desa kelahirannya, lalu menikah. Ia sempat diculik kembali ke Jakarta dan pada akhirnya sang suami berhasil membebaskannya.
Novel ini menceritakan kenyataan hidup yang sangat
susah bagi rakyat kecil, di tengah alam yang terbatas dan hasilnya hanya dihargai
dengan sangat murah. Karangsoga, desa
tempat Lasi tumbuh, menikah pertama kali, dan kembali ketika menemukan
cintanya, adalah sebuah desa penghasil gula kelapa (gula merah). Para penyadap
nira kelapa harus naik ke pohon-pohon kelapa yang sangat tinggi, mempertaruhkan
nyawa, dan membawa nira yang diolah para istri di rumah sehingga bisa dijual
pada tengkulak, yang sesukanya menetapkan dan menaik-turunkan harga gula. Namun
mereka, masyarakat penyadap itu tidak punya pilihan lain. Tanah mereka tidak
cukup subur untuk ditanami padi atau komoditas lainnya. Mata pencaharian
lainnya sangat sulit ditemukan di sana.
Berbeda dengan kehidupan Lasi ketika di Jakarta,
fasilitas yang dinikmatinya bagaikan langit dan bumi dengan apa yang bisa
dinikmatinya di Karangsoga. Betapa mewah dan seperti tak terbatas.
Orang-orang kaya seperti tengkulak dan jaringannya
hingga kota besar seperti Jakarta, sesungguhnya berhutang pada orang-orang
terpinggirkan seperti masyarakat penyadap di Karangsoga. Mereka menikmati hasil
melimpah (membeli gula dengan harga rendah) dari usaha sangat tinggi resiko yang dilakukan para penyadap, kemudian dapat
menjualnya dengan harga tinggi di kota besar. Demikian yang mengganggu pikiran Kanjat,
putra tengkulak yang kelak menjadi suami Lasi.
Novel ini menceritakan kehidupan lain para pejabat
pada masa itu (entah sekarang) yang sebelumnya tidak banyak saya tahu, terutama
yang berkaitan dengan “wanita”. Dengan alur maju, kehidupan tokoh utama
diceritakan dengan detail dan cukup rumit, sehingga saya cukup menikmati
membacanya. Sayangnya, konflik utama yang saya tunggu-tunggu menurut saya
kurang seru. Konflik selesai dan melandai sebelum klimaks sehingga saya sudah
degdegan eh ga jadi seru, hihi...
Baca Juga: Men are from Mars, Women are from Venus
Menurut saya, buku ini (beserta karya-karya Ahmad Tohari lainnya) sangat layak untuk dibaca. Buku ini membuka wawasan dan dengan mudah membawa pembaca seperti melihat dan mengalami langsung kejadian demi kejadian dalam ceritanya. Penggambaran latarnya cukup detail namun tidak berlebihan, sehingga saya merasa sayang kalau tidak membacanya secara utuh.
Terima kasih sudah membaca ya! Wassalamu'alaikum :)
No comments:
Post a Comment