Follow Us @farahzu

Wednesday, May 25, 2022

Book Review: Bekisar Merah – Ahmad Tohari

Judul: Bekisar Merah

Genre: Fiksi

Author: Ahmad Tohari, 1993

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman: 360 halaman


Assalamualaikum! Apa kabar Readers?

Ada masanya, saya mengisi waktu dengan menikmati karya-karya sastrawan angkatan lalu. Salah satunya Ahmad Tohari dengan novel Bekisar Merahnya.

Bekisar adalah jenis ayam hasil persilangan yang berharga mahal dan sering dikonteskan.


Novel ini berlatar tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, saat masih dipimpin oleh Presiden Soekarno. Isinya bercerita tentang seorang gadis desa yang berperawakan mirip Jepang, karena ayahnya memang tentara Jepang. Dia cantik dan kecantikannya sangat menonjol. Namanya Lasi.


Awalnya ia seorang istri dari pemuda kampung yang miskin dan biasa saja, hidup dengan bersahaja dan setia. Namun ia harus menelan kecewa karena kekhilafan suaminya yang tak termaafkan. Lasi pun kabur ke Jakarta, dan terjerumus pada ‘bisnis’ yang tak pernah dipahaminya dengan kepolosan pandangannya. Ia menjadi wanita simpanan pejabat dan sempat dipindahtangankan kepada pejabat lain yang menginginkannya, yang lebih berkuasa daripada pejabat sebelumnya. Lasi yang cantik berdarah Jepang ini menjadi ‘incaran’ di kalangan pejabat, terkait dengan pemimpin negara yang belum lama menikahi seorang wanita Jepang (hayooo siapa yang jadi auto-browsing??).


Singkat cerita, ia menemukan cinta sejatinya (bernama Kanjat) di desa kelahirannya, lalu menikah. Ia sempat diculik kembali ke Jakarta dan pada akhirnya sang suami berhasil membebaskannya. 


Novel ini menceritakan kenyataan hidup yang sangat susah bagi rakyat kecil, di tengah alam yang terbatas dan hasilnya hanya dihargai dengan sangat murah.  Karangsoga, desa tempat Lasi tumbuh, menikah pertama kali, dan kembali ketika menemukan cintanya, adalah sebuah desa penghasil gula kelapa (gula merah). Para penyadap nira kelapa harus naik ke pohon-pohon kelapa yang sangat tinggi, mempertaruhkan nyawa, dan membawa nira yang diolah para istri di rumah sehingga bisa dijual pada tengkulak, yang sesukanya menetapkan dan menaik-turunkan harga gula. Namun mereka, masyarakat penyadap itu tidak punya pilihan lain. Tanah mereka tidak cukup subur untuk ditanami padi atau komoditas lainnya. Mata pencaharian lainnya sangat sulit ditemukan di sana.


Berbeda dengan kehidupan Lasi ketika di Jakarta, fasilitas yang dinikmatinya bagaikan langit dan bumi dengan apa yang bisa dinikmatinya di Karangsoga. Betapa mewah dan seperti tak terbatas.


Orang-orang kaya seperti tengkulak dan jaringannya hingga kota besar seperti Jakarta, sesungguhnya berhutang pada orang-orang terpinggirkan seperti masyarakat penyadap di Karangsoga. Mereka menikmati hasil melimpah (membeli gula dengan harga rendah) dari usaha sangat tinggi resiko yang dilakukan para penyadap, kemudian dapat menjualnya dengan harga tinggi di kota besar. Demikian yang mengganggu pikiran Kanjat, putra tengkulak yang kelak menjadi suami Lasi.


Novel ini menceritakan kehidupan lain para pejabat pada masa itu (entah sekarang) yang sebelumnya tidak banyak saya tahu, terutama yang berkaitan dengan “wanita”. Dengan alur maju, kehidupan tokoh utama diceritakan dengan detail dan cukup rumit, sehingga saya cukup menikmati membacanya. Sayangnya, konflik utama yang saya tunggu-tunggu menurut saya kurang seru. Konflik selesai dan melandai sebelum klimaks sehingga saya sudah degdegan eh ga jadi seru, hihi...


Baca Juga: Men are from Mars, Women are from Venus


Menurut saya, buku ini (beserta karya-karya Ahmad Tohari lainnya) sangat layak untuk dibaca. Buku ini membuka wawasan dan dengan mudah membawa pembaca seperti melihat dan mengalami langsung kejadian demi kejadian dalam ceritanya. Penggambaran latarnya cukup detail namun tidak berlebihan, sehingga saya merasa sayang kalau tidak membacanya secara utuh. 

Terima kasih sudah membaca ya! Wassalamu'alaikum :)

No comments:

Post a Comment