Alkisah (ceilah),
saya pergi ke sebuah hotel di Bandung untuk keperluan training persiapan masa pensiun
sebuah perusahaan swasta nasional, selama 6 hari. Di hari terakhir training,
ada acara berbagi dari peserta kepada
anak-anak berkebutuhan khusus di kota Bandung. Ada yang tunanetra dan low
vision, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunaganda (yang menyandang lebih
dari 1 kebutuhan khusus).
Fyi, training pensiun
ini sangat menguras perasaan dan air mata kami; peserta dan juga fasilitator
yang baru turun di training jenis ini. Hehehe.. apalagi saya yang memang
berhati lembut (hahay!). Hingga sampailah kami di sesi siang hari terakhir, acara
berbagi itu. Saat peserta baru saja menghela napas setelah bersimbah air mata,
hatinya lagi pada lembut-lembutnya, ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) didatangkan
ke hotel dengan diantar guru-gurunya dari SLB. Setelah pembukaan, masing-masing
ABK dipasangkan dengan 1 keluarga peserta (peserta terdiri dari suami dan
istri, kecuali yang ga bawa istri),
lalu mereka makan bersama.
Waktu anak-anak baru masuk ruangan, saya turut menyambut mereka dengan ‘girang’.
Otomatis saja gitu. Apalagi ada seorang ABK perempuan, kecil di atas kursi
roda, tunaganda, memancarkan ekspresi girang luar biasa sambil merentangkan
tangannya lebar-lebar ke arah saya. Minta dipeluk. Haduuuu… saya sambut
ekspresi riang gembiranya dan memeluknya, dan mencium dahinya. Ia begitu ceria.
Tak ada masalah dalam hidupnya, nampaknya. Begitu juga dengan anak-anak yang
lain. Sama cerianya, berteriak-teriak mengikuti acara dan lomba yang disiapkan Bapak
dan Ibu peserta training, memperebutkan hadiah.
Sampai pada sesi ini berakhir, keluarlah salah seorang yang dituakan dan
dihormati di antara kami, sambil matanya sembab karena menangis, dan memang ia
masih menangis. Para peserta meminta foto dengan bapak tersebut bersama ‘anak
mereka’ masing-masing, dengan si bapak masih mengeluarkan air mata. Saya sempat
bergurau, “Jangan mewek terus dong Pak”, tapi ga mempan.
Di sela-sela istirahat, bapak yang kami hormati itu mendatangi saya dan
ternyata masih membahas ‘mewek’ tadi. Beliau bertanya, “Memangnya Farah ngga
tersentuh melihat mereka?” Jleb. Saya jadi mikir, tapi sayangnya waktu beliau
bertanya itu, saya tidak terpikir jawabannya *kebiasaan telmi. hehehe...
Bagaimana mungkin hati saya tidak tersentuh, sedangkan sedari tadi sayalah
fasilitator yang paling sulit menahan tangis mengikuti jalannya materi di
sesi-sesi yang sudah-sudah. Oh, saya tau kenapa.
Sebagai anak psikologi, kami lebih sering berinteraksi langsung dengan
ABK, maupun tidak langsung dengan membahas mereka di kelas-kelas kuliah serta
seminar, dan kehidupan sehari-hari kami. Kami mengenali bahwa mereka sama saja dengan
orang-orang yang normal pada umumnya; mereka perlu dihargai dan ‘dianggap bisa’.
Meskipun menurut penglihatan awam, mereka (maaf) kekurangan, tapi jiwa dan hati
mereka akan sakit bila dianggap tidak bisa, tidak mandiri, selalu perlu bantuan
orang lain yang normal. Mereka butuh kebahagiaan bahwa mereka mampu menjalani
hidup mereka sendiri, tanpa terus diikuti oleh pandangan iba dan kasihan dari
orang lain.
Kita ada untuk saling berbagi, kita mendatangi dan mendatangkan mereka
untuk berbagi kebahagiaan. Maka kebahagiaanlah yang seharusnya kita bagi pada
mereka, bukan rasa kasihan. Secara manusiawi mungkin kita memang tersentuh dan ‘takjub’
dengan keadaan mereka yang bisa bertahan dan ikhlas menerima taqdir Tuhan. Tapi
menurut saya, simpanlah rasa itu dalam hati, jangan ditampakkan di depan
mereka.
Ketika anak-anak itu datang ke ruangan, mereka harus melepas sepatunya. Guru-guru
yang mendampinginya hanya memperhatikan sambil bersikap tegas dan berkata, “Ayo,
buka sepatunya sendiri. Semuanya kan sudah bisa”. Ibu guru itu sudah menanamkan
self efficacy (perasaan mampu dan
berdaya) yang sangat penting bagi kepercayaan diri mereka kelak. Dan mereka
benar-benar bisa melakukannya sendiri (kecuali beberapa anak dengan kebutuhan
tertentu, tuna ganda; grahita, rungu, dan daksa sekaligus). Maka, sebaiknya
kita dukunglah pelajaran yang telah susah payah diberikan oleh para guru itu.
Anak berkebutuhan khusus, punya hak yang sama dengan kita untuk dihargai
bahwa mereka adalah seseorang yang mampu, kuat, dan mandiri. Mereka juga punya
hak yang sama dengan kita, berhak untuk bahagia. Perlakukanlah mereka
sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Seperti anak perempuan di atas kursi
roda, yang memancarkan binar wajah kebahagiaan bertemu dengan kami saat itu.
ini anak perempuan yang saya maksud. Tapi waktu difoto entah kenapa ya ekspresinya jadi serius gitu? hihihi ;) |
awalnya anak ini maunya pulang terus. Tapi Bapak ini berhasil mengambil hatinya dan memberikannya tawa kegembiraan. so sweet.. |
they can! |
akhirnya pasrah di pelukan 'bapaknya', setelah lelah berontak karena dielus-elus dan dicium-ciumin terus sama 'si ibu'. Risih kali ya? |