Waktu kuliah Kepribadian I di semester 4, Mas Budi menganalisis tulisanku yang tampak sambung. Menurut beliau aku mudah dekat dengan orang lain. Ya, itu betul. Tapi belakangan ini aku baru sadar, ternyata kadang aku lebih senang sendiri. Beberapa orang menginterpretasikannya sebagai individualis.
Ya, kalau berjalan aku lebih senang sendiri, kecuali menemukan teman perjalanan yang ‘seirama’ denganku.
Di kosan, aku lebih suka menyelesaikan tugas-tugasku walau banyak godaan datang untuk mengobrol dengan tetangga-tetangga kamar. Dan aku jarang tergoda. Kaku memang. Tapi beberapa tahun belakangan ini aku mulai berusaha membaur –tetep, seperlunya. Awalnya aku kaget karena ternyata waktu sudah berlalu banyak sekali untuk mengobrol dan banyak pekerjaan yang terbengkalai. Semenjak itu, aku sangat hati-hati (kalo ngobrol, selalu liat jam dan komitmen dengan jadwal).
Nah, mohon maaf sebelumnya kalau ada yang tersinggung…
Aku agak terganggu kalau kedekatan itu sampai jadi 'nempel' (ini versi-ku, silahkan kalau ada yang tidak setuju).
Aku tidak suka selalu ditunggu, karena aku sebenarnya tidak suka menunggu. Wajarnya, orang yang selalu menunggu orang lain menyelesaikan pekerjaannya, juga ingin ditungguin ketika mereka menyelesaikan pekerjaan mereka. Dan sekali lagi, sebenarnya aku tidak suka menunggu (katanya aku tidaksabaran, tapi bagiku penempatan kata 'sabar' di sana tidak tepat). Bagiku, kalau sudah selesai, ya jalanlah lebih dulu. Agar detik-detik dan menit yang ada tidak terbuang percuma hanya untuk menunggu orang mengerjakan hal sama. Jadi tidak produktif kaann?? (orang mengerjakan hal yang sama...).
Alasan lain kenapa aku tidak suka ditunggu untuk hal-hal sepele (seperti wudhu, pakai sepatu, atau merapikan jilbab) adalah, 'kok ga mandiri banget ya, gitu aja ditungguin?'
Sekali lagi, karena aku sebenarnya tidak suka menunggu untuk hal-hal seperti itu. Sayang waktunya. Dan, karena aku sangat menghargai sesuatu yang bernama WAKTU.