Follow Us @farahzu

Monday, December 29, 2008

Becak, Gaya Hidup Konsumtif?

4:35 PM 10 Comments
 
     Kalau dihitung-hitung, ongkos saya pulang dari Depok ke Bekasi tuh mahal juga lho... Lebih dari Rp15.000. Sekali jalan, hanya pulang, bukan bolak-balik ya! Setelah dihitung-hitung lagi,,, ternyata yang membuat mahal adalah ongkos becak dari depan buaran sampai depan pagar rumah. 5.000 rupiah, bayangkan, sama dengan ongkos bis kota dari Kp.Rambutan ke Bekasi, via Tol Cikunir (yang lebih mahal daripada via UKI)!
  
     Sebenarnya sih kalau jalan bisa-bisa aja... Tapi, males. heheh.. Saya pikir, "yah, kan seminggu sekali ini..." Lagi pula, setiap pulang ke rumah, bawaan saya selalu ga asoy buat diajak jalan kira-kira 1 km, berat luar biasa -maklum, anak kos, hhee-. Jadi, sekalian sudah kenal juga dengan abang-abang becak yang mangkal di buaran, ya sudah lah, becak aja, sekali-sekali (lagi).
   
    Bersyukur banget, ada motor. Jadi Rp5.000-nya bisa lebih produktif, lumayan, bensin seliter.. Jadi kalau sedang beraktivitas di sekitar Bekasi, motor-lah andalanku (serasa lebih macho ga siihh??) =)

    Kalau dibandingkan ojeg, menurut saya becak itu serba lebih.
  • Lebih inspiring!! Selalu ingin buat tulisan kalau sedang naik becak =)
  • Lebih nyaman karena sendirian,
  • Lebih aman dari fitnah -ga boncengan ama abangnya, apalagi kalo abangnya masih muda-,
  • Lebih ramah lingkungan,
  • Lebih terlihat sederhana karena digerakkan dengan tenaga manusia,
  • Lebih aseli budaya kita (iya ga ya?), terus,,,
  • Yah, betul, lebih mahal. Coba saja bandingkan. Tapi jangan bandingkan dengan tarif ojeg di UI ya, mahal soalnya.
     
    Jadi, becak = konsumtif??
    Dibilang iya, memang jelas iya, mahal bo,
    Tapi dibilang tidak, bisa juga. Coz becak itu membawa kesan tradisional dan bersahaja. Tapi, yah, niatkan saja kita bantu-bantu abangnya ya,,, sukur-sukur bisa ngasih lebih =)
               
       -Tunjukkan padaku, siapa di antara kalian yang masih banyak becak di rumahnya-
                                   Depok, 29 Desember 2008

Ritual Malam MInggu (Part 2), Cerita Sepasang Insan

4:08 PM 6 Comments
Ritual malam minggu,,, pekan lalu saat aku pulang, ibuku berbagi cerita lama tentang “sejarah hidupnya”, sambil menunggu pangeran berkuda putihnya (ayahku) pulang malam itu. Sejak kecil, remaja, hingga bertemu dengan ayah. Juga cerita tentang masa-masa awal mereka berumah tangga. Parah. Namun lucu. Dan cerita itu semakin memperbesar cintaku pada ayah, selalu. Dan kasihku pada ibuku. Sebenarnya cerita-cerita itu telah sangat sering kudengar sejak ku kecil, bahkan aku sampai hafal alur ceritanya. Namun selalu ada hal baru yang belum pernah kudengar. Padahal ceritanya itu-itu saja. Yah, pengalaman memang memberi terlalu banyak pelajaran dan kesan (experiential learning, David Kolb). Tak cukup diwariskan hanya melalui cerita.
Awalnya ibuku bercerita tentang bagaimana sulitnya menjadi menteri keuangan dan menteri dalam negeri sekaligus di masa-masa awal. Kugali lebih dalam terutama tentang menjadi menteri keuangan dalam sebuah republik bernama rumah tangga. Beliau juga membagi tips untuk menjadi menteri keuangan yang prestatif. Di mata suami, keluarga, dan yang terpenting di mata Allah. Berkali-kali beliau menekankan, jangan pernah lupa atau merasa berat untuk bersedekah. Harta yang kita sedekahkan adalah sejatinya harta yang kita punya. Allah tidak akan memiskinkan orang yang bersedekah. Bahkan Allah akan melipatgandakan rezeki untuknya. Tak lupa yang paling penting, Allah akan melimpahkan keberkahan dalam rezeki dan kehidupannya. Ternyata, inilah rahasia kelapangan hidup ayah dan ibuku.
Ritual malam minggu,,, pekan lalu aku mendapat banyak sekali pelajaran dari ibuku. Pekan ini saat aku pulang,,, giliran ayahku beraksi. Malam itu aku menggali banyak sekali kisah dan pelajaran dari “sejarah hidup” ayahku –malam itu permaisurinya sedang ada pengajian, salah satu cara menjadikannya bidadari abadi. Cerita tentang masa kecil hingga dewasanya yang telah menempa mental beliau menjadi sekuat baja namun berhati selembut sutera. Ayahku pahlawan. Untuk dirinya, keluarganya dulu, ibu dan adik tirinya, rekan-rekannya, bawahannya, hingga istrinya, dan anak-anaknya kini. Berbagai deraan yang menimpanya kian meringankan hatinya untuk senantiasa ikhlas dan tulus. Ikhlas, dan tulus.
Bekasi, 27 Desember 2008

Ritual Malam MInggu (Part 1)

4:06 PM 7 Comments

          Seperti biasa, akhir pekan ini aku pulang. Hehe, setelah sekian lama (tak pernah di semester ini) tak pernah pulang sebelum Sabtu maghrib, kali ini aku sampai rumah pukul 13.30. Kini “pusat keramaian” mulai pindah ke kamarku. Semua berkumpul di sana. Ngobrol, tentang apapun, sampai tertidur…
Ritual malam minggu,,, saat-saat itu adalah saat-saat khusus yang tidak pernah rela aku gantikan dengan agenda apapun. Kuusahakan sangat,, karena tidak ada waktu lagi (halah) selain itu. “Pusat keramaian” kembali ke tempat semula—kamar orang tuaku. Lagi-lagi, mengobrol, memijat, “menginjak”, bercanda, tawa, curhat, atau saling meledek dan menggoda,,, sampai tertidur…

Ritual malam minggu,,, meski sedikit waktu untuk itu,,, hanya beberapa jam, bagiku berarti sangat besar dan penting. Bagaimana tidak, maghrib baru sampai rumah, makan, mandi, shalat,, sampai kupikir aku tak perlu istirahat lagi, ritual malam minggu, lalu esok paginya beraktivitas kembali di luar rumah (tak jarang hampir seharian). Istirahat, ba’da subuh esok harinya sudah harus standby kembali di depan Tol Barat, kembali ke dunia nyata—kampus.
Ritual malam minggu,,, ini salah satu strategi “efektif”-ku. Terbatasnya waktu bersama keluarga sedangkan tipikal keluargaku adalah yang menjunjung tinggi kebersamaan keluarga, awalnya aku merasa sangat kesulitan membagi waktu, diri, dan konsentrasi. Konflik pun tak jarang terjadi karena aku hanya dianggap “numpang tidur” di rumah. Tapi seiring berjalannya waktu, aku belajar.
Ternyata kuncinya adalah efektif, kawan. Saat berada di rumah, kutanggalkan semua beban amanahku di luar, tugas-tugas kuliah, bahkan awalnya amanah tubuh dan pikiranku sendiri untuk istirahat. Keluarga juga amanah (sekalian belajar untuk keluargaku sendiri nanti, hehehe). Tidak seperti yang kudengar dari curhatan ibu-ibu yang “senasib” dengan ibuku karena anaknya sangat sibuk di luar.

                                                                                                                    Bekasi, 20 Desember 2008

Tuesday, December 9, 2008

Kurban Tahun Ini: Satu Hal

7:49 AM 19 Comments
Satu hal yang paling kukhawatirkan menjadi panitia kurban tiap tahun: keadilan. Katakanlah sapi 1 dijadikan 200 bungkus daging, atau 220 bila sapinya besar. Nah, aku takut tidak reliabel karena penghitungannya tidak menggunakan alat ukur yang ajeg (timbangan), melainkan diukur dengan mata dan hati (tidak selalu menjadi mata hati kan?). “Yak, sapi 1 200!” bergeraklah kami membuat 20 baris ke samping dan 10 baris ke belakang. Dibagi seadil mungkin pada tiap-tiap gundukan daging-daging itu.
Satu hal yang paling seru dalam bekerja jadi panitia kurban tiap tahun: adalah ketika seseorang telah berteriak, “Bungkus!!” yang diikuti oleh teriakan yang lain untuk meramaikan. Beberapa orang yang beristirahat sambil membuka-buka kantong plastik untuk memudahkan pembungkusan, langsung menyebar kantong-kantong itu,, diikuti dengan liarnya panitia yang lain (kebanyakan remaja putri, gadis-gadis yang sudah lewat dari remaja seperti aku dan beberapa teman, dan ibu-ibu) membungkusi daging-daging, mengikat, dan melemparnya ke satu arah yang pasti. Dengan berebut! Seru deh! Tak jarang beberapa panitia menarik plastik kosong yang sama, karena “crowded”-nya saat itu. Seru. Rebutan. Tertawa.
Satu hal yang tidak boleh lagi kulupakan dalam menjadi panitia kurban tahun depan: lepas cincin dari rumah! Kalau tidak, pasti darah-darah hewan itu akan nempel dan sangat sulit membersihkannya. Dan bodohnya, tahun ini aku lupa lagi!
Satu mata pelajaran yang selalu kami pelajari kembali saat jadi panitia kurban: biologi. Mencoba mengenali organ-organ dalam hewan yang masih utuh maupun yang telah tercabik-cabik oleh pisau dan golok panitia tim cacah-cincang (yang ini remaja putra, pria-pria dewasa muda awal seumurku, tukang becak, abang-abang, dan bapak-bapak).
Satu orang yang selalu mengagetkanku dengan bagian-bagian “aneh” hewan kurban: Mang Y…i! Selalu deh! Kadang dengan ekor sapi yang full rambut dan panjang (mengerikan), kadang dengan “organ-organ tertentu” yang menjijikkan, kadang dengan,,, banyak lah.
Satu hal paling menyebalkan untukku setiap jadi panitia kurban: asap rokok.
Satu hal yang paling terabaikan saat jadi panitia kurban: handphone
Satu hal yang selalu ada namun selalu berganti di panitia kurban setiap tahun: seragam panitia. Kali ini kaos hitam, bersablon, bagus. Tahun lalu merah. Tahun kemarinnya lagi biru dongker.
Satu hal yang dibolehkan khusus untukku tapi tidak yang lain: memakai sandal di antara barisan daging-daging saat yang lain bertelanjang kaki. Hihi, makanya pakai kaos kaki…
Satu hal yang paling dinikmati oleh para ABG putri yang jadi panitia kurban: mejeng, serasa selebritis setahun sekali. Saat kami bekerja, orang-orang yang berharap daging kurban telah berjejer sejak siang di luar pagar tali yang dibuat panitia untuk ketertiban. Dan mereka memandang terus ke arah kami (walaupun yang lebih masuk akal mereka memandangi daging-daging itu, bukan kami).
 Satu hal yang paling “mengganggu pikiranku” saat jadi panitia kurban tahun ini: penghitungan suara BEM UI. Haduh, entah, gelisah bangetzzs!!
Satu hal paling istimewa dalam kegiatan kurban tiap tahun: kumpul dengan teman-teman se-komplek! Setahun sekali nih…
Satu hikmah abadi dalam kegiatan kurban tiap tahun: kesyukuran. Alhamdulillah.