Judul : Sang
Pangeran dan Janissary Terakhir; Kisah, Kasih, dan Selisih dalam Perang
Diponegoro
Genre : Fiksi
Sejarah
Author :
Salim A. Fillah, 2019
Penerbit : Pro-U
Media
Jumlah halaman: 632 halaman
Beberapa waktu sebelum membeli buku ini,
saya sudah menyimak potongan-potongan ceramah Ustadz Salim A. Fillah mengenai
sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro. Bukan hanya dalam mengusir penjajah,
namun ternyata yang utama adalah beliau memperjuangkan Islam agar dapat tegak kembali
di tanah Jawa, yang telah banyak direndahkan setelah kedatangan penjajah
Belanda itu. Jadi begitu lho, hubungannya *eeh.
Di Jawa itu, ternyata dahulu islami sekali
lho. Iya sih, kan Kerajaan Mataram ya hehehe… Ada banyak simbol-simbol di Kraton,
rumah warga, dan tentu saja masjid, yang kental sekali dengan pesan-pesan agama.
Di antaranya seperti ukiran buah nanas di tiang Masjid Gedhe Keraton, yang mengingatkan
kodrat manusia (An-Naas) agar tidak sombong. Buah/pohon salak juga, yang
berasal dari nama surah dalam Alquran, Al-Falaq, mengingatkan akan godaan setan
yang akan selalu menyertai, maka perkuatlah benteng keimanan. Juga, sebagai
penanda rumah pejuang, di halamannya selalu ada pohon sawo berjajar, diambil
dari pesan imam ketika akan shalat berjamaah: sawwuu shufuufakum, agar
senantiasa meluruskan dan merapatkan barisan, baik dalam shalat maupun dalam perjuangan.
Demikian pula, Pangeran Diponegoro memilih nama gelar beliau Sultan Abdul Hamid
Diponegoro, yang merujuk pada Sultan Turki Utsmani ketika beliau lahir, Sultan
Abdul Hamid I. Kalau lidah orang Jawa, beberapa bisanya menyebut Ngabdul
Kamit, itu maksudnya sama 😊
Buku ini berlatar Perang Diponegoro yang
dikenal juga dengan Perang Sabil (1825-1830). Yang dimaksud adalah perang
melawan penjajah Belanda yang kafir, yang menginjak-injak Islam di tanah Jawa, jihad
fi sabilillah, berjuang di jalan Allah. Disingkat Perang Sabil. Di buku
sejarah sekolah dulu, kita taunya hanya Perang Diponegoro saja kan. Nah, di
buku ini lebih lengkap dan fair sejarahnya.
Di buku tebal ini, penulis banyak
menyiratkan pesan kesetiaan; pada cita-cita yang mulia, pada pemimpin, dan pada
saudara-saudara seperjuangan. Selain itu juga tentang keteguhan tekad dan
idealisme, yang ditunjukkan oleh Sang Pangeran dan sahabat-sahabatnya. Ada
banyak tokoh yang tadinya tergabung di barisan beliau, akhirnya keluar dan
memilih berdamai dengan penjajah. Alasannya banyak. Ada yang memang tergoda
dengan iming-iming penjajah hingga tak malu berkhianat, ada juga yang memilih
menyerah karena melihat kesengsaraan rakyat yang ditimbulkan oleh perang
yang berkepanjangan ini. Padahal sih, Belanda melobi dan merayu habis-habisan
para tokoh untuk sesegera mungkin menghentikan perang, dikarenakan VOC,
korporasi dengan valuasi terbesar itu, bangkrut gara-gara membiayai perang ini.
Namun, masih banyak pula orang-orang yang istiqomah di samping beliau, serta rakyat
yang setia membersamai beliau dengan pengorbanan sepenuh jiwa dan raganya.
Kemudian pelajaran yang juga saya dapatkan
dari buku ini, di antaranya tentang kekuatan. Pangeran Diponegoro sering
diceritakan memimpin perang gerilya di hutan-hutan sambil ditandu karena sakit.
Saking seringnya diceritakan begitu, sampai waktu sekolah dulu saya hanya tahu
beliau ketika lemah dan sakitnya saja. Beliau memimpin perang meskipun sedang
sakit memang fakta, hanya saja dipaparkan juga dalam buku ini, bahwa di luar keadaan
sakitnya, beliau adalah seorang yang sangat kuat. Ia bisa mendobrak tembok yang
tebal, tinggi, dan besar ketika dikepung tiba-tiba, tanpa peralatan,
sehingga ia dan pasukannya bisa menyelamatkan diri. Ketika ditangkap karena
pengkhianatan, beliau menahan marahnya dengan meremas pegangan kursinya, yang
terbuat dari kayu, sampai hancur. Makjaaaang. Eh, maa syaa Allaah!
Seorang muslim bukan hanya dituntut untuk
soleh dan taat beribadah, namun juga harus memiliki kekuatan dan keterampilan
yang bisa digunakan untuk membela agama Allah. Tidak harus menunggu ada perang,
namun kita harus melatih diri baik meskipun keadaan sedang damai, sehingga kita
siap kapanpun diperlukan. Lalu insight lainnya, maaf tidak saya tuliskan
semua hehe…
Selain itu tentunya ada juga kisah cinta
yang bikin hati meleleh dan penasaran ingin tahu lanjutannya. Kalau kisah cinta
mah emang gak pernah ada basinya ya? Selalu haneut, hihihi…
Tokoh-tokoh dalam buku ini, ada Sang
Pangeran sendiri dan para panglima serta pengawal-pengawal setianya. Janissary,
fyi, adalah kesatuan elit pasukan Turki Utsmani, seperti Kopassus-nya kita.
Nah, di dalam buku ini juga ada kisah tentang ahli waris seorang Wazir (perdana
menteri) Turki Utsmani beserta juru tulis/sekretaris kepercayaan sang Wazir
tersebut, keduanya memegang peran sentral di sepanjang buku ini. Bagaimana
ceritanya mereka bisa sampai terlibat dalam perjuangan pasukan Sang Pangeran
dalam perang sabil di tanah yang sangat jauh ini? Baca aja ya.. in sya Allah
ada banyak ilmu dan wawasan yang bisa didapatkan dari buku ini.
Selain itu, dari sisi antagonis ada para
pejabat Hindia Belanda dan VOC, serta para pejabat Keraton yang telah hilang
harga dirinya karena membelot mendukung penjajah. Ada juga yang seperti duri
dalam daging, terlihat membantu perjuangan namun ternyata mata-mata musuh. Seru
Guys!
Ternyata manusia sekompleks itu ya. Ada
yang dengan cita mulianya untuk agama menjaga idealismenya mati-matian, bahkan
tak takut mati sama sekali. Ada juga yang ketamakannya na’udzubillah, sampai
benar-benar rela mengorbankan iman, harga diri, dan rakyatnya, hanya demi uang
dan jabatan, mendukung para penjajah.
Cerita dalam buku ini ditulis dengan alur
maju-mundur, sehingga cukup perlu konsentrasi untuk melihat keterangan tahun di
setiap awal babnya, terutama di awal-awal cerita. Di sini ada banyak fakta
sejarah yang menyertakan tahun-tahun dan kejadian, yang menambah informasi pada
pembaca, diselipkan dalam perkataan tokoh-tokoh di dalam cerita. Namun saya
pribadi melewatkan beberapanya karena kepanjangan hehehe… ‘afwan Ustadz.
Kalau menurut saya, cara latar belakang
cerita dibawakan itu agak kelamaan, atau sayanya yang lama ngerti baru bisa
menikmati ya? Fyi, Buku ini sudah dicetak ulang bahkan sebelum resmi launching
lho! Selaris dan sebagus itu memang!
Saya merekomendasikan buku ini buat kamu
yang muda, atau yang merasa muda, dan yang ingin selalu berjiwa muda. Buku ini
bernas, ma sya Allah. Ada banyak pembelajaran dan ghirah (semangat) yang
terbangkitkan sejak memulai hingga menyelesaikan membaca kisah ini. Karena
sejatinya mempelajari sejarah bukan hanya mendapatkan informasi kejadian,
tanggal, tempat, dan tokoh, melainkan mengambil hikmah, melestarikan kebaikan
dan kebijaksanaan para pendahulu, serta belajar dari kelengahan atau kesalahan
yang pernah ada agar tidak kita ulangi di masa sekarang dan yang akan datang.
Jazakumullah khayran Ustadz Salim.
“Katanya, cinta seorang lelaki seperti matahari. Semua orang tahu kapan ia terbit dan kapan waktunya terbenam. Bahkan banyak yang akan menyadari pula ketika takdir gerhana menggelapkannya. Tapi cinta seorang perempuan seperti kuku-kuku jari. Ia tumbuh perlahan, tapi pasti; meski dipotong berulang kali. Kuku sudah ada sejak janin tumbuh dalam rahim. Tapi kesadaran untuk merawat dan mempercantiknya hadir seiring meremajanya usia.” (Salim A. Fillah, dalam Sang Pangeran dan Janissary Terakhir)
Baca Juga: Dalam Dekapan Ukhuwah