Follow Us @farahzu

Wednesday, March 4, 2020

Berempati Saat Kita Membutuhkan Empati

Kata empati, terdengarnya mudah dan ideal ya, memang harus seperti itu, semua orang juga tahu. Berempati adalah memahami apa yang dirasakan orang lain, dari sudut pandangnya. Tentu tidak semua orang bisa mempraktekkannya ya, makanya perlu dilatihkan.

Bagaimana dengan saya? Ssst, saya juga sering kesulitan... Kalau kondisi diri sedang prima sih hayuk aja. Dan sebagai orang yang bergerak di pengembangan SDM, mau gak mau saya sering berlatih bagaimana melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, memahami apa yang ia pikir, rasa, ingin, dan tidak-inginkan. Lalu memilih respon yang tepat untuk membuatnya merasa lebih baik atau nyaman. Bisa? Alhamdulillah bisa.

Masalahnya, saya tidak selalu berada dalam kondisi prima kan? Kadang sudah paham bagaimana kondisi orang lain, perasaannya, apa yang sedang dia alami, dan apa yang dia harapkan. Saya juga tahu harusnya bersikap bagaimana dan memberikan respon apa. But life is never flat ya. Ada saat-saat di mana energi saya sudah tipis, sudah lelah dan kadang sensitif. Di kondisi itu, ketika ada tuntutan untuk memahami orang lain lagi, rasanya berat. ‘Kenapa bukan saya yang dipahami??!’, mungkin demikian teriak sesuatu dalam kepala panas saya.

Lalu apa yang harus dilakukan bila berada di kondisi tersebut?
Saya sendiri awalnya bingung, jadi saya bertanya. Hehe, ini jawabannya dan menurut saya cukup bijak untuk kita adopsi. Yang pertama, diamlah. Jangan katakan apapun. Beri waktu untuk silence. Percaya atau tidak, diam lebih bisa membuat hati lega lho daripada meluapkan amarah. Tapi kalau diam terus mendendam, ya bahaya. Jangan ya. Lebih baik diam, lalu lihat lagi kondisi dia yang sedang lebih perlu kita pahami.

Baca Juga: Pentingnya Meminta Maaf dan Memaafkan dalam Kehidupan Rumah Tangga

Kedua, beresponlah seperlunya. Misalnya menyatakan persetujuan pada apa yang dirasakan orang itu seperti, “Wajar kalau kamu merasa begitu.” Atau dukungan, “Saya paham bagaimana rasanya kalau berada di posisi kamu saat ini”.

Ketiga, ambillah jarak. Kamu butuh waktu untuk sendiri, mengenali emosimu dan keadaan emosi orang itu. Atau sekedar memberikan ruang untuk menikmati tarikan dan hembusan nafasmu sendiri. Istirahat.

Yang perlu dicatat, jangan sampai kita mengeluarkan uneg-uneg saat itu, apalagi sampai marah. Kita tetap perlu mengontrol apa yang keluar dari lisan kita, jangan sampai menyesal nantinya. Percayalah, marah itu lebih bikin capek daripada diam dan bernafas saja. Tentu saja ya kan..

Sayangnya saat seperti itu, marah terasa enak dan mudah. Tapi itu godaan setan kawan, setelah hubungan kita memburuk dengan orang, dia (setan) ga bakal mau tanggung jawab. Orang dia emang pengennya bikin rusak.. Tinggal kita deh yang sesak karena menyesal. Na’udzubillah.
Menyesal

Sekian sharing solusi dari curhatan ane sendiri ya Guys, hehe. Semoga kita bisa lebih dewasa dan bijak mengatur emosi dan respon kita sendiri. Kalau sudah begitu, in sya Allah kita bisa memiliki hubungan yang sehat dengan orang-orang yang penting dalam hidup kita. Aamiinn...

Terima kasih sudah membaca!
#30dwc #30dwcjilid22 #day18

No comments:

Post a Comment