Follow Us @farahzu

Wednesday, May 26, 2010

yang hobi jalan-jalan

10:17 AM 18 Comments
           Alkisah, pada suatu hari saya berhadapan dengan seorang manajer HRD sebuah lembaga. Beliau telah membaca curriculum vitae saya, dan mengetahui bahwa saya adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga dan bungsu pula (fyi, kakak saya juga anak laki-laki satu-satunya).
           
           Teman, kau tau kan, kalau ekspresi wajah pada detik pertama adalah ekspresi emosi yang paling jujur (kalau belum tau, tuh kan saya kasih tau ^_^). Beliau tampak kaget mendengar jawaban saya ketika bertanya, “Siap ga kalau ditempatkan di daerah?”. Aku menjawab dengan semangat, “Siap Pak”. Beliau melanjutkan, “Misalnya di Aceh, atau Singgalang, gitu, siap?” Beliau nampak kaget lagi ketika aku juga menjawab siap dengan mata berbinar. “Kalau ditempatkan di Hong Kong?” beliau bertanya (nantangin kali ye) lagi, seperti masih sangsi atas binarnya mataku (lebay). Dan saat itu aku merasa mataku lebih berbinar lagi, lalu menjawab, “Siap Pak!” ^_^
          
          Sudah. Saya ingin bercerita tentang mengapa saya selalu menjawab siap untuk pertanyaan-pertanyaan di atas. Alasan besarnya sih karena saya memang ingin sekali bepergian keliling Indonesia. *sangat berharap dapat pekerjaan yang memungkinkan saya untuk keliling Indonesia. Apalagi kalau ditempatkan di luar negeri ;D. Mumpung masih sendiri, hehe…
        
          Saya ingin keliling Indonesia, karena itu saya suka sekali jalan-jalan. Kenapa? Karena saya senang mengumpulkan gantungan kunci dari berbagai daerah (lhoh?). Bukan, bukan itu (yaiyalah!). Saya senang jalan-jalan karena saya menyukai alam. Apalagi alam Indonesia yang cantik. Dari darat, udara, apalagi lautnya (*gaya, padahal baru pernah snorkeling 1 kali). Selalu senang ke alam bebas! Tapi, saya bukan pecinta kuliner seperti kebanyakan orang yang punya hobi traveling. *Soalnya lidah saya gak peka sama rasa. hehe..
         
          Kedua, saya senang jalan-jalan karena dengan begitu saya bisa belajar banyak hal seperti kebudayaan, sejarah, dan bahasa. Juga banyak bertemu orang-orang baru dengan watak dan karakter yang berbeda-beda. Mengenai watak dan karakter, percaya tidak-percaya, ternyata banyak juga yang dipengaruhi oleh suku lho. Unik kan? Jadi semakin sering jalan-jalan ke daerah yang berbeda, semakin banyak watak dan karakter yang bisa kita temui dan (ehem) pelajari. Hwah, jadi semakin pengen jalan-jalaaann… Senang aja bisa belajar adaptasi dengan karakter orang yang beda-beda.
         
        Hobi jalan-jalan saya sebenarnya muncul baru-baru ini saja. Kira-kira, baru 1 tahun yang lalu lah. Ketika hobi itu mulai muncul, saya semakin mantap menjadikannya sebagai hobi (halah) saat membaca judul majalah Tarbawi kala itu, “Bepergian dan Kekuatan Kepribadian Kita”. Ya, ternyata hijrah atau jalan-jalan ke daerah lain berpengaruh pada kekuatan kepribadian. Dalam majalah itu dicontohkan kisah Imam Ghazali sering yang berpindah tempat dalam hidupnya, sejak ia kecil. Dalam buku Psikologi Kematian, Komarudin Hidayat mempertegas bahwa tidak ada nabi pembawa agama samawi yang ada sekarang yang tidak melakukan hijrah dalam hidupnya; Nabi Musa a.s., Isa a.s, dan Muhammad saw. Hijrah dan bepergian ternyata merupakan hal besar yang dilakukan oleh orang-orang besar! Humh, semakin bersemangatlah saya jalan-jalan. Terlebih masih banyak lagi ayat Al-Quran yang menyuruh kita untuk ‘jalan-jalan’ ^_^
       
         Tidak selalu harus jauh, ketika masih kuliah dulu (kesannya tua banget gue) saya sangat menikmati perjalanan di atas kereta ekonomi dari stasiun UI sampai Bogor. Kalau sedang jenuh dengan kuliah dan amanah di kampus, saya suka iseng naik kereta ke Bogor. Harus ekonomi. Karena di KRL ekonomi itulah saya banyak belajar. Saya memperhatikan (bahasa kerennya observasi) kehidupan yang berlangsung di atasnya. Ada banyak pedagang, pengamen berbagai usia, penumpang yang tingkahnya macam-macam, ah, banyak lah. Pun harus ekonomi, karena pintu kereta yang tidak pernah tertutup menghembuskan angin segar dari luar yang masih banyak ditumbuhi pepohonan, dan pada akhirnya, segarnya udara Bogor (dari atas kereta yang sedang melaju, kalau siang dan menetap sih panas juga). Sampai stasiun Bogor, keluar, sedikit jalan-jalan, beli roti bakar atau makan… pulang lagi deh ;D dan kepenatan pun hilang, dengan lega aku kembali ke ‘kehidupan nyata’.
Aku siap!
                                                                                                         Bekasi, 21 Mei 2010

Monday, May 17, 2010

Belajar Renang, Belajar Hidup; Sebuah Filosofi

4:55 PM 31 Comments
Apa hubungannya hayoo?? Jadddiii, sebenarnya dalam apapun hal yang kita lakukan, lalui, atau amati dalam hidup, tersimpan sejuta makna yang dapat memperkaya kita sebagai manusia. Dengan catatan, asal kita mau membuka indera, pikiran, dan hati lebar-lebar untuk menangkap makna-makna itu. Itulah sebabnya Rasul saw bilang, “Hikmah itu milik orang mu’min yang hilang; di manapun ia menemukannya, ia berhak atasnya”, kira-kira demikian.
Begitupun dengan renang. Konon katanya, renang itu adalah olahraga yang paling baik. Itulah mengapa Rasulullah Muhammad saw menganjurkannya. Dan kata Umar Bin Khaththab sang jagoan,
“Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis. Karena ia bisa digantikan orang bila tidak bisa menulis, tapi ia tidak bisa digantikan orang lain bila tidak bisa berenang”.
Ih wow, saya bahkan baru tau ketika membaca bukunya Anis Matta. Tapi sayangnya renang bukan olahraga paling murah. Hehe… renang juga olahraga yang paling menyenangkan karena kita bermain dengan sejuknya air. Jadi ingat waktu SD dulu, ketika guru saya bertanya siapa yang hobi renang, semua anak mengacungkan tangannya, kecuali satu. Sisanya, menganggap aneh 1 anak yang tidak suka renang itu. Olahraga apa coba yang bikin capek tapi tidak membuat kita berkeringat? Ya renang lah ;D
Berbekal nguping waktu seorang pelatih sedang mengajari ibu-ibu bagaimana mengajari anaknya berenang, saya mencoba mempraktekkan beberapa hal pada orang-orang yang mempercayakan saya sebagai pelatihnya (contoh: ibu saya dan temannya). Ketika seseorang baru pertama kali belajar renang, pertama-tama sekali, ia harus dikenalkan dulu dengan ‘dunia barunya’: air. Caranya, dalam posisi berdiri (boleh berpegangan pada dinding kolam), celupkan muka ke dalam air dengan mata terbuka, lalu lihatlah kakimu sendiri di dalam air itu. Ingat, mata harus terbuka. Lakukan beberapa kali, hingga anda/ia terbiasa dan tidak ‘takut’ lagi dengan air.
Filosofinya, sebelum kita dapat beraktivitas dengan leluasa dalam hidup, kita harus kenali dulu sekeliling kita, mengakrabinya. Kita tidak akan menikmati suatu suasana kalau kita takut menghadapinya kan? Membuka mata di dalam air ketika renang merupakan hal yang penting, karena dengan demikian kita baru akan bisa “menikmatinya”. Aku pernah iseng mengerjai teman yang sudah bisa meluncur. Kuminta ia meluncur sejauh jarak antara aku dan dia. Ketika hampir sampai, aku mundur, mundur, mundur, ada yang aneh. Kok, gak ada yang protes ya? Ternyata selama di dalam air dia merem! Tidak sadar aku kerjain. Pantas saja lama bisanya karena ia masih ‘panik’ dengan air. Kenali dulu dunia kita, buka mata, nikmati sensasinya ;D
Kedua, kita harus percaya pada air. Trust. Yang harus dipahami adalah bahwa, air itu sebagaimana kita memperlakukannya. Seperti halnya manusia, air juga butuh ditsiqohi (akhirnya terjawab di sini, haha..) Kalau kita percaya air tidak akan menenggelamkan kita, ya air akan mengambangkan kita. Biasanya cara untuk membuat orang yang masih sangsi dengan hal itu adalah dengan menenggelamkan diri kita sendiri sambil menahan napas, tanpa melakukan perlawanan apapun terhadap air, pasrah saja. Lalu, air akan mengambangkan tubuh kita dengan sendirinya. Yah, seperti, maaf ya, mayat yang mati di air dan telah mengapung.
Nah, analoginya, mengapa mayat bisa mengapung, alih-alih tenggelam? Jawabannya karena, ia pasrah, tidak memberikan perlawanan apapun pada air di sekelilingnya. Dan air pun tidak melawan… Filosofinya, ternyata dalam hidup, banyak kejadian yang tidak mengenakkan ternyata dimulai oleh diri kita sendiri: prasangka. Kita takut orang akan jahat atau mencurangi kita, maka kita membuat semacam pertahanan diri darinya. Akhirnya jadi sinis-sinisan deh. Padahal kan belum tentu.
Nnaaahh, yang terakhir, dari saya si pelatih gadungan (oleh karena itu boleh percaya boleh juga tidak, hehe..), renang itu mengajarkan kita untuk bahagia. Mengajar kita bagaimana menikmati masalah-masalah yang mendera dalam hidup. Seperti telah dibahas sebelumnya, kita tidak akan bisa menikmati kalau kita panik. Iya kan?! Dalam belajar renang, kita belajar untuk tenang di dalam air, hingga kita mampu sepenuhnya mengontrol pikiran dan gerak anggota tubuh kita. Waktu saya belajar sih, saya menenangkan diri saya sendiri dengan berpikir, “Tenang Farah, ga ada hiu, ga ada hiu…”
Sebenarnya untuk poin terakhir ini, saya terinspirasi dari 3 orang sahabat. Ketiganya sama-sama belajar renang dengan pelatih yang sama, bayaran yang sama, dan jumlah jam latihan yang sama. Dua di antaranya sudah sangat pandai berenang, namun 1 sisanya, dari mulai pertama kali saya belajar sampai beberapa bulan saya bisa setelahnya, dia masih saja belum bisa. Menurut kedua sahabatnya sih, dia masih saja sering takut ketika berada di air. Mereka bilang, “Dia memang sehari-hari juga gitu, banyak takut, orangnya”. Oh, kasihan sekali, pikirku. Ketika mereka bertiga berada di tepi kolam dan mengobrol, tidak sengaja saya mendengar 2 orang yang sudah bisa itu mengkritik sahabatnya, kira-kira begini, “Makanya lo tuh ga bahagia kan? Jujur deh, lo pasti ga bahagia selama hidup ini”… Hiks, jadi nelangsa sendiri gue dengernya T_T.
Yah teman, itu saja dulu ya. Semoga bermanfaat, dan Selamat berbahagia! ;D
(Alhamdulillah,
akhirnya kelar juga nih tulisan)

Suami-suami Jauh dari Istri

9:46 AM 44 Comments
     Trans TV boleh lah punya tayangan Suami-suami Takut Istri. Tapi di sini saya punya cerita tentang para pria “single” (mereka mengaku demikian) yang senantiasa bercerita tentang istri masing-masing.
   
      Cerita bermula dari penugasan saya sebagai tim material SIMAK UI beberapa waktu lalu di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tahun sebelumnya saya mendapat kesempatan menjejakkan kaki di Borneo, tepatnya di Pontianak, Kalimantan Barat. Tahun lalu sih yang mengantar kami ke mana-mana (lokasi ujian, makan, jalan-jalan) adalah dari pihak Panitia Lokal dari Dinas Pendidikan setempat. Menjejak tepat di garis lintang 00 bola bumi, di Tugu Khatulistiwa. Menyeberangi sungai Kapuas yang sangat besar, menyambangi tempat budidaya lidah buaya, dan lain-lain. Tapi tahun ini kami (saya dan seorang dosen) diservis penuh oleh pihak BNI; ditraktir, diajak jalan-jalan, diberikan oleh-oleh, hummm…
   
      Nah. Ada 3 pegawai BNI yang setia mengantar kami. Ketiganya laki-laki, sudah menikah, dan semuanya tinggal jauh dari keluarga. Kebanyakan mereka orang Bugis, memiliki keluarga di Makassar, tapi ditugaskan di Kendari. Mereka bertiga, ditambah kepala cabangnya yang juga senasib yang ternyata beliau adalah tetangga saya di Bekasi dan di mana istrinya adalah teman ngaji ibu saya (betapa dunia ini sempit oy!!), selama dalam perjalanan di mobil, banyak bercerita. Seorang dari mereka lulusan UNHAS yang ternyata satu perguruan dengan saya, juga merupakan murid dari pelatih karate saya waktu di Makassar (pfiuh!). Yang lain mengaku lulusan UNGGAS (Universitas Gagal Unhas).
    
      Menurut cerita mereka, kalau sedang senggang di kantor, “pria-pria single” ini biasanya pergi ke mushalla, entah mungkin mereka berbagi rasa. Hehe.. berkumpul bersama teman senasib memang seringkali melegakan. Bahkan Minggu pagi pun mereka tetap bangun pagi dan berkumpul, main futsal bersama. Malam hari pun, siap-siap saja kalau ponsel berbunyi, karena bos (sang kepala cabang) sering meminta untuk ditemani (jangan berpikir yang macam-macam ya).
   
      Perbincangan-perbincangan kami menyimpulkan bahwa ternyata laki-laki itu lemah (terpengaruh oleh dominannya si ibu dosen yang agak menganut paham feminis). Coba deh perhatikan. Kalau istri meninggal, suami pasti butuh punya istri baru; untuk mengurus anak-anaknya, rumahnya, dan dirinya sendiri. Tapi kalau suami meninggal, istri biasanya tidak terlalu butuh untuk menikah lagi. Mengurus semuanya, sudah biasa, bisa sendiri. Untuk urusan mencari nafkah, tidak sulit juga bagi kebanyakan perempuan tokh? (logat keturunan Kerajaan Tolakki yang terpengaruh oleh bahasa penjajah—Belanda).
    
       Hhmmhhmm,,, terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan paragraf di atas (saya kok setuju ya? ;D), saya cukup salut dengan suami-suami jauh dari istri tersebut. Mereka memang “mengaku” single, tapi selalu membawa-bawa istri dan anak mereka dalam obrolannya. Ah, memang, kasihan sekali mereka. Mereka –yang akhirnya mengaku lemah itu—ingin menghibur kami, banyak bercerita lucu, mungkin juga untuk menutupi nestapa kerinduan terhadap belahan jiwa dan anak-anak nun jauh di mata. Padahal, menurut mereka, kalau tidak kuat-kuat dengan agama sih, banyak sekali “godaan” yang mampir yang sebenarnya mereka berpeluang melakukannya karena jabatan mereka cukup teras. “Godaan”, ya, yang terkait dengan “wanita” laa… Melihat mereka, atau ketika mengingat mereka, doa yang terlintas hanya, “Semoga cepat ditarik kembali ke daerah masing-masing ya, bapak-bapak single…”

Dan, sebelum tulisan ini saya akhiri, iya ya, laki-laki itu ternyata lemah ;D
Hhe, buat para pria, piss ah! (^_^)v
Bekasi, 16 Mei (165) 2010

Friday, May 14, 2010

menghitung kelompok liqo

11:56 AM 25 Comments
Pulang dengan Positif!!
           Tanggal merah, jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor, setelah terakhir kali ke sana waktu saya SMA kelas 2 (atau kelas 1 ya, lupa). Hemmm, berdasarkan note seorang teman sehari sebelumnya tentang rencana rihlah bareng teman-teman halaqahnya, iseng-iseng aku menghitung; berapa ‘kelompok’ yang terlihat di KRB sepanjang perjalanan. Hehe, meskipun temanku bilang, “Kurang kerjaan”, tapi seru juga ah ternyata ^_^

Satu, dua, tiga, wah, banyak! Kalau akhwat sih gampang banget keciri, segerombol orang-orang perempuan berjilbab gondrong, hehe. Tapi ikhwan, gimana jelasinnya ya, pokoknya aku berhasil “suspect” 1 kelompok bahwa mereka adalah kelompok liqo. Ahahahaa, emang ya, kurang kerjaan banget gue…
Waktu lagi ngobrol-ngobrol dengan teman-teman, ada yang bilang, “Semoga kita istiqamah ya…” Yang lain menanggapi, “Sampai tua nanti, sampai ber-anak-bercucu” Aku tutup dengan, “Lucu juga ya, kalo nanti kita bisa rihlah sambil bawa cucu” ;D AAAAAAMIIINNN….
Kebun Raya Bogor, 13 Mei 2010

Selama Tak Ada Larangan untuk…

11:52 AM 18 Comments
Ga Dilarang Berarti Boleh
            Ada yang salah? Saya rasa tidak *Iya lah, ini kan tulisan saya ^^. Menurut saya, ini merupakan suatu pola pikir yang bisa membuat seseorang lebih bebas, karena itu ia lebih kreatif. Sekarang kebanyakan orang berpikir dan bertindak dengan berfokus pada perintah, atau yang seharusnya dilakukan. Atau yang telah menjadi kebiasaan di masyarakat. That’s all. Just do what should they do. Lalu apa?
            Kalau hanya demikian, lambat sekali kemajuan dunia kita, ya gak sih? Karena setiap orang hanya melakukan apa yang dilakukan oleh lazimnya orang lain. Tidak akan ada penemuan-penemuan baru, baik teknologi maupun dalam sistem kemasyarakatan karena tidak ada yang berpikir out of the box.
            Saya lupa sejak kapan saya menggunakan prinsip ini. Yang jelas saat saya sudah kuliah *alhamdulillah, bisa kuliah. Mungkin dulu saya terinspirasi prinsip ini dari hukum mu’amalah dalam Islam. Hukum dasarnya adalah boleh (mubah), kecuali yang dilarang. Nah. Kalau ada kata kecuali, biasanya hal-hal yang dikecualikan lebih sedikit kan? Ya, seperti juga larangan. Sedikit yang tidak boleh kita lakukan, dan jauh lebih banyak yang boleh dan bisa kita lakukan di dunia ini.
            Tapi sayangnya, lingkungan kita seringkali membatasi. Anak-anak yang punya pikiran seperti itu cenderung dianggap sebagai anak yang bandel dan tidak penurut, alih-alih anak yang kreatif dan berani menghadapi tantangan. Padahal anak seperti itu akan tumbuh lebih kreatif karena ia tidak takut mencoba hal-hal baru. Bila lingkungan mendukung untuk mereka bisa mengekplorasi banyak hal dalam rangka belajarnya, kelak mereka akan terbiasa berpikiran luas dalam memandang hidup dan menghadapi masalah kelak.
Kebanyakan orang kan takut mencoba hal baru… (*hayo yang merasa ngaku!) ? Makanya orang yang sukses lebih sedikit kan dibandingkan orang yang biasa-biasa saja?
 Bekasi, 12 Mei 2010

Tuesday, May 11, 2010

Resign Jadi Pengangguran

10:50 AM 33 Comments
           Tepat 2 pekan nih aku jadi pengangguran. Hiks. Seddddiiiihhh… Orang-orang sih tidak menyebutku demikian. Mereka menyebutku, “Sedang menunggu wisuda”. Huuh,,, apa bedanya menunggu wisuda dengan pengangguran? Wisudanya masih lama banget soalnya.
            Sebenernya tepat sehari setelah surat keterangan lulus-ku keluar, aku ditelfon seorang senior, ditawari pekerjaan di perusahaan yang belakangan kutau cukup bonafide laaah.. hari itu ditelfon jam 10 pagi, langsung wawancara hari itu juga jam 15. Bahkaaann!! Aku belum bikin CV! Apalagi surat lamaran dll.
            Jadilah aku wawancara hari itu dengan lancar, alhamdulillah. Meski meyakinkan, ada sebuah pertanyaan yang aku ga bisaaa…tapi kata seniorku itu sih, tuh bapak udah klik sama aku. Tinggal tunggu wawancara terakhir sama atasannya lagi.
            Sebenarnya sih, setelah wawancara itu saya jadi ragu… iya gak ya?? Aku ga klik nih… Ah, tapi, sejak kapan aku mentingin klik dalam kerjaan? Ah sudahlah, istikharah aja, sambil nunggu dipanggil lagi dan sambil ngelamar-lamar ke perusahaan yang emang aku incar dari dulu.
            Ternyata ada 1 temanku lagi yang di wawancara sehari setelahku. Kata seniorku, kalau oke kami akan ditempatkan di satu tim dan satu kantor. Ngobrol lah kami via telfon. Setelah lama tidak kontak, baru hari ini aku sms dia lagi, nanyain. Eh, dia malah nanya, ”Saya ga dipanggil tuh. Farah dipanggil ya?”
Ngggggak juga… hehehe. Jadi sebenernya tuh perusahaan butuh ga siiihh??? Tapi, sebenernya aku juga kurang sreg nih *kamu gimana sih far..
            Nah. Hari ini entah kenapa aku baru benar-benar merasa bosan. Dua minggu lalu aku selalu girang kalau Sabtu-Ahad datang. Itu artinya aku sibuk! Hyei! Ke SMA, acara Fadhil, ke rumah teman, sampai rumah murabbi. Hehe.. Tapi setiap kali Senin datang, fyuuuhh.. Bosan lagi.
            So, daripada bosan, akhirnya hari ini aku memutuskan untuk resign jadi pengangguran. Aku telah memilih. Memilih profesi. Profesi apa? Penulis! Hyyeeeei… Aku seorang penulis… Meski entah siapa yang akan membaca dan menikmati, yang penting aku menulis. Berusaha berkarya lagi ;D
            Hosh! Semangat Farah!!
Bekasi, 10 Mei 2010

Warming Up

10:42 AM 12 Comments
Bismillah.. sudah lama tidak menghasilkan tulisan apapun. Bukan, bukan karena sedang sibuk. Justru sebaliknya, saya sedang sangat tidak sibuk. Dan seperti biasanya terjadi, semakin saya tidak sibuk, saya bisa jadi makin tidak produktif. Hhmmm… kenapa ya?
            Ada orang yang memilih libur nge-blog karena (misalnya) sedang sibuk skripsi. Supaya fokus, katanya. Tapi menurutku skripsi itu sama sekali tidak lebih sibuk daripada kuliah-kuliah di semester sebelumnya. Kuliah ada banyak deadline, tapi tidak dengan skripsi. Kalau mau cepat selesai ya kerjakan, kalau tidak ya suka-suka ente aja mau kelar kapan. Nah, berhubung saya merasa sudah kelamaan di kampus, saya mengerjakan skripsi dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
            Sebenernya sih gak juga singkat. Totalnya, saya mengambil mata kuliah spesial bernama skripsi ini sudah 4 semester. Ih wow! Bosan? Tidak juga. Orang saya baru benar-benar mengerjakan di akhir-akhir kok. Hhe.. layaknya mahasiswa (sok) rajin, saya telah mengumpulkan proposal skripsi sejak masuk semester 7. Meskipun tidak berminat untuk lulus 3,5 tahun, saya tetap memasukkan proposal dengan alasan, “Supaya punya waktu lama untuk ngerjain skripsi”. Hihihi, kalau inget itu, aku cuma mendesis, “hm, ngomong aja lu far, selama masih bisa”, seperti yang sering dikatakan secara turun-temurun oleh ‘senior-seniorku’ di kampus.
            Nyatanya, di awal semester 8 aku tak kuasa menolak (halah) amanah di BEM UI, dan keasikan sampai semester 9 hampir berakhir. Nah, di akhir semester 9 itulah aku baru mulai mengerjakan skripsweet. Sampai tengah semester 10. Haghaghag… udah ah, kok jadi cerita tentang skripsi…
Ayo semangat teman-teman BALITAaaaa…..!!!
Jangan sampai ada yang keluar barisan yhaaa….!!
(Ttd, Polisi Balita)

*BALITA: Barisan Lima Tahun; Pusgiwa’ers pejuang skripsi ;D
Bekasi, 10 Mei 2010