Follow Us @farahzu

Wednesday, April 8, 2009

Hanya Sepotong, untuk Kemajuan Total

8:27 AM 13 Comments
“….Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (QS: Ar-Ra’d: 11)
Konon, di tahun 1970-an, seorang pejabat Korea Selatan datang berkunjung ke Indonesia, tepatnya ke Aceh, dan masuk ke dalam masjid Baiturrahman (yang masih tegak berdiri ketika tsunami menghantam itu lhoo..). Dinding masjid besar itu berukir kaligrafi-kaligrafi yang indah. Pejabat Korea Selatan itu ingin tahu, “Apa itu?” Kemudian dijelaskan bahwa itu adalah potongan ayat Al-Qur’an. “Apa artinya?” tanya sang pejabat lagi. Ternyata arti ayat Al-Qur’an di kaligrafi itu adalah ayat 11 dari surat Ar-Ra’d.
Si pejabat sangat terkesan dengan ayat Al-Qur’an itu. Saya tidak tahu apakah pada akhirnya ia masuk Islam, namun ayat itu begitu memotivasinya. Sepulangnya ke negerinya, ia menggunakan ayat itu untuk menciptakan semangat membangun pada masyarakatnya. Potongan ayat itu dijadikan jargon pembangunannya!
Dan hasilnya, kita bisa lihat seperti apa kemajuan Korea Selatan kini.
Sobat, kalau kita perhatikan lebih jauh ayat ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa Allah menghendaki adanya usaha kita untuk berubah. Kemauan kita untuk bangkit. Maka jangan heran bila ada orang yang hanya merutuki ‘di manakah Tuhan yang katanya pemurah’ untuk memberinya rizki, meluluskannya ujian, mengubah takdirnya menjadi lebih baik, tanpa usaha keras, maka takdirnya tidak akan berubah. Pernah dengar sebuah quote, “Usaha tanpa doa; sombong. Doa tanpa usaha; bohong” ? Yah, kira-kira seperti itu lah.
Karna Allah menghendaki kita untuk banyak punya pahala di hari akhir kelak. Melalui usaha-usaha kita untuk mengubah takdir kita. Usaha-usaha kita untuk menjadi lebih baik. Maka Allah menghendaki kita “berproses”.
Bila kita perhatikan lebih lanjut ayat ini secara keseluruhan, Allah memulai potongan ayat ini dengan ‘keadaan kaum’. Tapi coba perhatikan lagi, di akhir Allah menutup dengan ‘keadaan DIRI mereka sendiri’. Pertama, bahwa perubahan itu butuh usaha aktif dari agen-agen pengubahnya. Kedua, bahwa perubahan yang besar (kaum) harus dimulai dari perubahan yang kecil (diri). Artinya, bila kita ingin mengubah dunia, atau masyarakat, atau almamater kita, atau bahkan keluarga kita, maka mulailah dengan mengubah diri kita sendiri.
Naah, sobat, inginkah kita menjadi orang yang bermanfaat dengan melakukan perubahan yang baik? Untuk almamater kita misalnya yang telah banyak memberikan hal berharga untuk kita (ilmu, sahabat, guru-guru, kenangan, etc), apa yang bisa kita sumbangsihkan, minimal sebagai balasan? Mungkin tidak serta-merta kita bisa menyumbang dana dalam jumlah besar untuk renovasi dan memperbagus bangunan fisiknya. Atau kontribusi secara kontinu untuk pengembangan diri siswa-siswanya. Lalu apa?
Sobat, percaya deh, kita tetap bisa berkontribusi dengan mengharumkan nama baik almamater kita. Dengan prestasi-prestasi kita.
Kadang kita cukup hanya dengan meningkatkan prestasi yang sudah ada. Atau memperbaiki yang salah. Menambah yang kurang-kurang. Menambal yang bolong… Tapi kadang kita dihadapkan pada ladang pahala yang lebih besar: memulai semuanya.
Dengan memulai yang sebelumnya tiada, memang tidak mudah. Tapi bisa. Orang-orang yang memulai kebaikan dan membuat hentakan-hentakan sejarah dengan mengukir prestasi, bukanlah orang-orang biasa. Maka jadilah orang yang luar biasa. Untuk berkontribusi lebih bagi almamater kita. Bagi bangsa kita. Dimulai dari diri sendiri. 
“Orang kecil hanya hidup untuk dirinya sendiri
dan mati sebagai orang kecil.
Sebaliknya, orang besar hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya pada orang lain,
dan tidak akan pernah mati selamanya”
(Sayyid Quthb)
Untuk adik-adikku yang
akan menempuh Ujian Nasional,
Depok, 8 April 2009

Wednesday, April 1, 2009

pelajaran kedua

2:38 PM 18 Comments
Pelajaran kedua. Dalam hal apapun, percayalah, terlalu banyak sisi positif yang pantas untuk diberikan apresiasi. Bahkan mungkin dapat dikembangkan lebih lanjut. Hanya saja itu menuntut kelapangan hati dan pikiran kita untuk dapat menangkap hal-hal positif tersebut. Bukan mata, karna sejatinya mata yang sehat pasti akan dapat melihatnya. Tapi mengenai ’kesadaran’ hingga mampu memberdayakannya? Mata berkata, “Maaf, itu bukan urusan gue”.
Hanya menuntut kelapangan hati dan pikiran. Hanya? Dibutuhkan pemahaman mendalam mengenai esensi hal tersebut, hingga parameter yang dipakai jangan sampai meleset kepada hal-hal yang sifatnya printilan (duh, yang ga tau peristiwanya apa, maaf ya kalo jadi bingung). Pada akhirnya lapang karna hati dan pikiran itu hanya akan berfokus pada pencapaian-pencapaian yang dituju sesungguhnya. Lapang karena tidak dipusingkan dengan hal-hal kecil yang kadang hanya merupakan debu pengganggu.
Selain itu, dibutuhkan juga hati dan pikiran yang bersih (mau lengkap? baca aja tazkiyatun nafs). Yang selalu berpikir positif. Yang selalu dapat menyingkap hikmah kebaikan dari apapun yang terjadi. Mungkin ini mirip-mirip dengan teori yang sedang ‘in’ di fakultas saya: Positive Psychology, Appreciative Inquiry, dan lain-lain ‘kerabat mereka’. Yah, intinya sih, setiap kita memang punya kelemahan. Harus diperbaiki. Tapi jangan lupa, bahwa tiap diri kita juga punya kekuatan yang HARUS dikembangkan. Kelebihan kita itu, amanah.  
Nah, jadi inti dari tulisan ini adalah sebagai berikut. Untuk menjadi orang/organisasi yang efektif memberdayakan potensi-potensi kebaikan yang dimilikinya, yang harus kita lakukan adalah upaya-upaya untuk membersihkan hati dan pikiran, yang akan menjadikannya lapang. Ini akan membantu kita bisa melihat lebih dekat (kalo kata Sherina dulu kala) mengenai esensi dan hakikat sesuatu, dan ’membingkai’ diri anda (pikiran dan perilaku) menjadi lebih positif.
Depok, 1 April 2009