Follow Us @farahzu

Sunday, July 28, 2019

Tentang Mampu senDiri dan Butuh Orang Lain (coaching insight)

9:28 PM 4 Comments


Sebenarnya ide tulisan ini sudah ada sejak tahun 2015, masa di mana saya mulai mempelajari coaching, yaitu salah satu metode pengembangan SDM atau anggota tim. Saat ini coaching sudah sangat populer terutama di dunia korporasi, setahu saya. Apalagi seiring dengan merebaknya isu perbedaan generasi (baby boomers, gen X, dan milenial) yang ternyata membawa banyak dampak dan perubahan dalam dunia organisasi saat ini.


coaching session
coaching session
Dalam proses coaching, yang menjadi center dalam sesi adalah coachee, yaitu orang yang di-coaching, yang ingin dikembangkan istilahnya. Mohon maaf, ga bisa pakai baking powder ya hehehe.. Coachee menentukan sendiri apa yang ia ingin capai, mengidentifikasi sendiri bila ada kendala, lalu mengerahkan kemampuannya untuk mendapatkan sendiri solusinya beserta langkah-langkah apa yang akan ia ambil untuk mencapai tujuannya tersebut. Lalu membuat sendiri komitmennya. Seems like a powerful person kan.

Lah terus perannya coach apa dong? Yang berlatih kan coach-nya (ya iya mana ada latihan untuk menjadi coachee yang baik dan benar, atau coachee profesional hahaha), yang ambil sertifikasi kan coach-nya, dan yang dibayar, coach-nya juga. Coach, hanya bertugas memprovokasi pikiran coachee untuk bergerak maju dan mencapai hal-hal yang penting bagi dia.1 That’s all guys, itu doang intinya.

Melihat begitu powerful-nya coaching dalam pengembangan individu dan tim, saya dan tidak sedikit orang jadi berpikir, kalau saya bisa menentukan sendiri goal yang saya inginkan, menentukan sendiri solusi dan langkah-langkahnya, kenapa tidak saya meng-coaching diri saya sendiri? Tinggal belajar memahami prinsip, alur, dan menggunakan kisi-kisi pertanyaan yang diberikan. Bisakah berhasil?

Jadi gini. Benar bahwa manusia itu sudah memiliki sumber daya yang ia butuhkan untuk mencapai sesuatu.2 Buktinya ia bisa mendapatkan alternatif-alternatif solusi yang semua idenya keluar dari pikirannya. Pada akhirnya dia juga yang akan merumuskan solusi apa yang akan ia pilih dan lakukan. Intinya dia bisa memberdayakan keseluruhan dirinya untuk mencapai apapun yang dia inginkan. Jadi, apakah bisa?


Sayangnya ga bisa Gaes. Coaching yang dilakukan terhadap diri sendiri biasanya gagal.

Mungkin saja coaching itu bisa berhasil sampai pada tahapan tertentu, kalau kamu jago, misalnya saat merumuskan goal/target yang diinginkan, saat eksplorasi alternatif solusi, atau sampai merumuskan langkah-langkah yang akan kamu lakukan. Kemudian ketika dalam perjalanannya kamu menemukan hambatan, sudah dicari jalan keluar dari kanan-kiri-atas-bawah-depan-belakang namun belum juga ketemu solusinya, biasanya orang akan stuck. Buntu. Terus, ya tinggal sekeras apa kamu terhadap dirimu sendiri. Tapi biasanya orang akan menyerah. Ya sudah, tunggu sebentar, nanti dicari lagi solusinya. Kemudian sangat bisa jadi, kamu lupa. Atau beranjak membuat goal baru.

Sekeras dan sedisiplin apapun kita terhadap diri sendiri, kita tetap perlu orang lain. Kita perlu orang lain yang mengejar kita dengan pertanyaan-pertanyaan, ”Apa lagi? Coba bayangkan kalau semuanya mungkin, apa lagi yang bisa kamu lakukan? Kapan akan dicoba? Kapan akan mencari? Kepada siapa kamu akan bertanya? Kapan akan mengontak dia?” dan sebagainya. Kita perlu orang lain untuk menagih diri kita sendiri. Kita juga perlu orang lain untuk melihat lebih dalam sejauh mana kemampuan kita.

Ah ya sebenarnya, sejak kita belum terlahir ke dunia pun, kita sudah banyak melibatkan orang lain. Janin kita ada karena ada ayah dan ibu kita. Kita bisa berkembang di rahim ibu karena bantuan orang lain. Kita lahir juga dibantu orang lain. Bahkan kelak kita mati pun kita akan diurus oleh orang lain.

Maka sekuat dan sehebat apapun kita, selengkap apa pun sumber daya yang kita miliki untuk berhasil di dunia ini (dan kelak juga di akhirat), kita selalu perlu orang lain. Bahkan masuk surga atau neraka nanti pun nasib kita banyak ditentukan oleh perilaku kita terhadap orang lain. Maka dari itu baek-baek ya sama orang, jangan sombong dan merasa tidak perlu orang lain.

Iya, betul kamu berdaya. Kamu punya kekuatan, kelebihan, dan potensi-potensi kamu sendiri. Tapi kita tetap butuh orang lain. Dan coaching menunjukkan kesejatian itu.

Yuk, coaching!

Baca Juga: Risiko Kenal Orang 


1 Kubik Coaching; Definisi Coaching
2 Kubik Coaching; Prinsip-prinsip Coaching


Monday, July 1, 2019

Keep Only The Things That Make You Happy

11:12 PM 2 Comments

Beberapa waktu yang lalu saya pernah bertanya-tanya dalam hati, orang paling bahagia sedunia boleh sedih gak sih? Kalau boleh jadinya gak paling bahagia lagi dong? Wkwkwkwk... daripada ribet, bolehin aja lah yah. Kan orang paling bahagia juga tetap saja manusia yang punya rasa. Eeaaa..

Jadi ceritanya waktu itu, malam itu tepatnya, saya masih di bandara mau pulang ke Jakarta (baca: Bekasi) dari luar kota, bersama teman-teman satu tim. Saat itu ada hal yang membuat saya sangat sedih sampai ingin menangis, tapi malu karena sedang di tempat umum. Rasanya sesak hingga saya mencari cara untuk mengeluarkan kegundahan hati. Alhamdulillah dapat petunjuk dari Allah untuk meminjam laptop seorang teman dan curhat di Ms.Word. Aku mah gitu anaknya, lebih suka curhat sama keyboard daripada cerita sama orang. Maafin yah, bukan aku tak percaya pada kalian duhai Sahabat-Sahabatku, tapi aku memang merasa lebih lancar menulis daripada berbicara. Hehehe...

Singkat cerita, setelah selesai curhat sama si Mas Word, aku menutup file tanpa menyimpannya. Kubiarkan saja hilang tulisan yang sudah kuketik cukup panjang itu. Hah, jauh lebih lega alhamdulillah. Tinggal sedikit melow yang tersisa, yang segera hilang saat melihat lampu-lampu kota berlatar langit malam saat pesawat lepas landas. Iya, secepat itu aku kembali jadi orang yang bahagia. Alhamdulillah.

Teman yang meminjamkan laptop itu akhirnya paham bahwa aku meminjam laptopnya untuk curhat, bukan mengerjakan tugas atau pekerjaan apapun. Setelah aku nampak lebih lega dan rileks, dia bertanya, “Di blognya pasti banyak ya curhatan yang gak di-publish (karena isinya curhat).” Asumsi banget ya ini mak wkwkwk.. Kujawab, tentu saja tidak. Saat ini tidak ada 1 draft tulisan pun yang belum di publish di blog-ku. “Ooow,” dia manggut-manggut sambil berpikir.

Dia bertanya lagi karena kaget melihat aku menutup word tanpa klik save file. “Kok, gak di-save?!” Eh, kekagetannya malah membuat aku jadi ngeh bahwa kebiasaan ini tidak biasa bagi orang lain. (Asik, bisa untuk bahan artikel nih hihihi...)

Akhirnya aku menjelaskan, bahwa aku mengetik hanya untuk menumpahkan perasaan, di mana saat itu aku sedang sedih. Aku hanya perlu mengeluarkannya, namun tidak perlu menyimpannya. Untuk apa?
.........................
Yok monggo direnungkan, buat apa menyimpan kenangan perasaan sedih? Atau marah, kecewa, dan perasaan negatif lainnya. Untuk apa masih disimpan? Untuk dikenang? Yakin pengen mengenang yang kayak gitu?
Saya juga baru menyadari akhir-akhir ini. Awalnya terpengaruh ajaran Konmari sih. Sebuah seni merapikan rumah yang dibawa oleh seorang wanita Jepang bernama Marie Kondo. Jujur saja sampai saat ini saya belum membaca bukunya, hanya tahu dari ulasan orang-orang, mengambil poin-poin penting dan berusaha menerapkan beberapa prinsipnya. Selain itu, saya hanya berpikir dan mengambil insight (pembelajaran/hikmah) sendiri. Ternyata, prinsip dalam seni beberes ini juga bisa bikin kita merapikan hidup lho. Merapikan hati kita, melihat lagi apa saja isinya. Masih banyak kah sampah-sampah berbau busuk yang menyesakkan yang belum dibuang? Masih adakah tikus-tikus yang menggerogoti? Apakah masih ada iri, dengki, marah, dendam? Seberapa sering kita membersihkannya? Atau sudah bersih dan lapang kah ia sehingga nyaman untuk dihuni?

Jadi selain membereskan rumah, lemari, perabot, saya juga jadi lebih aware dengan hal-hal yang perlu dan yang tidak perlu disimpan; baik itu di dalam rumah, maupun di dalam hati. Simpan hanya barang-barang yang memicu kebahagiaan untuk penghuni rumah kita. Selain itu, keluarkan. Jangan merasa sayang mengeluarkan barang-barang yang tak perlu disimpan, yang hanya membuat sempit karena mengambil ruang di rumah kita. Bila dikeluarkan, bisa saja kan barang itu ditemukan oleh orang yang membutuhkannya? Atau jangan merasa sayang membuang kenangan pahit atau berlembar-lembar prosa dan puisi galau yang mungkin kamu gak bisa lagi bikin puisi kalau gak lagi sedih atau galau hehehe...

Buang, jangan disimpan. Jangan suka mengenang yang negatif-negatif. Kalau ada hikmah atau pembelajaran yang baik dari kejadian negatif yang kamu alami, simpan hikmahnya saja, peristiwa negatifnya gak usah. Terima, maafkan, lalu buang. Gitu lho...idup udah repot, gak usah ditambahin dengan bikin repot diri sendiri lagi...

Lagipula ya, misalnya saya nih kalau tulisan-tulisan curhat itu saya simpan. Dipikir-pikir saya ga punya cukup banyak waktu juga untuk membaca tulisan-tulisan lama apalagi yang berisi curhatan yang banyak. Un-faedah kalau kata anak jaman sekarang mah, menuh-menuhin storage aja. Mending masak di dapur ya gak? Hehehe.. Kalaupun saya punya waktu untuk itu, rugi amat gak sih ketika berniat nostalgia tapi yang dibuka malah luka hati. Nanti Hayati lelah bang... nanti hayati jadi gak bersyukur karena ingat masa-masa kelam. Mending kayak gini, hanya simpan (dan posting) hikmah yang didapat, supaya yang diingat hikmahnya, dan orang lain bisa mengambil pelajaran yang positif untuk hidup mereka.

Kamu harus tau Gaes, ga bakal bahagia orang yang di hatinya banyak dendam. Yang ada dia akan makin nelangsa ketika tau orang yang kesalahannya  ia ingat terus itu tidak menyadari bahkan lupa pernah salah sama kamu. Sakitnya tuh di mana Gaes?? Di sekujur hati dan tubuh lah.

Yuk, maafkan yuk... Toh hati bersih manfaatnya buat kita sendiri kan. Lebih ringan dan lapang menjalani hidup, lebih sehat, lebih bahagia, dan meningkatkan peluang masuk surga juga lho. Ya meskipun manusia bisa masuk surga itu karena rahmat Allah. 

Tapi mungkin ada yang langsung teringat dengan cerita sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selama 3 hari berturut-turut disebutkan sebagai ahli surga oleh beliau. Dia bukan sahabat yang terkenal sebagaimana Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhum. Karena penasaran, seorang sahabat yang lain (Abdullah bin Amr bin Ash) meminta izin menginap di rumahnya dan memperhatikan ibadah orang ini. Ternyata ibadahnya pun biasa-biasa saja. Akhirnya setelah 3 hari menginap ia bertanya, kira-kira apa yang membuat rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa dia adalah ahli surga. Dijawabnya, “Aku tidak memiliki amalan, kecuali yang telah Engkau lihat selama 3 hari ini.” Ketika Abdullah hendak kembali, laki-laki tersebut memanggilnya. Ia berkata, “Benar, amalanku hanya yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak pernah berbuat curang kepada seorang pun, baik kepada Muslimin ataupun selainnya. Aku juga tidak pernah iri ataupun hasad kepada seseorang atas karunia yang telah diberikan Allah kepadanya.” (Sumber 1 dan sumber 2)
Maa syaa Allah.
cara bahagia
gelas kopi aja bijak ya
Nah, sebagaimana yang tertulis di picture, bahwa "The simplest way to be happy is to let go all the things that make you sad", yuk kita bebenah hati dan memori kita dari hal-hal yang gak perlu disimpan dan diingat-ingat. Apa, berat?
Iya aku tau pasti berat sih.. tapi harus yakin dulu. Bisa, kamu pasti bisa! Da hidup di dunia mah sebentaaaaarr... jangan dibikin susah. Yang sudah pasti luamaa buuaanget itu hidup di akhirat. Itu yang lebih perlu kita perhatikan dan siapkan. 
Semangat yaa Kamu! Iya, Kamu :)

Baca Juga: Hak Guna Pakai Rezeki