Follow Us @farahzu

Tuesday, June 30, 2009

Sesuatu Tentang Surat

3:07 PM 9 Comments

Hari gini, masihkah ada di antara kita yang suka mengirim surat? Surat… bukan dalam arti administratif (surat keterangan, surat tugas, apalagi surat permohonan dana/donatur). Bukan juga surat elektronik atau komen di facebook atau multiply. Apalagi hanya pesan singkat (meski 4 layers) via sms.

Surat yang saya maksud di sini benar-benar SURAT. Aduh, apa ya?? Surat dalam bayangan kanak-kanak kita dulu. Tulisan tangan, di atas kertas bergaris, dimasukkan dalam sebuah amplop tertutup, boleh juga sampai dikirim lewat pos. Atau disampaikan langsung pada orang tertentu yang dituju. Surat yang menanyakan dan berbagi kabar, atau pesan khusus lain. Nah, sudah sepahamkah kita mengenai “surat” dalam tulisan ini?

Saya biasa menulis (mengetik) surat singkat setiap bulan, minimal untuk 20 orang rekan saya di BPH. Kadang untuk staf-staf saya dan beberapa staf lain. Semuanya lewat kantong ajaib bernama Bukan Kantong Biasa yang tergantung warna-warni di ruang BEM. Meski diisinya massal, isi dari setiap surat selalu berbeda dan khusus untuk setiap orang. Suatu saat saya sedang agak melo, dan sangat tersentuh dengan Rabithah-nya Izzis. Saya jadi ingin memberikan mereka semangat dengan bait-bait nasyid tersebut, ditambah dengan beberapa baris kata-kata saya sendiri. Singkat kata, semua orang mendapatkan surat yang sama bulan itu.

Sama sekali awalnya tidak ingin melakukan penelitian eksperimen atau melihat perbedaan apapun. Beberapa orang ‘protes’ waktu melihat isi suratnya ternyata template. “Yah, sama semua ya, Farah? Yang spesial doongg”.. dan protes-protes senada lainnya, kebanyakan dari yang laki-laki (tanya kenapa).

Suatu kali, saya menulis surat untuk staf yang sebelumnya baru saja diskusi dengan saya mengenai amanah barunya jadi PO sebuah acara. Seorang staf departemen lain yang juga jadi PO acara lain melihat dan menyatakan ia iri karna saya tidak pernah mengisi BKBnya. Baiklah, pas masih ada 1 tango wafelatos, saya juga menulis surat untuknya. Sambil menulis saya berpikir, sebenarnya isi dari surat ini bisa saja saya sampaikan lewat sms. Rp15 saja. Tapi, ah, pasti beda. (apanya yah?!).

YAA… apanya ya yang beda?? Beda bila menerima pesan yang sama melalui sms, e-mail, facebook, dan surat seperti yang dimaksud dalam tulisan ini. Atau tatap muka sekalipun. Saya pun merasa senang kala BKB saya diisi tulisan/surat dari orang, ada makanannya pula (wehee..). Dan ketika membaca, biasanya saya jadi mesem-mesem sendiri. Dan kertas suratnya, sayang kalau dibuang.

Mungkin bahasa tulisan lebih menyentuh kali ya..? Ada effort yang dikeluarkan saat menulis surat. Pulpen, kertas, dan energi kita untuk ‘mengirim’ surat tersebut hingga sampai ke tujuan. Apalagi kalau harus melalui pos. Beda dengan sms yang cukup merogoh handphone dari kantong, ketik, kirim.

Selain itu, lebih romantis kali yaa..?? hahahah…

Tulisan tangan. Mungkin, ada keterlibatan perasaan yang mengalir lewat gerakan tangan kita saat menulis. Tercermin dalam liukan setiap huruf yang kita tulis. Berbeda dengan sekedar huruf-huruf seragam dari tekanan-tekanan jari kita pada keyboard komputer. Karna komputer tak bisa merasa.

Jadi ingat perbincangan di kelas Pemahaman Diri, saat membahas tentang hubungan interpersonal, jejaring sosial, termasuk facebook. Kegemaran pada facebook, dalam titik ekstrim, akan memiskinkan kepekaan kita terhadap emosi dan ekspresi manusia. Hal ini karna terbatas pada emoticons yang tidak sebanyak ekspresi manusia. Ya, karna komputer tak bisa merasa.

Mungkin itu yang membedakan surat dengan bentuk-bentuk fasilitas pengirim pesan lainnya. Bahasa tulisan, effort yang dikeluarkan, dan perasaan yang mengalir lewat tulisan tangan.  
Bookfair I’m coming!!
June 30th, 2009

Ujian Mendengarkan

3:02 PM 4 Comments
Mungkin telah banyak yang paham bahwa mendengar tidak sama dengan mendengarkan. Hearing not same with listening. Yang awal hanya butuh telinga dan pendengarannya. Yang kedua butuh telinga, pendengaran, dan atensi. Perhatian yang terfokus. Juga butuh intensi. Niat. Kemauan untuk memahami apa yang didengar.
Betapa banyak orang merasa pintar dan terlihat hebat kala ia banyak bicara, tentang hal-hal yang benar dan bermakna mungkin. Meski banyak pula yang banyak bicara namun isi pembicaraannya tidak benar dan tidak bermakna. Tapi terlepas dari kebenaran dan kebermaknaan, banyak orang yang ‘bisa bicara’.
Namun ketika orang-orang itu tampil hebat dengan ide-idenya yang memukau atau argumentasinya yang luar biasa cerdas, sangat tidak menyenangkan ketika kita menyaksikan perdebatan mereka. Semua berebut ingin bicara. Pendapat saya benar. Pendapat saya lebih hebat. Pendapat saya solusi.
Jika semua ‘orang hebat’ itu bicara,
Siapa yang akan mendengarkan ide-ide hebat mereka?

Begitulah. Mendengarkan butuh kerendahan hati. Untuk mengalah tidak bicara. Untuk tidak serta-merta terlihat cerdas di hadapan khalayak. Mendengarkan juga, butuh keikhlasan.
Teman, dalam sebuah episode pelajaranku dalam mendengarkan, ada ujian yang menurutku cukup berat dan menuntut kesabaran ekstra. Kesabaran untuk puas dengan hanya menjadi pendengar yang baik. Tanpa boleh bertanya. Kesabaran untuk menekan rasa penasaran. Tapi orang yang didengarkan butuh jawaban dan solusi. Dari apa coba?
Seseorang bercerita padaku bahwa ia sedang menghadapi ujian yang sangat berat. Terberat sepanjang hidupnya hingga kini. Ia bercerita tentang kebingungan-kebingungannya, kesedihannya, kekecewaannya… susah payah aku berusaha merangkainya menjadi sebuah ‘cerita’. Gagal. Lalu, “Aku harus gimana Farah? Aku butuh support”. Tapi sayangnya, ia tak mau sedikitpun menceritakan apa masalahnya. Aku pun merasa tak layak dipercaya untuk bertanya lebih lanjut apa masalahnya (meski rasa penasaran memuncak), apalagi memaksanya untuk bercerita padaku. Aku tidak tahu apa masalahnya.
Kalau kalian jadi aku, apa yang akan kalian katakan untuk mensupportnya?
Sabar ya sayang,
Bekasi, 27 Juni 2009

Monday, June 22, 2009

Ojek, Oh Ojek

9:44 AM 6 Comments
Tidak lagi-lagi deh… mencari villa dengan bantuan tukang ojek di daerah (teeeeettt, sensor ah)… cukup, sudah. Pengalaman EPT (Evaluasi Paruh Tahun) BEM UI kemarin cukup membuatku trauma (agak lebay) dengan tukang ojek.
(mohon maaf, yang saya maksud dengan tukang ojek disini definitif kok, tidak semua tukang ojek)
Pertama waktu survey. Di tengah perjalanan menuju villa yang direkomendasikan oleh ibu seorang stafku, aku bertanya-tanya pada abang ojek yang membawaku tentang villa yang bagus dan sesuai budget kami. Singkat cerita, dengan informasi dari tukang ojek itu, akhirnya kami menemukan villa yang pas dan cukup oke.
Setelah bertemu dengan ibu pengelola villa tersebut, ia mengatakan, sebenarnya harga sewa villa tersebut bisa turun banyak, apalagi kami memakainya di hari kerja. Bisa didiskon hingga 400.000. dengan catatan, kami datangnya sendiri. Kalau atas rekomendasi tukang ojek, berarti dia juga harus memberi komisi pada tukang ojek itu. Hmm.. 400.000. harga sebuah informasi. Mahal juga.
(sejak itu aku ingin sekali segera bekerja dan memiliki mobil sendiri, hingga aku bisa keluar-masuk mencari villa dan mendapatkan diskon lumayan)
Singkat cerita, di hari-H, kami datang dengan 3 bus kuning. Tanpa diminta, abang-abang ojek itu menjadi pemandu bus kami menuju villa, dengan alasan medan yang curam dan sulit. Untuk 3 ‘pemandu’, saya berencana memberi mereka sesuai tarif ojek biasa. Tapi mereka minta berkali-kali lipat. Bayangkan. Mereka bilang tarif pemandu tidak bisa disamakan dengan tarif ojek, meskipun aku tidak melihat ada perbedaan effort yang signifikan. Dengan alasan keamanan, mereka selalu berkata, “se-rido-nya Ibu deh mau ngasih berapa”, tapi mereka mematok tarif yang tidak bisa dikompromikan. Bahkan kami tidak pernah meminta mereka untuk memandu. Oh. Terima kasih banyak. Akhirnya aku dan bendaharaku masuk ke dalam mengambil uang, setelah keputusan akhir adalah 3x lipat untuk masing-masing ‘pemandu’, dengan catatan supir kami tidak perlu dipandu lagi ketika pulang malam ini dan datang kembali untuk menjemput esok sorenya.
Salahnya kami adalah, kami berdua masuk ke dalam bersama-sama, harusnya ada seorang dari kami yang menunggui di luar. Benar saja, ketika saya kembali, tukang ojek itu sedang ‘mepet’ dengan supir bus kami, dan tiba-tiba si abang ojek berkata, “Pak supirnya ga berani Bu, kalau ga dipandu juga pulangnya dan datang besoknya”. Hemmmmm!!!! Bagus!!
Selesai urusan ojek malam itu, udara dingin, dan sedikit gerimis. Saya mengobrol santai dengan ibu pengelola villa, iseng bertanya, “Besok pagi kira-kira hujan ga ya Bu, soalnya kita mau naik ke curug”. Nah! Di saat yang bersamaan, seorang abang ojek tadi melewati kami dan mendengar. Ia langsung berhenti dan bertanya padaku, “Bu, besok mau naik ke curug? Berapa banyak? Semua?” Kujawab sekenanya, “Iya, semua” dengan masih jengkel karena kejadian sebelumnya. “Ada 100 orang?” tanyanya lagi. Kujawab, “nggak, paling 60-70”. “Ooh, nggak, kalau banyak kan bisa saya bantuin nego ke curugnya, biar didiskon gituu…” Dengan spontan langsung kujawab, “Oh, nggak usah. Kita ga banyak kok!” Sungguh dalam hati aku dongkol setengah idup. ‘Iya, masuk Curugnya diskon, tapi potongannya buat elu! Makasi banyak dah, mendingan buat pemeliharaan Curug!’ begitu pandainya ia melihat peluang!!
Masalahnya adalah dana kami sangat ngepas. Itupun masih hutang sama bendum. “Pungutan-pungutan liar” seperti itu kan mana ada kuitansinya??!!
Setiap ada yang datang kemudian, selalu saya wanti-wanti via telfon, “ojeknya 5.000 ya, ga lebih!” atau “Lo bermuka orang sini aja ya, jangan keliatan lo bukan orang asli sini”, dll. Udah gitu, masa tarif siang dan malam bisa beda! Bayangkaaannn… menyebalkan sekaliii…..
Keesokan sorenya, saya kembali dibuat dongkol cukup dengan melihat jaket yang sama yang dipakai seorang tukang ojek kemarin. Oke, kali ini aku akan melibatkan si PO, stafku yang angkatan 2008 tapi terlihat sangat dewasa dan kuat bernegosiasi (dia laki-laki). Kami hanya butuh 1 pemandu kali ini! 3x lipat tarif ojek seperti semalam: ‘kalau mau ambil, kalau tidak ya sudah. Kami tidak punya uang lagi’. Tapi tetap saja, mereka memaksa 2 ojek dengan tarif 4x lipat 1 ojek biasa (lagi-lagi mereka mengulang ‘seridonya ibu aja mau ngasih berapa’ tapi tetap maksa mematok harga. Ga rido!) Tapi entah kenapa, hanya aku yang masih menolak, sedangkan semua temanku yang laki-laki yang harusnya mendukungku malah, “Ya udah Far, 5.000 lagi”. haaahh!! Kecewa!! Lima ribu juga dari kemarin duit gue!! Dan puluhan ribu lainnya yang sudah keluar untuk pungutan-pungutan liar seperti ini tidak akan pernah bisa di-reimburse. Dengan utang masih beberapa juta. Hwaaa… anak-anakku, sabar ya,, kita harus mencari uang lebih keras! Semangatt!!
Hanya sedikit kekecewaan di tengah
membahagiakannya kebersamaan dengan BEMers UI sehari-semalam
16-17 Juni, 2009

Farah Kecil

9:41 AM 0 Comments
Bukan, ini bukan cerita tentang masa kecil saya. Ini cerita tentang sahabat saya. Namanya Farah Kecil. Ups, Farah Mutia Sari namanya. Tapi karena tubuhnya kecil (kalau dibandingkan dengan saya), sejak SMA ia dipanggil Facil. Farah Kecil.
Selama 4 tahun bareng-bareng 1 kelas, mulai dari OBM sampai mata kuliah terakhir. Tapi kelulusan kami tidak bareng. Hiks. Ups, tidak ada yang perlu ditangisi sebenarnya…
Tapi selama itu, kami tidak bisa dibilang dekat. Tidak pernah duduk bersebelahan. Atau bertukar pikiran. Apalagi yang namanya curhat khas anak gadis. Tidak sama sekali.
Tapi bagiku ia sungguh berkesan. Kami tidak dekat, bahkan kami sangat berbeda. Pergaulan, minat, gaya hidup, apalagi nilai (halah, ini nih yang kayaknya paling jauh). Jauh. Berbeda. Tapi kok ngerasanya dekat yah?
Dia sangat hangat. Terbuka. Dan keceriaannya mampu membawa semangatku kembali.
Yang kuingat, pertama kalinya merasa dekat dengan dia adalah ketika terjadi kecelakaan tergulingnya bus waktu kami maba dulu, dimana aku ada di dalam bus yang terguling itu (a.k.a aku termasuk korban). Tengah malamnya, saat waktu shalat tahajjud, ada muhasabah dari panitia. Muhasabah tentang persaudaraan. Haruskah Allah memberi kecelakaan yang menimpa sebagian dari kami dahulu baru kami bisa dekat satu sama lain? Kira-kira demikian. Dan orang yang pertama kupeluk saat itu adalah dia. Sebenarnya tak lebih karena dia yang ada di sebelahku saat itu. Tapi… pelukannya sangat berkesan buatku. Dan ia adalah orang pertama di kampus yang kupanggil “Sist”.
Hingga kemarin, saat bertemu di toilet wanita gedung H lantai dasar. Kami bertegur sapa, saling bertanya kabar, tentang ia yang sudah selesai sidang, tentang aku yang memutuskan lulus semester depan dari awal, tentang apa yang kita inginkan setelah lulus, dan, ia langsung menyatakan akan mencarikan info beasiswa ke luar negeri untukku, dan mengepostnya ke milis angkatan. Owh, betapa ia sungguh-sungguh saat itu.
Ketika kami akan berpisah, rasanya ada kecanggungan. Aku yang menatap, dan ia yang sudah melangkah, mundur kembali dan kami saling berpelukan dengan haru. Haaa.. melo sekali memang. Tapi aku terharu… Trims ya Far, atas 4 tahun ini… Trimakasih atas 4 tahun yang indah, yang penuh pelajaran berharga. Terima kasih… maafin kalo ada salah…
(kata-kata di atas sama-sama kami ucapkan, secara nama kami sama)
FArahkeCIL, cepatlah besar.. ^^. Betapa dunia sanggup kau hangatkan… Terima kasih…
20 Juni 2009

team building BPH BEM UI

9:21 AM 11 Comments



Cibodas, Januari 2009
Sebuah titik balik yang membuatku meninggalkan segala keegoisan (termasuk lulus 4 tahun) di Cibodas sana... Welcome to The Jungle!!

Evaluasi Paruh Tahun BEM UI 2009

9:03 AM 10 Comments



tapi foto-fotonya banyaknya pas lagi jalan-jalan ke Curug Cilember pagi harinya...
menyenangkan, sungguh,,, berkesan sekali melakukan perjalanan menantang bersama kalian, BEMers tersayang..

Tuesday, June 9, 2009

Satu Jam Menjadi Tuna Daksa

8:57 AM 6 Comments
       Kemarin saya mengikuti pelatihan menjadi masyarakat inklusi, khususnya meningkatkan kepekaan terhadap penyandang disabilitas. Beberapa kawan yang disable turut hadir dan mengikuti pelatihan bersama kami. Ada yang tuna netra dan tuna daksa.
            Singkat cerita, sebelum waktu istirahat shalat dan makan siang, kami dibagikan permen dengan beberapa pilihan. Pilihan jenis permen tersebut akhirnya menentukan “nasib” kami. Ada yang menjadi tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, dan tuna daksa. Saya yang terakhir. Para penyandang “tuna netra” diberikan penutup mata seperti yang sering digunakan orang ketika kemping, yang “tuna rungu” diberi sumbat telinga, dan yang “tuna daksa”, tangan KANANnya diikat tali dan harus dimasukkan ke dalam kantong, “tidak dapat” digunakan selama 1 jam waktu istirahat kami, kecuali saat wudhu dan shalat.
            Awalnya saya senang karena bukan kaki kami yang “tidak berfungsi”. Tapi ternyata, hummm,, rasanya sediiiihhh sekali. Rasanya semuanya jadi sulit. Di kamar mandi, memakai jilbab setelah wudhu, memasang jam tangan, kaos kaki, semua dilakukan dengan 1 tangan, kiri pula. Untuk yang benar-benar sulit, seperti memasang peniti di jilbab, saya harus meminta tolong orang lain.
            Ketika shalat dan mengangkat kedua tangan saat takbir, tiba-tiba saya merasa bahagia sekali dan berharap shalat saya tidak pernah selesai. Bahagia karena mengetahui bahwa kedua tangan saya masih utuh!
            Rabbii, betapa selama ini kami lalai untuk bersyukur… astaghfirullah..
Depok, 8 Juni 2009

Monday, June 8, 2009

Seseorang Di Kereta

7:50 AM 6 Comments
         Rabu, 3 Juni 2009, BEM UI Sport With Faculty (BSWF) ke Salemba, lawan FKG. Kalau tulisan tentang Salemba sebelumnya bercerita tentang kegiatan Humas dan saatnya mengakrabkan diri dengan anak-anak Humas, kali ini saatnya get closer with Kremas-ers.
         Perjalanan yang menyenangkan bersama mereka. Turun dari kereta, seperti biasa kami berjalan menyusuri jalan kecil melewati rumah-rumah penduduk yang padat. Setelah itu kami menyusuri lorong-lorong membingungkan RSCM. Beberapa kali ke sana, aku yakin tak kunjung hafal jalan-jalannya. Lalu dengan ide seorang Idha (anak Kremas), “Direkam aja, Kak”, yak, kurekam, biar besok-besok bisa ga nyasar kalau nyusul ^^.
        Singkat cerita, kami sudah di perjalanan pulang kembali. Naik kereta ekonomi Jakarta tujuan Bogor pukul 19.00 dari Cikini. Biasa, ‘kereta pergaulan bebas’ kata dosen teman saya. pepet sana pepet sini, kanan-kiri-depan-belakang. Tapi yang patut disyukuri, kereta itu tidak sepadat biasanya yang bahkan tidak ada ruang untuk terjatuh meski anda berdiri dengan mengangkat kedua kaki. Masih ada ruang-ruang kosong,,, hanya, kereta itu mengalami trouble yang sangat sering. Berkali-kali tidak berjalan dalam waktu yang lama, sehingga udara panas luar biasa tanpa angin yang mungkin masuk bila kereta bergerak.
         Di kananku ada Nanda, anak Kremas angkatan 2007. Sepanjang jalan kami bercerita, menambah kebahagiaan kami hari itu. Kami mengingat kembali serunya masa-masa jadi tim sukses Tiko-Nanda dulu, saat kami baru kenal. “Haduh Kak, panas banget,” segera setiap Nanda mengucapkan itu, aku menimpali, “Tapi seneng khaan??” Selalu. Kadang, “Iya sih Kak, tapi pengap banget”, “Tapi seneng kaan?” lagi. pokoknya bagaimana caranya agar yang terakhir tersebut adalah hal positif! Masih terlalu banyak yang bisa dan harus kita syukuri, Dik…
       Ehm,, tapi yang menyebalkan adalah seseorang di samping kiriku. Ia mengeluh tak habis-habis. Memang tidak verbal, tapi cara ia menghembusan nafasnya luar biasa menyebalkan. Menambahk keruh suasana. Memang dia beristighfar, tapi entah dihayati atau tidak, yang terdengar hanya bernada menyalahkan keadaan, bukan memohon ampun. Pikirku, “Kalau ga mau panas pengap mah jangan naik kereta ekonomi Bogor malem-malem!”
      Saat mba-mba di depanku asyik sms-an sama cowok (ga sengaja kebaca beberapa smsnya. Hehehee..), aku dan Nanda mencoba bersyukur dengan bercerita hal-hal positif, orang itu (bapak-bapak bertubuh kecil) malah asyik dengan kenegatifannya. Padahal dengan mendengus berkali-kali kepanasan, dia akan semakin jengkel, toh?!
         Aku men-share-nya pada Nanda. Intinya:
Kalau tidak bisa memberikan solusi, paling tidak jangan menambahkan masalah!
     Karna, positif dan negatifnya kita bisa menular pada orang-orang di sekitar kita. Paling tidak kalau tidak bisa menularkan yang positif, jangan tularkan yang negatif.
       Huumm,, padahal sudah bapak-bapak,, tapi tidak terlihat bijak meski hanya untuk dirinya sendiri.
-Masih mengawas UMB dengan mata liar ^.^- 7 Juni 2009

Tiada Ide

7:49 AM 9 Comments
Bahkan tanpa ide pun kita bisa membuat tulisan. Yah, pada akhirnya terlintas ide menulis tentang ketiadaan ide.
Sebenarnya, ide itu apa sih? Kadang dengan seenaknya ia (atau mereka) datang berbondong-bondong tanpa membeli karcis, masuk seenaknya, tanpa bisa kita kendalikan.
Di saat yang lain, bisa saja ia (atau mereka) tak ada yang menghampiri kita walau satupun. Tega nian, apabila ia tak jua sudi datang bila kita sedang membutuhkannya, ia, atau mereka.
Jadi, ide itu makhluk jenis apa?
Sebenarnya, bisakah kita mengendalikan kedatangan ide? Secara kita adalah tuan rumah dimana otak itu ada di kepala kita. Ups, tapi otak itu bukan milik kita. Hanya dipinjamkan oleh Allah. Berarti, hanya Allah yang bisa mengendalikannya? Tidak juga, kan kita khalifatullah fil ardl. Jadi tergantung kitanya untuk mengendalikan semua “aset khalifah” yang telah Allah kasih. Dalam batas-batas tertentu pastinya.
Kembali ke topik: bisakah kita mengendalikan kedatangan ide-ide itu? Bisakah??
Bisa? Bagaimana caranya?
Tidak bisa? Kenapa??
Seingat yang pernah saya pelajari di mata kuliah Psikologi Faal di semester 3, saraf-saraf di otak itu akan semakin banyak seiring bertambahnya pengetahuan atau ilmu seseorang. Dengan kata lain, semakin sering otak kita dipakai untuk berpikir, maka semakin banyak jejak-jejak ingatan dan saraf di otak yang terjalin. Sebaliknya, semakin otak jarang digunakan untuk berpikir, maka jejak-jejak saraf yang ada akan membusuk (decay), lalu menghilang. Akhirnya, terjadilah apa yang biasa kita sebut “pikun”. Jadi, orang yang selalu belajar dan belajar sampai tua, wajarnya, tidak akan pikun.
Sama halnya dengan tubuh. Sebelum berolahraga, tubuh perlu melakukan pemanasan. Tujuannya agar tubuh SIAP untuk digerakkan karena sudah “panas”. Demikian juga dengan mesin.
Otak yang sering “panas” karena dipakai untuk berpikir, akan lebih siap untuk menerima “panas-panas” yang datang berikutnya: ide-ide untuk dipikirkan. Jadi,
  1. Kita bisa membiasakan otak untuk selalu SIAP menerima ide.
Uuhhmmm... rasanya belum menjawab (Ya iya lah, baru satu).

            Biasanya, orang yang biasa berpikir akan selalu punya ide untuk dipikirkan. Maksud saya, ia kana sangat jarang tidak punya ide, jarang sekali otaknya tumpul, dan... jarang sekali bengong. Wajahnya pun tidak mungkin planga-plongo. Sebaliknya, orang yang jarang belajar atau berpikir biasanya akan sering bengong. Jelas, karena otaknya tidak “panas”, tidak biasa untuk berpikir. Jadi,
  1. untuk meminimalkan ketidakdatangan si ide, sellau cari! Jangan menunggu ia datang. Aktif dong, cari! Bagaimana caranya? Bisa baca, diskusi, nonton, dll.. banyak banget.
Jadi (lagi),
  1. agar kita mudah mencari di mana si ide berada, kita harus SENSITIF.
Nah! Sebenarnya ini sih, intinya.
Orang yang kreatif, biasanya tidak pernah mengabaikan hal-hal kecil disekelilingnya. Karna ternyata, teman-teman, si ide itu ada di mana-mana! Tinggal kita yang harus sensitif menangkapnya.
Contoh… Ketika sedang tidak ada ide untuk menulis, bisa kan, dikaji, kenapa bisa sampai ide itu ada, tiada, datang, hilang, rombongan, sendiri, bahkan gaib? Contoh lain, ketika sedang mengawas ujian, pengawas guru di depan, dan pengawas mahasiswa di belakang. Ada ga sih, efek yang berbeda dengan keduanya di depan kanan-kiri, atau keduanya di belakang? Secara psikologis, mungkin…
Ya, sensitif. Berpikir globally itu penting, tapi untuk bertindak locally, artinya kita harus bisa juga berpikir lokal. Artinya: sensitif.
Naah, kan udah tuh, cara mengendalikan kedatangan ide dari 1 sisi,, harus sensitif agar ide tidak pernah tidak datang. Lalu, untuk mengendalikan ide-ide yang datang berombongan tanpa beli karcis hingga tak bisa dikontrol, bagaimana?
Sebenarnya, kawan, ide-ide yang membanjir itu patut kita syukuri. Salah satunya, dengan tidak membuangnya sia-sia, dan mempergunakannya sebaik mungkin. Maka, ketika ide datang membanjir: catat! Kalau kata ulama, “Ikat ilmu dengan mencatat”, maka kata saya yang naif ini (huekk), “Syukuri nikmat ide dengan mencatat”.
Catat saja. Kalau perlu buat tulisan agar bisa dimengerti oleh orang lain. Mudah-mudahan ide kita bisa mencerahkan banyak orang. Catat saja. Bahkan ketika kau tidak tahu untuk apa akan kau gunakan ide-ide yang melintas itu. Karna, kata teman saya yang skripsinya hampir selesai, “Kalau ada teori-teori yang sudah dikutip dan kata dosen sepertinya teori itu tidak perlu, jangan dihapus; nanti ujung-ujungnya akan terpakai juga”. Tidak jarang a.k.a sering seperti itu.
Tapi itu teori. Kalau kurang sreg, mari saya kasih contoh lain. Di semester-semester ‘muda’, saat skripsi belum jadi beban, biasanya banyak terlintas ide-ide penelitian yang menarik dan urgen; yang bisa saja sangat baik bila dijadikan skripsi kelak. Tapi biasanya juga, ketika deadline pengumpulan proposal skripsi sudah di pelupuk, tidak jarang mahasiswa yang masih bingung mencari topik penelitian. Nah, sayang khan, kalau ide-ide yang pernah ada tidak dicatat sesegera mungkin?! Menguap tak bersisa. So, syukuri nikmat ide dengan mencatat.
Selanjutnya, jangan malas. Jangan malas untuk mengeluarkan buku catatan dan pulpen untuk mencatat. Memang butuh effort. Tapi sebenarnya, semuanya butuh niat. Kemauan.
Gerakan Anti Malas.
-catatan pinggir saat mengawas UMB-
June 6th, 2009

Wednesday, June 3, 2009

BEMers Juga Manusia

2:27 PM 10 Comments
Olah raga memang membuat senang, karna ‘konon’ katanya –menurut ilmu faali— mengeluarkan hormon endorfin yang membuat kita merasa senang. Apatah lagi bila olah raga bersama  teman-teman seperjuangan tercintah. Hahah, dan olah raga yang dipilih pun sederhana, hanya lari-lari dan berteriak-teriak (maklum cewek, capean jerit-jeritannya daripada larinya). Full Fun!! Main galasin (gobak sodor bahasa Indonesianya), benteng, dan Kucing-Tikus! Seru bangett!!
Dalam main benteng pun, Kepala SPI (Satuan Pengendali Internal) masih bertanya dari benteng seberang, “Far, SOP-nya gimana nih, kalo udah ngenain masih bisa dikenain sama yang lainnya ga?” atau pertanyaan-pertanyaan teknis permainan anak-anak itu, ditanyakan dengan bahasa-bahasa berat. SOP, punishment, blablabla.
Jadi keliatan, ternyata parah banget para BEMers! Parah banget bedanya sama yang biasa terlihat maksudnya. Misal, kabir kestari yang terlihat sangat wanita sekali karna sangat lemah lembut, berhasil memecahkan rekor menjadi ‘tikus’, berlari paling jauh menghindari kejaran ‘kucing’ hingga membuat para pria terpana. Ya iyalah! Bahkan dia mengelilingi lapangan yang dipakai para pria itu dengan terus berlari!! Jauuuhhh banget. FYI, tempatnya di lapangan bola MIPA. Lapangan Bola boo… Dan banyak lagi BEMers yang biasanya terlihat kalem ternyata mantabh bangedh.. jadi terlihat agak ‘ganas’. Apalagi yang emang udah terlihat ganas, nampak makin ‘ganas’. Hehee… pis ah, BEMers sayang!
BEMers putrinya, rame banget! Emang capai banget sih, tapi kayaknya kontributor capai terbesar kami adalah tertawa dan menjerit. Hehe,, bukan olahraganya sendiri. Sedangkan BEMers putranya, kalau diperhatikan memang seru banget mainnya! Tapi tetep aja, ga akan melebihi hebohnya teriakan dan jeritan kami putri-putri BEMers. (Ya iyalah!!)
Untuk semua BEMers, terlihat memang ekspresinya puas banget. Kembali mainin permainan-permainan rakyat a.k.a permainan anak-anak dulu, melepaskan sejenak amanah berat yang sehari-hari disandang, jabatan-jabatan seperti Ketua Umum, Wakil Ketua, Koordinator Pusgerak, Bendahara Umum, Kepala Biro, Kepala Departemen, Staf Departemen dan Biro, semuanya menyatu dalam gerak dan tawa, hahaha.. kembali jadi anak-anak, memang menyenangkan. Dan memang perlu sesekali. Melepaskan penat sejenak, mengambil energi lagi, untuk kembali berjuang dengan penuh totalitas!
Maaf ya teman, kalo pada pegel-pegel…
Olah Raga Ceria d’First,
June 2, 2009

Aku dan Dirinya

2:24 PM 4 Comments
Gadis mamaku, senangnya berorganisasi. Demonstrasi, bersosialisasi, nambah jaringan, bahkan dulu senang sekali berhubungan dengan dunia sosial dan politik. Sekarang mah sudah ogah. Hehehee.. Oh iya, juga bela diri (karate), olahraga, hiking, dan kegiatan-kegiatan fisik lainnya. Sebenarnya ia suka kegiatan-kegiatan kewanitaan, seperti merajut, menjahit, desain interior, memasak…. Suka, ya. Tapi ia butuh usaha sangat keras untuk bisa “mempelajarinya”. Bahkan untuk sekedar “melakukannya”.
 Perjaka-nya mamaku, memang atlet karate tingkat nasional. Medali emasnya banyak, dipajang tergantung-gantung terpaku di dinding kamarnya.  Belum lagi yang selain emas. Ia juga jago renang, basket, dan satu lagi: ahli reparasi apapun. Cowok banget dah! Ganteng lagi. Hehehe… Tapi, ia sangat pandai memasak, rapi dalam menjahit, desain interior… Sebaliknya lagi, ia tidak cukup suka beraktivitas organisasi dan dinamika-dinamika di dalamnya.
 Bila ayahku menelepon anak gadisnya, “Di mana Dek?” Tidak peduli pagi, siang, sore, maghrib, ba’da maghrib bahkan, jawabannya sama, “Hehee, di kampus Yah…”
Sangat berbeda ketika anak laki-lakinya yang ditelepon, “Di mana Kak?” Hampir selalu, “Di kosan Yah…”
 Rasanya, hampir semua yang ada pada mamaku menurun pada anak laki-lakinya. Dan yang ada pada ayahku, menurun pada anak perempuannya. Dari wajah, keahlian, sifat… Untungnya badan nggak.. Tapi sifat keras kepala, keduanya dapat. Mamaku jago masak, cuek, tidak romantis apalagi puitis, kepribadian tipe B (let all flow..); menurun pada anak lelakinya. Sedangkan ayahku cukup puitis dan nyastra, tidak pernah melewatkan hal-hal sekecil apapun (detailer), berkepribadian tipe A (semua serba terencana, tepat waktu), senang organisasi, bakat leader; menurun pada anak gadisnya. Seeeemuanya.
 Hwaaahh,, teman.. Itulah anugrah. Terserah Tuhan dong, mau ngasih apa pada siapa. Toh Dia yang Maha segala… Tak perlu mempedulikan apalagi harus mengikuti stereotype masyarakat mengenai peran gender dan harapan-harapan untuk keduanya.
 Mungkin, ladang-ladang pahala untuk belajar itu sengaja Allah bukakan untuk kami, agar jadi manusia yang ‘lebih’. Alhamdulillah =)
Bekasi dan Depok,
June 3rd, 2009

Pak, Ada Uang Receh?

2:22 PM 3 Comments
Waktu masih semester 4, mata kuliah Psikologi Kepribadian 2, kami sedikit membahas tentang learned helplessness. Putus asa yang dipelajari. Sang dosen meminta kami mencari contoh. Hampir semua contoh yang dikemukakan benar, namun tidak sesuai dengan mau si dosen yang memberikan clue: “di dekat kita banyak sekali lho…” Semua contoh yang ada dianggapnya terlalu memenara gading, mencerminkan anak-anak UI sekarang. Ada yang menyebutkan dirinya sendiri, tokoh-tokoh ternama, artis, ilmuwan, bahkan Ibnu Khaldun.
Tak berhasil ditebak, sang dosen akhirnya menjawab clue-nya sendiri. Pengemis. Betapa seringnya mereka menemui keputusasaan dalam usaha-usaha mereka yang lebih produktif sebelumnya, dengan daya lenting (resiliensi) yang belum cukup mereka miliki, akhirnya pasrah mengharapkan uluran tangan orang lain yang murah hati. Daya lenting, maksudnya kemampuan mereka untuk kembali fight setelah mengalami kegagalan.

Jumat pagi, 2 pekan yang lalu, saya berencana untuk “pergi ke suatu tempat” bersama beberapa orang staf saya yang semuanya perempuan. Setelah kami berkumpul dan tinggal menunggu  1 orang terakhir, kami berpencar sebentar. Ada yang membeli minum sebotol besar ke indomart Kober, sedangkan saya dan 1 orang yang lain masuk ke gang sawo untuk membeli roti goreng Medan, sekalian memecah uang untuk ongkos.
Semuanya Rp5.000,00. Kukeluarkan selembar uang Rp50.000,00 yang ingin dipecah. Sang penjual mengambilnya, dan tanpa banyak pikir menghampiri seorang pengemis yang sedang duduk tak jauh dari situ. Menghampiri seorang pengemis, menukarkan uang! Kakek-kakek pengemis itu tidak punya. Tanpa perlu waktu untuk berpikir, sang abang menghampiri pengemis lainnya, kali ini nenek-nenek. Ada!
Lima puluh ribu rupiah, dengan pecahan 2 lembar 20.000an dan 1 lembar 10.000. Sepagi itu, kira-kira pukul 07.15, dari buntalan kain seorang pengemis. Padahal hanya jarak selangkah dari gerobak roti goreng itu ada banyak gerobak pedagang lain. Mungkin mereka belum dapat segitu banyak pagi-pagi, tapi pengemis itu bahkan membawa bekal 50.000! itu yang terlihat. Belum lagi yang tidak, mungkin saja bila saya ingin menukarkan 100.000….
(silahkan menyimpulkan pikiran masing-masing)
Yang jelas, saya begitu shock-nya melihat ‘adegan’ itu sehingga ketika melewati kedua pengemis tadi, sama sekali tidak ada keinginan untuk memberi. Saya ilfeel. Ilang feeling. Setelah itu tanpa rasa malu sedikitpun (atau memori bahwa uang saya-lah yang tadi ditukarkan padanya melalui abang roti goreng), pengemis itu masih saja meminta pada saya yang bahkan menoleh pun tidak ingin, dengan ekspresi yang, entahlah, sangat tidak menyenangkan, seakan saya berdosa sangat telah membuka aibnya (punya uang minimal 50.000 pagi-pagi).
Hummmmmmmmmmheeemmmmmmmmmmmmm……. Betapaohbetapa……………

Depok pagi hari,
3 Juni 2009