Follow Us @farahzu

Saturday, December 10, 2022

Ketika Anak Ingin Sesuatu

10:04 AM 0 Comments

Suatu hari di minimarket, Fatih nemu rak yang isinya mobilan Hot Wheels. Dia tertarik dengan Monster Truck yang gede itu. Harganya juga “gede”, lebih mahal daripada Hot Wheels yang biasa 🫣. Dimainin di situ, gak beranjak meski saya udah pindah rak sampai di luar jangkauannya (ngetes). 


“Fatih mau ya?” Lalu semangat lah dia ngasihin mobilan itu minta dibeliin. Tapi itu mahal, saya gak bawa uang banyak dan memang no budget sih untuk bulan itu. Dan memaaaaang saya tidak ingin selalu langsung memberikan keinginan anak (yang bukan kebutuhan).


Saya berjongkok menyejajarkan mata kami, lalu berbicara pelan-pelan dengan nada yang rendah, “Tapi ini mahal Nak, Umma ga ada uangnya. Kita berdoa yuk sama Allah minta truk monster, nanti Allah kasih. Sekarang kita pulang dulu ya.” 

Alhamdulillah dia mengerti, meskipun sambil menunggu saya membayar belanjaan di kasir, dia masih memainkan mobilan itu sambil menirukan suara mobil balap 🤓


Selesai membayar, saya menjemputnya, meminta dia membereskannya lagi, lalu dia minta digendong, hap! Meski berat banget, tapi saya iyakan karena dia pasti butuh waktu untuk merasa nyaman kembali setelah keinginannya tak (langsung) terkabul. 


Sambil agak berbisik saya validasi emosinya, sampaikan keinginan saya/nasihat, dan apresiasi, “Fatih sedih ya gak bisa beli truk monster? Sabar ya Nak, kita berdoa ya, minta sama Allah, nanti pasti Allah kasih. (Jeda)… Makasih ya, Fatih pinter banget udah bersabar, mau nurut sama Umma,” lalu saya cium. Alhamdulillah, ga lama dia minta turun dan berjalan lagi seperti biasa. 


Sampai rumah saya ajak dia berdoa sambil dipangku. Minta truk monster sama Allah. Saya ingin membiasakan dan menanamkan dalam hatinya bahwa Allah-lah tempat kita meminta, bukan orang tua apalagi orang lain. 


Fyi, saya berencana membelikannya 2 minggu lagi, setelah gajian. Bi idznillah, saya tiba-tiba merasa tersentil. 

“Kenapa saya mengajarkan anak berdoa jika ingin sesuatu, tapi saya sendiri tidak berdoa? Apa saya merasa diri Tuhan yang menentukan akan memberikan apa dan kapan kepada siapa?” Astaghfirullaah 😖😖😖


Maka di waktu berdoa berikutnya, saya pun sungguh-sungguh ikut berdoa, “Ya Allah, Ya Wahhab, Fatih pengen banget beli truk monster. Berikanlah ya Allah untuk Fatih. Berikanlah rezeki yang banyak untuk Umma dan Aba biar bisa beliin Fatih truk monster. Aamiinn”


Ini penting ya Bapak/Ibu. Jangan merasa sombong karena kita punya uang/kuasa membelikan anak kita. Coba kalau kita punya uang, tapi Allah tidak berkenan memberi rezeki mainan itu buat si anak, bisa? BISA, SANGAT BISA. Nih contohnya.


Ceritanya 2 minggu kemudian, saya sudah sounding dari pagi mau belikan truk monsternya. Bilang, “Fatih, alhamdulillah Allah kasih Umma rezeki nih buat beli truk monster.” Jalanlah kami ke minimarket itu. Begitu di sana, hati saya poteq. Anaknya gak minat beli mobilan, termasuk truk monster. Padahal beberapa hari sebelumnya masih ‘naksir-naksir’ mainin kalau ke sana. Entahlah kenapa. Qaddarallah, ya udahlah. Harusnya bisa seperti ibu lain yang, ‘bagus deh, uangnya ga jadi keluar’. Tapi kok saya sedih ya. Mungkin karena, ini jadi momen pembelajaran berharga untuk saya juga. 


Alhamdulillah beberapa hari setelahnya, dia mau ketika saya tawarkan lagi. Duh mana pas diskon 💕💕 Maa sya Allaah tabaarakallaah. Allah baik sekali. Alhamdulillaah, banyak banget hikmahnya. 


Maka sebagaimana yang kita ajarkan pada anak kita, terapkanlah untuk diri kita sendiri juga. Mudah-mudahan Allah ridha dan berkahi keluarga kita dengan berkah yang banyak. Aamiinn. 


Sunday, December 4, 2022

Fatih Pakai Masker

5:42 AM 0 Comments

Alhamdulillah, anak ini kuat sekali jalan kaki. Bukan lagi RT, bahkan RW-RW kanan-kiri sudah disambanginya dengan jalan kaki. Sampai harus saya gotong balik kalau sudah kejauhan, takut kami nyasar 😅


Saya worry sekali sebenarnya dengan debu dan polusi yang banyak ditemui kalau kami lagi di jalanan ramai, tapi sudah jiper duluan bisa memakaikan masker di usia 2tahunnya nanti. Haduh, jangankan masker, dipakaikan topi waktu panas saja ga bisa. Padahal waktu bayi sering dipakaikan, namun sejak bisa merangkak rasanya dia mau ambil semua kontrol tentang tubuhnya. Kadang suka iri (sedikit) liat anaknya orang-orang kok mau ya, kan luthuuuu uwuwuwuwuw…


However, saya tetap sounding tentang masker sih sejak 1-2 bulan lalu. Bahwa pakai masker itu keren, umma-aba dan semua orang pakai masker. Saya ajarkan juga gerakan tutup mulut dan hidung kalau saya katakan: “pakai masker”. Meskipun kenyataannya hanya mulut saja (atau hanya dagu malah) yang ditutup dengan tangannya. Gakpapaaaa…


Qaddarallah, kemarin kami mau ke minimarket karena ada yang perlu dibeli. Ternyata di jalan ramaaaaai sekali. Ada pembagian BLT di kantor kelurahan. Waduh gimana nih. Akhirnya sambil kencangin doa, saya gendong Fatih dan berjalan cepat (berat juga soalnya) melalui keramaian, sambil melakukan hal berikut *tsaaah


Saya tunjuk setiap anak kecil yang pakai masker sambil bilang, “Tuh kakakknya pake masker. Itu temennya pakai masker juga. Umma beliin masker, Fatih pake yaa..” Terus begitu setiap lihat anak kecil bermasker, sampai dia tertarik dan menunjuk-nunjuk sendiri. Sok seru aja padahal degdegan…


Sampai minimarket, saya beli masker anak. Lalu kutunjukkan gambarnya dan bilang, “Waaa lihat nih gambarnya pandaaa lucu yah.” Lalu kupakaikan lah. Eh, dia happy 🥳


Sepanjang jalan pulang kalau ketemu tetangga, saya sok pamer supaya dia bangga pakai masker. “Eniiiiin nih liat Fatih pinter mau pake masker. Neneeeek liat nih Fatih pake masker lhooo.”


Belum selesai Gaes, sampai rumah saya dorong dia untuk bercermin, “Yuk ngaca yuk pake masker!” Terus dia girang deh lihat dirinya pakai masker lucu 💕💕


Intinya, asosiasikan pakai masker dengan sesuatu yang seru, keren, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Ga usah yang susah-susah. 


Maa sya Allaah, alhamdulillah Allah mudahkan. Tak sesulit yang kupikirkan, tak ada drama seperti yang kukhawatirkan. Semoga begini juga saat nanti menyapih hehe.. Aamiinn

Friday, November 25, 2022

Ketika anak terjatuh

2:48 PM 0 Comments

Anak-anak, bisa karena masih belajar mengendalikan anggota tubuhnya, atau belum memahami risiko gerakannya, atau terlalu semangat mengeksplor lingkungannya; lazim mengalami jatuh/terbentur/terjepit. Intinya dia merasa sakit, lalu umumnya menangis. 


Sudah gak jaman lah ya orang dewasa menimpakan kesalahan pada hal/benda lain demi menenangkan anak, seperti, “Nih ya Ibu pukul kodoknya/mejanya/pintunya.” Itu akan membuat anak merasa selalu benar, hanya orang lain yang bisa salah, dirinya tidak. 


Orang tua jaman now ada juga yang membuat asosiasi: sakit, ditiup ortunya, sembuh. Inginnya sih menghibur dan mensugesti anak, biar anak merasa sembuh meskipun sebenarnya masih terasa sakit. Kesannya lebih humanis, tapi menurut kami, ini juga tidak tepat. 


Demikian pula orang dewasa, kalau merasa sakit, banyak yang langsung cari obat/herbal. Gak sembuh juga? Ke dokter, bahkan terapi ini-itu. Kalau gak sembuh juga, baru menangis berdoa minta sembuh. 


Padahal, kebalik. Sebagai muslim, harusnya kita minta dulu, doa dulu. Karena Allah adalah Asy Syaafii, Yang Maha Menyembuhkan. Obat, herbal, dokter, terapi, semua hanya perantara. Tidak bisa menyembuhkan sedikitpun kalau tidak karena izin Allah. 


Begitupun ketika anak sakit. Biasakan berdoa adalah yang pertama. Sambil kita tenangkan, katakan pada anak, “Mana yang sakit? Yuk kita doa yuk. Ya Allah, Ya Syaafii, angkatlah sakitnya Adek ya Allah (contoh). Aamiin.” Baru silahkan ditiup atau diusap sesuai kebiasaan masing2, setelah doa. Kalau perlu tekankan lagi, “In sya Allah cepet sembuh ya, kan sudah Umma doain”, untuk menekankan bahwa doa adalah senjata kita, orang beriman. Selain itu juga lagi-lagi mengingatkan kita orang tuanya, tentang kekuatan doa. Tentang ke-Maha Kuasa-annya Allah. Doa yang sungguh-sungguh dari hati, bukan hanya di bibir.


Jadi anak tau, disamping ortu juga selalu ingat, bahwa hanya Allah yang mampu menyembuhkan. Bahwa kepada Allah lah harusnya kita benar-benar bergantung, apapun.


Thursday, October 27, 2022

Ketika Anak Mendapat Rezeki

9:20 PM 1 Comments

Menanamkan tauhid dalam diri anak perlu lebih konkret dan sesuai dengan usia (pemahaman) anak. Memasukkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari anak menjadi pilihan yang in sya Allah paling mudah. Contohnya, ketika anak mendapat rezeki. 


Pertama-tama, kita kenalkan dulu Allah dengan nama-Nya Ar-Razzaaq, yaitu Maha Pemberi Rezeki. Sebutkan rezeki apa saja yang dapat dipahami anak sesuai usianya, seperti makanan, minuman, susu/asi, pakaian, sepatu, mainan, dll. Bisa dengan obrolan, atau membacakan buku tentang ini. Jadi anak belajar “teorinya” dulu. 


Prakteknya bisa dilakukan kapanpun, seperti ketika sedang/akan makan. Katakan pada anak, “Adek, ini ada makanan. Makanan ini dari siapa? Dari Allah. Allah kasih melalui siapa? Melalui Umma. Jadi bilang apa? Alhamdulillaah. Terima kasih Umma”.


Contoh lain yang paling sering saya lakukan, ketika nenek/tetangga memberi hadiah makanan, misalnya puding. Tanyakan pada anak, “Enak pudingnya? Puding ini dari siapa? Dari…? Dari Allah. Allah kasih melalui siapa? Melalui Nenek. Jadi bilang apa? Alhamdulillaah. Terima kasih Nenek.”


Selalu utamakan ingat Allah dulu, berterima kasih pada Allah dulu. Mau tambahin “terima kasih Allah” setelah alhamdulillah? Ya boleh aja sih. Bacaan hamdalah sendiri sudah berarti bersyukur dan berterima kasih pada Allah. 


Berterima kasih pada orang lain yang menjadi perantara rezeki itu juga harus ya. Selain norma di masyarakat, yang utama adalah karena itu ajaran agama Islam. 

“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.” (HR. Abu Daud)


Semoga tertanam dalam jiwanya, bahwa apapun yang didapatnya adalah dari Allah, Ar-Razzaaq, dan tumbuhlah hati yang senantiasa syukur seumur hidupnya. Aamiin

Fitrah Tauhid

9:17 PM 0 Comments

Setiap anak yang lahir, sudah terinstal tauhid di dalam dirinya. Mengenal dan mengesakan Allah adalah fitrah setiap manusia. 


Saya pernah membuktikan pada anak saya (1y7mo waktu itu) dengan bertanya, “Fatih, di mana Allah?” Dia langsung mendongak ke atas secara otomatis.*


Ya, Allah di “atas”, di langit, di atas ‘Arsy.


*cara mengetes ini saya dapatkan dari ceramah Ustadz Khalid Basalamah (KHB), dengan catatan fitrah tauhid anak belum rusak misalnya karena banyaknya tontonan yang salah. 


وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِیۤ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّیَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ شَهِدۡنَاۤۚ أَن تَقُولُوا۟ یَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَـٰذَا غَـٰفِلِینَ﴿ ١٧٢ ﴾

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS: Al-A'raf, Ayah 172)


Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah (muslim)”. (HR. Bukhari Muslim)


Programnya’ sudah ada, jadi sebenarnya orang tua “hanya tinggal” mengingatkan dan memanggil memori di alam ruhnya ketika perjanjian dengan Allah itu terjadi. Etapi ternyata gak semudah itu juga. Kenapa ya?


Ya mungkin karena orang tuanya juga masih belajar untuk terus ingat masalah tauhid ini. Jadi, yuk kita mengingatkan diri sendiri sekaligus anak kita, memelihara fitrah tauhidnya agar dia tidak sempat lupa seumur hidupnya. In syaa Allah.

Monday, May 30, 2022

Pachinko (Book Review)

11:56 AM 0 Comments

Judul Buku: Pachinko

Penulis: Min Jin Lee

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman: 576 halaman

Tahun terbit: 2019

Pachinko
dok: pribadi
 
Pachinko Review
kiri: cover lama ; kanan: cover baru


Hello Readers, Assalamualaikum!

Saya baru saja menamatkan sebuah buku fiksi sejarah yang sangat menarik dan berkesan buat saya. Saya membaca e-book Pachinko ini dari aplikasi Gramedia Digital; jadi resmi ya, no nyolong-nyolong. Novel ini menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga Korea selama 80 tahun dan 4 generasi. Dimulai pada masa kolonisasi Jepang atas Korea hingga tahun 1989. Ringkasnya, kehidupan sebuah keluarga Korea di Jepang pada masanya.

Tokoh utama dalam novel ini bernama Kim Sunja, perempuan Korea, pada saat di muka bumi ini hanya ada 1 Korea. Lalu ia pindah ke Jepang dan meneruskan hidupnya melalui semua masa sulit dan (akhirnya mulai) lapang di negara itu.

Baca Juga: Kim Ji Yeong; Lahir Tahun 1982

Novel ini banyak mengangkat tentang diskriminasi dan prasangka buruk yang dialami oleh warga Korea di Jepang. Beberapa bertahan dan nampak baik-baik saja, tetap menerima kehidupan yang keras sebagai makanan sehari-hari yang mau tidak mau harus mereka telan. Noa, anak pertama Sunja menekankan pada dirinya dan adiknya, “Orang Korea tidak boleh berbuat kesalahan”, karena orang Korea yang baik saja sudah dianggap buruk, apalagi yang tidak baik. Tapi menurut tokoh yang lain, “Tidak penting menjadi Orang Korea yang baik, karena sama saja akan dianggap buruk juga”. Syedih ya Gais…

Selain diskriminasi dan prasangka, saya juga menggarisbawahi tentang identitas dan penerimaan diri. Bagi orang-orang tertentu, memiliki identitas yang jelas dan tidak membawa aib nampaknya sangat menjadi isu, sehingga ia tidak takut menghilangkan nyawanya hanya karena tidak mendapatkannya. Namun bagi sebagian yang lain, yang pasrah menerima dirinya, latar belakangnya yang tidak bisa ia ubah sebagai takdir yang harus diterima, bisa hidup dengan lebih baik. Orang golongan kedua ini fokus membangun masa depannya dan tutup kuping pada omongan orang-orang yang tidak perlu. Dia hanya perlu membuktikan dirinya berhasil, bisa mengangkat kehidupan keluarganya, dan membangun masa depan yang cerah untuk anak keturunannya.  

Menurut saya novel ini sangat kaya. Mulai dari alur dan tokohnya yang saya ga bisa nebak bakal gimana, juga kaya secara emosional; saya bisa merasa degdegan, happy, sedih, haru, kecewa, penasaran, marah, sakit hati, ga bisa terima, dan pasrah—selama membaca buku ini. Warbyasa kan? Selain itu, buku ini juga sangat kaya informasi, baik fakta sejarah yang objektif maupun subjektif berdasarkan persepsi para tokohnya. Ternyata dalam pembuatan novel ini, penulis memang melibatkan riset panjang yang tidak main-main lho. Sebagai penggemar bacaan sejarah, buat saya buku ini jempol banget!

Bahasa novel ini kaku menurut saya, mungkin karena ini terjemahan, meskipun banyak juga karya terjemahan yang tidak kaku sih. Tapi karena ceritanya menarik, saya suka sekali membacanya, apalagi ketika baru menyadari di tengah cerita, kalau buku ini tebalnya lebih dari 500 halaman. Hepi banget, berarti selesainya masih lama wkwkwkwk…

Penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, alias penulis sebagai ‘tuhan’ yang mengetahui segalanya, bahkan isi hati semua tokohnya. Buat saya cerita setebal ini isinya daging semua. Semua tokohnya penting, sedikit sekali nama yang jadi ‘figuran’ sepanjang kisah ini. Sebelum menyelesaikan membaca, saya sudah merasa puas, dan alhamdulillah tetap puas sampai menemukan ending cerita ini. Selamat Min Jin Lee! (sok kenal)  

Wednesday, May 25, 2022

Book Review: Bekisar Merah – Ahmad Tohari

6:48 AM 0 Comments

Judul: Bekisar Merah

Genre: Fiksi

Author: Ahmad Tohari, 1993

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman: 360 halaman


Assalamualaikum! Apa kabar Readers?

Ada masanya, saya mengisi waktu dengan menikmati karya-karya sastrawan angkatan lalu. Salah satunya Ahmad Tohari dengan novel Bekisar Merahnya.

Bekisar adalah jenis ayam hasil persilangan yang berharga mahal dan sering dikonteskan.


Novel ini berlatar tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, saat masih dipimpin oleh Presiden Soekarno. Isinya bercerita tentang seorang gadis desa yang berperawakan mirip Jepang, karena ayahnya memang tentara Jepang. Dia cantik dan kecantikannya sangat menonjol. Namanya Lasi.


Awalnya ia seorang istri dari pemuda kampung yang miskin dan biasa saja, hidup dengan bersahaja dan setia. Namun ia harus menelan kecewa karena kekhilafan suaminya yang tak termaafkan. Lasi pun kabur ke Jakarta, dan terjerumus pada ‘bisnis’ yang tak pernah dipahaminya dengan kepolosan pandangannya. Ia menjadi wanita simpanan pejabat dan sempat dipindahtangankan kepada pejabat lain yang menginginkannya, yang lebih berkuasa daripada pejabat sebelumnya. Lasi yang cantik berdarah Jepang ini menjadi ‘incaran’ di kalangan pejabat, terkait dengan pemimpin negara yang belum lama menikahi seorang wanita Jepang (hayooo siapa yang jadi auto-browsing??).


Singkat cerita, ia menemukan cinta sejatinya (bernama Kanjat) di desa kelahirannya, lalu menikah. Ia sempat diculik kembali ke Jakarta dan pada akhirnya sang suami berhasil membebaskannya. 


Novel ini menceritakan kenyataan hidup yang sangat susah bagi rakyat kecil, di tengah alam yang terbatas dan hasilnya hanya dihargai dengan sangat murah.  Karangsoga, desa tempat Lasi tumbuh, menikah pertama kali, dan kembali ketika menemukan cintanya, adalah sebuah desa penghasil gula kelapa (gula merah). Para penyadap nira kelapa harus naik ke pohon-pohon kelapa yang sangat tinggi, mempertaruhkan nyawa, dan membawa nira yang diolah para istri di rumah sehingga bisa dijual pada tengkulak, yang sesukanya menetapkan dan menaik-turunkan harga gula. Namun mereka, masyarakat penyadap itu tidak punya pilihan lain. Tanah mereka tidak cukup subur untuk ditanami padi atau komoditas lainnya. Mata pencaharian lainnya sangat sulit ditemukan di sana.


Berbeda dengan kehidupan Lasi ketika di Jakarta, fasilitas yang dinikmatinya bagaikan langit dan bumi dengan apa yang bisa dinikmatinya di Karangsoga. Betapa mewah dan seperti tak terbatas.


Orang-orang kaya seperti tengkulak dan jaringannya hingga kota besar seperti Jakarta, sesungguhnya berhutang pada orang-orang terpinggirkan seperti masyarakat penyadap di Karangsoga. Mereka menikmati hasil melimpah (membeli gula dengan harga rendah) dari usaha sangat tinggi resiko yang dilakukan para penyadap, kemudian dapat menjualnya dengan harga tinggi di kota besar. Demikian yang mengganggu pikiran Kanjat, putra tengkulak yang kelak menjadi suami Lasi.


Novel ini menceritakan kehidupan lain para pejabat pada masa itu (entah sekarang) yang sebelumnya tidak banyak saya tahu, terutama yang berkaitan dengan “wanita”. Dengan alur maju, kehidupan tokoh utama diceritakan dengan detail dan cukup rumit, sehingga saya cukup menikmati membacanya. Sayangnya, konflik utama yang saya tunggu-tunggu menurut saya kurang seru. Konflik selesai dan melandai sebelum klimaks sehingga saya sudah degdegan eh ga jadi seru, hihi...


Baca Juga: Men are from Mars, Women are from Venus


Menurut saya, buku ini (beserta karya-karya Ahmad Tohari lainnya) sangat layak untuk dibaca. Buku ini membuka wawasan dan dengan mudah membawa pembaca seperti melihat dan mengalami langsung kejadian demi kejadian dalam ceritanya. Penggambaran latarnya cukup detail namun tidak berlebihan, sehingga saya merasa sayang kalau tidak membacanya secara utuh. 

Terima kasih sudah membaca ya! Wassalamu'alaikum :)

Thursday, May 12, 2022

Review 4 Bahan Ring Sling (Linen, Katun Bambu, Katun, Kaos)

5:43 AM 4 Comments

 Halo Buibuk! Assalamualaikum!

Kali ini saya mau bahas salah satu jenis gendongan ergonomis (M-Shape support), yaitu ring sling. Apa itu ring sling?

Kalau menurut saya ring sling ini seperti jarik modern, karena berupa kain panjang dengan ring tanpa celah untuk menyatukan dan mengunci kainnya, sehingga lebih kencang dan aman dibanding kain jarik kalau cara pakainya masih tradisional alias diuwel-uwel di pundak. Ring sling ini menggunakan ring tanpa celah sehingga tidak akan terbuka dan membahayakan bayi ketika digendong.

Saya pribadi suka sekali menggendong dengan ring sling karena praktiiiisss sekali. Yah meskipun hanya bertumpu pada 1 bahu. Kalau saya perlu menggendong cepat, saya pakai ring sling. Tapi kalau mau menggendong lama, ya saya pakai SSC hehehe…

Banyak sekali produsen yang memproduksi ring sling ini, dengan bahan yang berbeda-beda. Review saya ini berdasarkan bahan dan contoh merek yang saya punya ya. Check it out!


    a. Ring Sling Bahan Linen (Harga: 180-190ribu)

RS berbahan linen ini paling umum dan paling banyak diproduksi. Kalau yang saya punya ini merek MyBabyPouch. Karena bahan linen, agak kasar, jadi terasa mengunci dan sangat ajeg ketika membawa berat beban bayi. Kencang, tapi menurut saya agak “nglekeb” gitu, gimana ya jelasinnya. Yah intinya bayi menempel sempurna seperti nyaris gak gerak ke badan kita. Tapi kalau anak sudah berat, ring sling bahan linen ini terasa yang paling ajeg sih untuk menggendong.


    b. Ring Sling Bahan Katun Bambu (Harga: 110ribu)

Merek yang paling umum untuk rs katun bamboo ini adalah Cuddle Me, seperti yang saya punya. Alhamdulillah dapet dikasih hihi… Bahannya lembut, gak gerah, agak tricky pakainya. Kalau belum jago, mesti latihan cara menggunakan ring sling yang benar. Pokoknya kalau gak benar cara pakainya, banyak yang ga berhasil pakai ini, merosot lah, licin, dan sebagainya. Tapi kalau sudah benar cara pakainya, ini gendongan enak banget. Bahkan sempat jadi gendongan favorit saya. Sempat? Iya, menurut saya bahan ini nyaman banget sampai waktu tertentu, yaitu ketika BB anak belum terlalu berat. Kalau sudah di atas 10kg, menurut saya mulai terasa tidak ajeg dan kurang mendekap. Meskipun klaimnya sih bisa dipakai sampai BB anak 15-20kg.



    c. Ring Sling Bahan Katun (Harga: 100ribuan)

Yang saya punya ini dari merek Petite Mimi. Ring sling pertama saya, dapat dari kado Alhamdulillah. Ring sling ini rasanya ajeg dan anak bisa mendekap sempurna ke kita. Bahannya agak tebal, aman tapi bisa jadi agak gerah dipakainya. Kekurangannya, ukuran ring Petite Mimi kekecilan untuk bahan setebal itu, jadi susah untuk “menyisir” kain dan meng-adjust ukuran kekencangan gendongannya.


    d. Ring Sling Bahan Kaos (Harga: 100ribu)

Nah ini nih, ring sling yang GaTot menurut saya. Not recommended. Saya beli yang merek Malilkids. Kesan awal sih kainnya enakeun, tapi ternyata ga bisa dipakai gendong. Entah karena kainnya ketipisan, atau licin, atau karena kombinasi bahan kain dan ringnya tidak cocok. Saya penasaran sampai mengirim gendongan ini ke teman yang Certified Baby Wearing Consultant. Menurutnya ringnya yang tidak cocok, hanya ring logam tanpa polesan apapun sehingga licin kalau dipasangkan dengan kain apapun. Awalnya enak banget pakai ini. Tapi tunggu semenit, dua menit, mulai melorot. Bukan merosot ya, tapi melorot. Jadi anak di gendongan turun pelan-pelan. Gendongan ini tidak bisa menopang dengan baik, padahal waktu itu BB anakku baru 7kg. Failed lah. 

Update: Setelah tulisan ini dibuat, Malilkids membuat ring sling bahan kaos baru yang mungkin berbeda dengan jenis sebelumnya. Tulisan ini hanya membahas ringsling kaos yang awal diproduksi oleh Malilkids. 


Baca Juga: (Sharing) Tips Mengatasi Heartburn pada Ibu Hamil 

Nah. Itu tadi review 4 bahan ring sling dari saya. Mana yang paling saya suka? Untuk BB bayi di bawah 10kg, saya lebih nyaman pakai katun bamboo, tapi setelah 10kg ke atas, linen juaranyaaaaa… harga gak bohong yee… wkwkwkwk…

Semoga manfaat ya Buibuk!