Follow Us @farahzu

Monday, December 30, 2013

Kisah Lumia

8:31 AM 0 Comments


http://kankkunk.files.wordpress.com/2012/04/lapu.gif



“Man, berapa jumlah lampu merah yang kita lewati dari ujung Jalan Sudirman sampai ujung Jalan Ratulangi (sebelum belokan jalan Landak)?”
“Tiga”, jawab Rahman, driver yang mengantar saya Jumat kemarin, dengan yakin.
“Salah, ada 6!” tukas saya girang, karena Rahman sang raja jalanan pun salah. Lalu dia menghitung, lengkap dengan posisi setiap lampu merah (hapal bo!), ah ya benar, ada 6.
 
Hampir semua orang yang saya tanyakan tentang itu menjawab dengan salah. Ada yang 5, ada yang 7, tapi tidak pernah menjawab 6. Padahal itu jalan utama di Makassar, dan orang-orang yang saya tanyakan itu hampir setiap hari melewati ruas jalan tersebut.

Kenapa saya tau? Ya, karena saya menghitungnya dengan cermat. Rajin amat? Haha, sebenarnya tidak juga. Jadi ceritanya begini. 

Suatu hari di Bulan Oktober, saya sedang sangat ingin beli gadget baru. Awalnya saya tertarik dengan Sony Experia. Tapi secara tidak sengaja waktu saya mampir ke outlet Nokia dan mencoba-coba seri Lumia-nya, saya langsung naksiiiirrrr! Satu kata yang menggambarkan kesan saya terhadap Lumia adalah, elegant. Dan saya suka dengan apapun yang elegan. User Interface yang rapi dan terkesan sangat niat dibuat, aplikasi office yang juga sangat rapi dan memudahkan, kamera dengan lensa Carl Zeiss yang cemerlang, dan layar hitam elegan gorilla glass yang memikat. Saya jatuh hati.
Sebenarnya setelah itu saya masih beberapa kali mencoba Experia baik punya teman maupun di toko. Tapi, saya merasa sudah tidak tertarik lagi dengan android. Windows Phone mengalihkan dunia gadget saya. Hehehe…

Lalu saya browsing tentang harga. Lumia 720, bulan April 2013 di harga Rp 3,5juta.  Duh saya baru membudgetkan 2,5juta nih untuk hp baru. Belum rela rasanya menghabiskan uang tabungan hanya untuk beli gadget. Saya terus browsing, berharap bulan Oktober harganya sudah turun *ngarep.com. Sampailah saya ke tabloidpulsa.co.id yang menyebutkan harga hp tersebut Rp1,9juta. WOW. Suami agak sangsi, dia suruh saya browsing lagi, tapi saya keukeuh dan suami pun ngalah untuk percaya karena sumbernya dari web yang terpercaya. Minggu siang, berangkatlah kami ke MTC. 

Taraaaaaaa! Sampai MTC, kami menemukan sebuah fakta menyedihkan. Harga hp-nya masih 3,3juta saudaraaaaa.. Hiks! Rasanya saya seddiiiihhh sekali. Singkat kata kamipun pulang. Di atas motor saya hanya diam. Memaknai sesuatu, “belum rezeki”. Yah, saya ikhlas. Kalau rezeki ga kemana. Kalau ga rezeki ya ga (belum) kemari. 

Masih dengan tatapan sayu, saya iseng menghitung jumlah lampu merah yang kami lewati sepanjang jalan Sudirman-Ratulangi. Yap, di situlah saya bisa menjawab dengan pasti, ada 6 lampu merah! Hehehe…

Alhamdulillah, besoknya (Senin), adaaaaa saja rezeki. Uang saya yang pernah terpakai bulan lalu, yang sudah saya lupakan, direimburse. Jadi saya punya 3,5juta di Senin pagi! Setelah Minggu sorenya saya sedih karena harga hp-nya masih di atas budget. Luar biasa yah? ;) Ga pake nunggu lama, habis maghrib sepulang kantor, saya balik lagi ke MTC. Hehehe.. 

Taaaappiiiii kemarin saya lihat gerai Nokia, lagi diskoooooonnn parah dooooong tuh hp-hp akhir tahun gini… Lumia 720 yang 3 bulan lalu saya beli 3,3 juta, didiskon jadi 2,6 juta. Huwaaaaaa! 

Hahaha, lucu aja sih jadinya. Waktu itu saya punya 2,5-2,6juta tapi belum kebeli, eh alhamdulillah dimampukan oleh Allah untuk beli di harga 3,3. Dan sekarang harganya balik ke 2,6juta. Haha… Bagaimanapun, alhamdulillaah… :D 


Saturday, December 28, 2013

Bertemu Teman Lama Di Tanah Jauh

3:46 PM 0 Comments
Akhir bulan Oktober 2013. Saya perhatikan wajahnya, sepertinya saya pernah kenal.. Siapa ya?

Akhir bulan November 2013. Saya makin yakin sosok di depan saya adalah orang yang saya kenal. Tapi, di Makassar loh ini.. Masa sih? Seperti teman SMP di Bekasi sana. Tapi nama yang tertulis 'Lia'. Belum match dengan ingatan saya. Lia, lia, lia.. Siapa siiiih?

Sampai rumah saya masih berpikir dan menemukan sebuah nama yang mungkin match dengan mba-mba itu: Berliana. Dipanggil Lia. Ya, rasanya saya pernah punya teman bernama Berliana. Berdoa, semoga bulan depan bertemu lagi untuk memastikan.

Akhir Desember 2013, saya ke kantornya lagi. Masih dengan doa agar dilayani oleh orang yang sama. Alhamdulillah terkabul. Dia mengucap salam, memulai transaksi. Lalu saya bertanya,
"Mba Lia, dulu pernah tinggal di Bekasi ga?" Secara mengagetkan dia langsung heboh dan memegang tangan saya, " Iyaaaa Faraaaahh ternyata beneeerrrr!!!" Hahaha.. Ternyata benar dia teman SMP saya! Dan namanya saya baru ingat; Merliana, bukan Berliana. 12 tahun setelah kami sekelas, tiba-tiba garis takdir mempertemukan kami kembali, di kampung orang nan jauh :) Dia baru 4 bulan di Makassar, ikut dinas suami juga. Senasipp. Hehe..

Tau ga, padahal sejak awal kami bertemu di akhir bulan Oktober itu, kami berdua sama-sama mengenakan nametag. Entah bagaimana saya tak pernah melihat namanya di nametag-nya dan entah bagaimana pula menurut Merliana, setiap bertemu, nametag saya selalu terbalik. Hihihihi...

Monday, December 23, 2013

Ikan Kecil Di Kolam Besar (David and Goliath, Malcolm Gladwell)

8:08 PM 0 Comments
16.57 wita. Kriiiiiinngg! "Mba, ke pantry yuk, ada ubi (singkong) sama pisang goreng!" Asik! Hujan dan udara dingin gini memang nikmat sekali makan goreng-gorengan panas 😚 Alhamdulillah. Beres-beres meja, lalu ke pantry menyusul yang lain.

Dari dinding kaca lantai 13, kami dapat melihat dengan jelas ke gedung-gedung di sebelah. Parkiran Bank Sulselbar ramai sejak pagi. Ternyata ada acara beasiswa untuk pelajar SD, untuk anak kelas 1-2 SD, rangking 1-2. Fyi, minggu lalu anak-anak sekolah sudah terima rapor.

Tiba-tiba ada seorang bapak bercerita, anaknya rangking 13. Mirisnya, sebelum terima rapor, sang anak telah sangat optimis bisa jadi rangking 1! Dengan bangganya si anak mewajibkan ayahnya datang untuk mengambil rapornya. Ternyata 13. Anak itu sedih sekali. Prediksinya bukan tidak berdasar; setiap keluar hasil ulangan, iya menunjukkannya dengan bangga, nilainya selalu di atas 80. Tapi ternyata teman-temannya lebih pintar.

Nah. Saat ini, saya sedang membaca buku "David and Goliath"; Malcolm Gladwell. Buku ini membahas mengenai ikan-ikan di kolam-kolam. Mengenai ikan kecil di kolam besar, atau ikan besar di kolam kecil. Kalau Anda jadi ikannya, Anda pilih yang mana?

Kita sedang berbicara tentang konteks; yang membuat ukuran segala sesuatu menjadi relatif. Sekolah-sekolah unggulan selalu merekrut anak-anak dengan prestasi terbaik. Namun dari sekumpulan siswa terbaik, pastinya akan tetap ada siswa yang berada di persentil terbawah. Akan ada 10 murid dengan nilai terendah. Mungkin kita bicara tentang konteks. Bisa saja kita menyebut, tak masalah tidak pintar (menjadi persentil terbawah) selama ada di sekolah terbaik. Sebodoh-bodohnya siswanya, tetap saja pintar. Tak masalah jadi yang terbodoh di Harvard misalnya; tetap saja pintar karena bagaimanapun ia berhasil masuk Harvard. Menjadi ikan kecil di kolam besar. Dan umumnya itulah yang ada di pikiran kita. Sebagaimana dulu saya memilih masuk SMA 1 bukan SMA 2, atau saat memilih UI di pilihan pertama, bukan UNPAD atau UNDIP.

Sayangnya, kita juga harus berbicara tentang kondisi psikologis siswa yang bersangkutan. Bagaimana rasanya menjadi siswa sekolah favorit yang nilainya di bawah rata-rata teman sekelas? Bagaimana rasanya bila setiap hari berada di kelas yang didominasi oleh teman-teman yang lebih pintar? Apakah ia masih akan merasa pintar, karena ia telah diterima menjadi siswa sekolah terbaik? Tentu saja tidak. Kepercayaan diri dan self esteem-nya akan menurun. Dan sedikit banyak akan mempengaruhi hasil belajarnya. Mungkin ini yang terjadi pada anaknya bapak di atas. Mungkin juga ini yang terjadi pada saya *ngeles dari nasib.haha!

Lalu bagaimana dengan ikan besar di kolam kecil? Tentu saja mereka akan lebih nyaman dalam belajar, memiliki self confidence & efficacy yang lebih baik. Tapi kan standard-nya?

Baik, baik. Beberapa penelitian ilmiah yang dimuat dalam buku David & Goliath menjabarkan sebuah fakta menarik. Bahwa setelah dites dengan alat ukur terstandard, nilai 'ikan-ikan besar di kolam kecil' ternyata lebih tinggi daripada 'ikan-ikan kecil di kolam besar'. Fakta lain yang cukup mengenaskan adalah, 'para ikan kecil di kolam besar' memiliki lebih besar kemungkinan untuk putus asa, frustrasi, dan/atau memutuskan untuk keluar dari kolam besar itu, alias dari sekolah unggulan tersebut. Kasihan.

Lantas bagaimana?

Yaaa sebaiknya kita tidak memaksakan kemampuan yang standard untuk masuk dalam kelompok orang-orang dengan kemampuan di atas rata-rata. Kecuali kemampuan standard kita dilengkapi juga dengan kekuatan hati untuk fight dan berusaha sebaik-baiknya, apapun yang terjadi. Kalau kita merasa tidak cukup tough dalam menghadapi rintangan, lebih baik jadi ikan besar di kolam kecil saja. Hasilnya cenderung lebih baik dan optimal :)

Sunday, December 15, 2013

Populer Itu Penting

7:20 PM 0 Comments
Akhir-akhir ini ada hal sangat positif yang sedang berkembang di masyarakat, namanya ODOJ (One Day One Juz). Dalam waktu beberapa pekan saja, jumlah membernya sudah mencapai 25ribu lebih, yang tergabung dalam 800 group lebih. Luar biasa ya?

Program ini bertujuan untuk membiasakan masyarakat untuk dekat dan sering-sering berinteraksi dengan AlQuran. Melalui group whatsapp, sesama member saling menyemangati dan melapor setiap hari apakah sudah selesai jatah juz-nya hari itu. Satu group beranggotakan 30 orang, masing-masing 1 juz sehari, berarti setiap hari setiap group mengkhatamkan AlQuran 1x.

Jujur, sebelumnya saya sendiri masih berat menyelesaikan 1 juz sehari. Saat teman-teman mulai ramai menjadi member, saya belum tergerak. Saya pikir, mereka kan memang orang-orang yang sudah terbiasa baca 1juz sehari, orang-orang soleh-soleha, para aktivis dan aktebel. Orang-orang yang jauh lebih baik dari saya lah pokoknya.

Tapi saya mulai perhatikan, ternyata banyak banget ya, 'orang-orang' di atas tadi. Terus di sebuah group whatsapp, ada teman menshare tentang ODOJ. Isinya menyebutkan salah satunya tentang beberapa artis yang ikut berODOJ. Sebut saja Teuku Wisnu, Baim Wong, dan Tommy Kurniawan.

Eh, serius? Jujur saja saya merasa tertohok dengan berita itu. Saya terharu. Bisa sekali mereka istiqomah tilawah 1juz sehari padahal jadwal mereka kabarnya padat sekali. Okelah kalau kepadatan jadwal itu relatif, tapi dengan 'lingkungan' sehari-hari mereka yang sungguh banyak sekali godaan pada iman, buat saya itu luar biasa.

Baiklah, mereka saja bisa, masa' saya tidak? Lingkungan saya relatif baik dan jauh lebih sedikit godaannya. Bismillaah. Dan percaya atau tidak, membawa nama artis-artis di atas, jadi mudah sekali mengajak teman-teman lain untuk ikutan ODOJ. Mantep.

Nampaknya hampir semua sepakat kalau dibilang, lebih besar dampaknya ketika seorang yang terkenal/populer mencontohkan sebuah kebaikan. Lebih mudah mengajak orang lain untuk ikut serta. Wih, coba ya, para pejabat, pemimpin, publik figur, juga pada baik, luas sekali dampak kebaikannya buat umat.

Sekarang, kalau melihat secara bottom-up, saya jadi berpikir bahwa populer itu penting. Terus?
Hehehe, saya tidak menghimbau semua orang baik untuk jadi artis kok, hihihi.. Hanya saja, mungkin sebaiknya kita mulai meluaskan pergaulan kita, lalu berusaha memberikan kontribusi positif sebanyak-banyaknya. Mudah-mudahan keberadaan kita lebih berefek. Berpengaruh yang baik. :)

Tuesday, December 10, 2013

PNS Pak Supir

6:54 PM 0 Comments

Suatu malam, pukul 19.45 wita kurang lebih, saya naik pete-pete (angkot) sepulang liqo. Awalnya ada beberapa orang selain saya, dan supir pun menyetel musik cukup keras. Setelah melewati pasar pabaeng-baeng, tinggallah saya sendiri di petpet itu.

Saya duduk di belakang supir. Tak lama, musik dimatikan. Lalu pak supir memulai pembicaraan. Via spion. Awalnya dia bertanya saya turun dimana. Saya turun di jalan abdul kadir, di mana di sana terdapat kampus UIT (Universitas Indonesia Timur). Dia bertanya apakah saya kuliah di sana. Saya jawab tidak, saya tinggal di sana dan sekarang saya sudah bekerja (sudah lulus). Basa-basi, dia bilang mengira saya masih kuliah (maklum tampang saya selalu abg,hehe). Lalu dia bertanya lagi di mana saya kuliah, di mana saya bekerja, kenapa tidak mencari kerja di Jakarta, dan dengan siapa saya di Makassar.

Sampailah pada intinya, dia bertanya, kenapa tidak melamar PNS? Katanya sayang sekali ijazah S1 saya kalau tidak jadi PNS. Saya bilang, saya memang  belum ingin jadi PNS. Diskusi berlanjut. Ketika saya kemukakan wacana untuk jadi wiraswasta, dia semakin menyayangkan. Wiraswasta tidak perlu ijazah S1. Ya, memang. Pun kalau yang didapat dari sarjana adalah ilmunya, bukan sekedar selembar ijazah, dia masih belum 'terima' alasan saya kenapa tidak melamar PNS.
Sampai saya wacanakan hal yang saya harap lebih mengena padanya: mana lebih kaya, PNS atau pengusaha? Eh amazing loh menurut saya, dia tidak terpengaruh. Memang sih dia sempat mengiyakan, tapi masih 'gak rela'. Dia berpatokan pada neneknya yang pensiunan PNS dan masih dapat gaji (pensiunan) sampai sekarang walaupun cucunya sudah sebesar dia. Hihihi...

Yah, diskusi berlanjut alot tapi lucu. Muter-muter, ngulang-ngulang. Yang terjadi sebenarnya adalah saling mempengaruhi: dia ingin mengubah pikiran saya agar mau daftar PNS, dan saya mempengaruhinya untuk memulai usaha sendiri meski kecil-kecilan dulu. Tapi satu hal yang unik yang saya garis bawahi dari supir muda nan kocak dan lugu ini bukan tentang keinginannya yang sangat kuat untuk jadi PNS dan dapat gaji seumur hidup. Melainkan, yang saya tangkap adalah keinginannya untuk sekolah tinggi. Saya tidak bertanya dia pernah sekolah sampai tingkat apa, namun jelas sekali dia sangat ingin sekolah.

Terlepas dari manakah yang lebih ingin dia dapatkan, ilmu yang didapat dari sekolah ataukah ijazah setelah lulusnya, saya cukup apresiasi. Paling tidak di tengah kehidupannya yang tidak berlebih, dia termasuk salah satu pemuda yang mau berpikir. Tidak pragmatis demi mendapatkan kenyamanan hidup. Meski sederhana, dia  berpikir akan proses. Dan segenggam rasa iri tentang pendidikan, buat saya malam itu, cukup mengharukan dan membuat saya bersyukur sepenuh perasaan.

Sunday, December 8, 2013

Dunia Arisan

5:17 PM 5 Comments

Arisan, buat saya sejak kecil, sangat identik dengan dunia ibu-ibu. Ternyata tidak juga. Walaupun kebanyakan memang pesertanya ibu-ibu, dan bisa dibilang hampir tidak ada ibu-ibu yang tidak ikut arisan. Di lingkungan rumah dengan tetangga, di kantor, di perkumpulan istri karyawan di kantor suami, di PKK, maupun di lingkungan peer atau ngobrol atau berkumpulnya ibu-ibu; arisan selalu digagas. Dan hebatnya, dijalankan.

Memang tidak hanya ibu-ibu yang ikut arisan. Bapak-bapak maupun cowok-cowok single di kantor juga boleh ikut. Tapi berhubung sekarang saya sudah masuk itungan ibu-ibu, jumlah kelompok arisan yang menghampiri pun semakin b.a.n.y.a.k. Entahlah, mungkin dunia ibu-ibu memang identik dengan ngumpul, ngobrol, dan, arisan.

Awalnya saya malas sekali ikut arisan. Kalau ada acara rutin hayuklah saya ikut, tapi ga usah ikut arisannya. Bertahan 2bulan saja, setelah semua orang bertanya kenapa tidak ikut. Heran, artinya ikut arisan adalah sebuah kelaziman dan tidak ikut arisan adalah sebuah keanehan. Pada akhirnya saya ikut arisan itu, dengan 'syarat': tapi saya dapatnya terakhir ya... Deal.

Yup, karena buat saya, menikmati uang arisan sebelum akhir periode itu adalah sama dengan dihutangi. Kurang nyaman buat saya. Mungkin yang ada kalau itu terjadi, uang arisan itu saya simpan untuk saya keluarkan lagi setiap bulannya untuk bayar kewajiban (ga asik banget lo far,hahaha). Lain halnya kalau dapat terakhir, sama saja dengan menabung. Karena sungguh, saya merasakan sekali, bahwa menabung itu harus dipaksa, alias ditagih. Oleh orang lain, autodebet rekening, maupun yang tersulit; diri sendiri.

Mungkin dapat dikatakan arisan adalah sebuah budaya khas Indonesia. Wa bil khusus, khas ibu-ibu Indonesia. Mantap. Hehehe..

Sebenarnya dulu, saya pernah membaca tentang syubhatnya arisan. Maksudnya hukum uang yang diperoleh dari arisan itu tidak jelas, karena sistemnya pun belum jelas halal atau haram atau mubah (boleh)-nya. Saking dulunya, saya sampai lupa baca di mana. Tapi barusan ini saya browsing lagi, hukumnya alhamdulillah mubah, selama berjalannya adil dan tidak ada pihak yang dirugikan 😊 selain itu selama tidak diiringi dengan hal-hal yang dilarang, seperti judi, umbar aurat, dan ghibah (istighfar). Arisan juga mengandung sifat tolong-menolong dan silaturrahim sesama anggotanya. Sumbernya bisa dibaca di sini atau disini atau disini.

Jadi totalnya dalam satu tahun berjalan ini, saya telah terdaftar dalam 3 kelompok arisan, dimana satu kelompok saya sudah dapat karena telah hampir berakhir. Hehehe.. Ya, bagaimanapun juga harus diakui, saya sudah ibu-ibu pemirsah... Hihihi...

Sunday, December 1, 2013

Suara Senyuman

4:54 PM 0 Comments

Jujur saja, saya ini masih sering seperti anak kecil. Masih hobi ngambek. Hehehe… Apalagi kalau udah janjian sama suami terus tiba-tiba batal gara-gara dia ada agenda mendadak dan mendesak. Biasanya bikin janji makan siang bareng atau pulang bareng, terus ga jadi tiba-tiba. Ugh.

Walaupun via telfon, kerasa kan yah kalau orang yang sedang bicara di seberang sana sedang tidak enak hati. Apalagi kalau sampai bibirnya manyun, hihihi, pasti kerasa dan sangat dapat diprediksi. Maka itu, selalu sebelum telepon pemberi kabar batal ditutup, suami saya selalu minta, “Senyum dulu dong…”. Karena dia tau saya pasti lagi manyun. Meski seringkali harus dirayu beberapa kali dulu, entah bagaimana akhirnya saya selalu mulai mesem lalu tersenyum. Tinggal bilang, “Udah”, sambil malu-malu imut lalu selanjutnya..sensor. haha, telfon doang inih… Pun obrolan-obrolan kami via chatting, berlaku hal yang sama. Padahal hanya melalui tulisan, bukan objek yang terlihat atau terdengar. Tapi terasa.

Kami baik-baik kembali dan alhamdulillah hati lebih lapang. Suami juga lega karena istrinya sudah nyaman dan ga manyun lagi, jadi yakin kalau langkahnya telah disertai oleh doa istri. Hhhmmmm hhhmmmmm… saya jadi pengen nyengir :D

Melihat senyum dapat melegakan hati yang sempit dan pikiran yang mumet. Namun ketika tak terlihat, senyum pun dapat terdengar. Untuk selanjutnya dapat terasa =)