Follow Us @farahzu

Monday, January 18, 2010

The Tipping Point

8:53 AM 4 Comments
malcolm gladwell


Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Malcolm Gladwell
Malcolm Gladwell, penulis buku ini, telah menulis 2 buah buku international bestseller lainnya; Blink dan Outliers. Gagasan-gagasan yang dikandung buku ini, ditambah dengan banyaknya referensi ilmiah yang diramu penulisnya hingga nyaman dipahami oleh orang awam, menjadi daya tariknya yang sangat memikat dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial.

Tipping point adalah sebuah titik puncak terjadinya sebuah fenomena, atau saat terjadinya suatu epidemi. Sesuai dengan judul kecilnya, “Bagaimana hal-hal kecil berhasil membuat perubahan besar”, buku ini banyak bercerita mengenai fenomena epidemi yang seringkali mengejutkan dan tampak misterius. Bahwa pada suatu dekade tertentu, secara sangat tiba-tiba angka kejahatan di New York bertambah drastis, tanpa dapat diprediksi dan dijelaskan oleh para pakar ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan disiplin ilmu lainnya. Dan bagaimana secara sangat tiba-tiba pula pada suatu titik setelah mengalami tipping, angka kriminalitas di kota itu menurun kembali, secara drastis pula. Belakangan diketahui hal ini sangat dipengaruhi oleh program pembersihan coret-coretan grafiti pada dinding kereta-kereta bawah tanah di kota itu. Penasaran, apa hubungaannya??

Masih ada lagi. Awal terjadinya revolusi Amerika, tingginya angka bunuh diri pada remaja-remaja di Mikronesia pada 1 dekade tertentu, bagaimana Sesame Street dan Blues Clues menjadi sangat sukses sebagai tayangan pendidikan untuk anak, atau mengapa kampanye anti-rokok yang telah ada selama ini tidak mengakibatkan penurunan jumlah perokok dan bagaimana menemukan strateginya yang tepat, dan epidemi-epidemi lainnya yang ternyata banyak hal-hal menakjubkan dibaliknya dibahas di dalam buku ini.

Setelah itu, saya jadi berpikir, buku ini sangat bagus untuk dibaca dan dimiliki oleh para tim kampanye. Apapun. Apalagi buat tim kampanye da’wah, a.k.a. da’i maksud saya.

Selesai juga,
14 Januari 2010

Baca Juga: Kepantasan

Sumber gambar: https://www.pinterest.de/pin/331718328784134104/

cerita pengamen

8:47 AM 10 Comments
Pengamen Profesional

         Mungkin ada yang telah membaca status saya di facebook beberapa hari lalu, mengenai pengamen. Pengamen yang saya ceritakan di status itu sering saya jumpai di bis jurusan Bekasi (Barat)-Kp. Rambutan via tol CIkunir pagi hari. Membawa gitar, dan harmonika yang dengan suatu alat dapat tersampir di bahunya. Suaranya pas-pasan menurut saya, tapi ketepatan nadanya bagus banget! Kerasa seninya. Diam-diam aku menikmati.. dan selalu mematikan mp3 ketika ia mulai beraksi. Ketika ia selesai “manggung ” dan menyebarkan kantong uang, ia selalu menyertakan kata-kata, “ya, bagi anda yang masih memiliki jiwa seni dan sosialnya…” untuk ngasih gitu… Tampaknya ia sadar bahwa performance-nya juga bernilai seni. Heheh..

        Ada lagi. Yang ini jauh lebih dulu aku temui, rutin manggung di bis yang sama, tapi arah Bekasi dan sore hari. Tidak seorang diri, melainkan sekelompok. Yang ini mangkal di jalan baru Pasar Rebo, setia menemani penantian ngetem si abang supir dengan lagu-lagu anyar selama lebih dari 4 tahun. Aku yang jarang nonton TV jadi terbantu untuk tetap tau lagu apa saja yang sedang in. Lumayan, buat gaul. Hehe..

        Dalam kelompok mereka, ada gitaris dan vokalis, pemain biola, gendang, dan,, apalagi ya? Rame deh. Setiap manggung biasanya 4 orang. Saya tuh ingin sekali bisa main biola, tapi belum kesampaian, jadilah saya sudah sangat senang bila melihat orang bermain biola, memperhatikannya, dan berpikir, “kapan nih aku bisa belajar biola??”. Beberapa kali si pengamen yang main biola memergoki saya sedang memperhatikan permainan biolanya. Sekali lagi, permainan biolanya. Bukan orangnya. Sungguh. Tapi yang terjadi adalah, dia geer, merasa diperhatiin, dan jadi senyum-senyum sambil ngeliatin saya. Duh. Males deh jadinya…

        Nah, yang paling menarik dan membuat saya sangat senang dengan kelompok pengamen ini adalah ketika suatu saat saya menyadari bahwa posisi orang dan alat musik yang dimainkan tidak selalu sama. Bergilir. Misalnya hari ini si A main gitar mencakup vokalis, si B main gendang, si C gitar juga, dan si D biola. Besoknya, si A main gendang, si B gitar, si C biola, dan si D gitar dan vokal. Dan seterusnya, bergilir. Waow! Saya sangat takjub akan hal ini. Jadi semua anggota bisa main di posisi apa saja.

         Selain memang mereka mengamen dengan sepenuh hati ingin menghibur, iklim pembelajarannya sangat kental. Saya suka. (*Maksud??)

         Kedua pengamen di atas, dan mungkin ada juga pengamen-pengamen lain, benar-benar membuat saya menghargai mereka. Hidup di jalan dan mengangsurkan kantong permen untuk menerima uang bukanlah mengharapkan belas kasihan orang lain, seperti minta-minta yang terselubung dengan cuap-cuap asal. Mereka benar-benar berusaha untuk menghibur pendengarnya. Leher mereka berkeringat-bercucuran dan uratnya pun nampak ketika bernyanyi. Uang-uang yang akhirnya mengalir ke kantong mereka pun saya yakin, merupakan apresiasi orang-orang atas usahanya menghibur mereka. Bukan karena kasihan. Salut. Padahal yang tidak bersusah payah agar penampilan mereka bagus pun, tetap mendapat uang dari orang-orang yang kasihan. Tapi mereka tidak.

          Mereka memilih untuk jadi terhormat, meskipun mereka pengamen jalanan.
Bagi saya, mereka pengamen profesional.

Semakin sering naik bis,
14 Januari 2010

Wednesday, January 13, 2010

tentang sebaik-baik perempuan

9:02 AM 36 Comments
Akhir-akhir ini di Fakultas Psikologi UI sedang “musim kawin”. Seingat saya, dulu, sangat jarang senior saya yang menikah segera setelah lulus. Apalagi sebelum lulus. Hampir tidak ada. Tapi ini seingat saya… Sekarang,, jangan tanya deh. Belum lulus saja sudah pada nikah. Begitu melonjaknya menurut saya, namun tidak ada faktor tertentu yang membuat fenomena ini menjadi meningkat sedemikian tajam (*lebay) dan berada di tipping point (prikitiuw! Baru baca bukunya nih!).
Seiring dengan itu, saya yang sedang menyelesaikan skripsi dan mencari “teori” tentang peran dan kewajiban suami dalam rumah tangga, mendapat ide untuk menulis ini. Karena belum sempat mencari di perpustakaan fakultas mengenai teori tersebut yang menurut psikologi, saya “iseng” mencari di kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, jilid 3, mengenai pernikahan dan seterusnya. Lalu saya menemukan dalil berikut,
     Dari A`isyah r.a., Nabi saw. bersabda,
“Sesungguhnya, perkawinan yang besar keberkahannya adalah yang paling murah maharnya.” Sabda beliau juga, “Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan urusan perkawinannya, dan baik akhlaqnya. Adapun perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, menyusahkan perkawinannya, dan buruk akhlaqnya.”
Paragraf selanjutnya menjelaskan mengenai hadits ini. Mahar yang mahal dan pernikahan yang dipersulit akan memberatkan pihak pria (terutama) untuk melangsungkan pernikahan, sehingga dapat berakibat si pria takut dan menunda-nunda keinginannya untuk menikah. Keinginan yang tertunda ini biasanya dialihkan pada hubungan-hubungan lain di luar nikah yang tidak halal. Nah, hal inilah yang dapat mendatangkan mudharat lebih besar, bahkan hingga (na’udzubillah) perzinaan.
            Kenyataannya kini, tidak sedikit perempuan dan orang tua perempuan yang masih menginginkan jumlah mahar yang besar. Alasannya adalah karena mahar itu merupakan cerminan harga diri seorang perempuan. Sekali lagi, mahar adalah sebuah nilai/nominal yang mencerminkan keberhargaan seorang perempuan (menurut mereka). Jadi kalau sedikit, yang mereka pikirkan adalah, “Murah amat (anak) gue cuma dihargai segitu”.
            Mengenai mahar itu pemberian suami kepada istri ketika menikahi dan seluruhnya menjadi hak istri, itu memang benar. Bila besarannya ditentukan oleh pihak perempuan (istri) yang selanjutnya disepakati bersama, itu juga dibenarkan. Tapi kalau mahar itu disamakan dengan harga beli istri? Saya sih, sehalus apapun bahasanya dari harga beli itu, inginnya kok mengucap, na’udzubillah, ya? Apakah mahar yang sedikit mencerminkan bahwa si istri tidak terlalu berharga? Apalagi ketika istri menerima dengan segenap kerelaannya mahar yang sedikit itu, apakah itu berarti dia menghargai dirinya dengan rendah pula?
            Menurut saya justru sebaliknya. Mahar yang murah, mencerminkan kerelaan istri atas pemberian suaminya. PembeRian. Bukan pembeLian. Karena sejatinya si istri terlalu mahal untuk bisa dibeli, walaupun oleh suaminya sendiri. Si istri sejatinya hanya layak dibeli oleh Allah, Rabb-nya. Dan sang suami tak akan pernah sanggup membelinya, meskipun dengan mahar semahal apapun.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka, dengan memberikan syurga untuk mereka” (QS: At-Taubah: 111)
            Maka apabila diri dan harta telah dijual hanya kepada Allah dengan syurga (syurga men! mau apa lagi??!), kedudukan suami dan istri sejajar dalam rumah tangga, karena tidak ada akad yang menyatakan bahwa suami membeli istri dan istri telah dibeli oleh suaminya sendiri. Suami, hanya memimpin. Bukan memiliki.
Wallahu a’lam.
Kalau sedang buntu atau malas
mengerjakan skripsi, cara membuatku
“ON” lagi adalah,
Menulis. Tentang apapun.
9 Januari, 2009

Monday, January 4, 2010

Bincang-bincang Tentang Malaysia; How I Proud to be Indonesian

1:03 PM 23 Comments
         Beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa Universiti Malaya asal Riau, Indonesia, datang berkunjung ke ruang BEM UI. Saat itu sedang sepi, hanya ada beberapa orang staf, kepanitiaan, dan beberapa BPH (saya, Budi, dan Input). Awalnya saya agak cuek karena ada yang harus saya selesaikan. Budi-lah yang menemaninya mengobrol dan berbincang. Lepas ashar, shalat berjamaah di ruang BEM yang itu-itu juga, Budi masih menemani teman kita itu berdiskusi mengenai dunia kemahasiswaan dan pergerakannya di Indonesia, lalu membandingkannya dengan di negara tempat ia menuntut ilmu sekarang, Malaysia.
            Menit demi menit berlalu, staf-stafnya Budi mulai ramai berdatangan karena mereka sebentar lagi akan rapat. Dengan halusnya Budi berusaha mengalihkan dengan memanggil saya dan Input, “Eh, BPH, Kak, kenalin nih, ada teman kita dari Malaysia…” kurang lebih seperti itu. Saya yang sebelumnya memang agak cuek sambil nunggu dipanggil (halah), dan Input yang juga sedang tidak ada kerjaan ‘detik itu’, menghampiri, menyapa, dan memperkenalkan diri. Karena sepertinya Input juga mau rapat dan tidak ada bahan perbincangan, akhirnya saya berinisiatif untuk mulai bertanya. Awalnya saya menanyakan dan mengapresiasi kampanye Batik Punya Indonesia (bukan nama sebenarnya) yang mereka lakukan di sana 3 Oktober lalu. Kemudian saya juga menanyakan apakah dia mengenal sahabat kecil saya yang berkuliah di Universiti Utara Malaysia, karena sangat mungkin mereka sama-sama tergabung dalam PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Malaysia.
            Lambat laun cerita mengalir dan ia banyak bercerita. Katanya, di Malaysia sana, semua rakyat itu tunduk dan patuh pada otoritas pemerintah yang berkuasa. Menelan semuanya bulat-bulat (kebijakan, informasi, dll). Tak peduli pada sumber lain. Aman. Yang namanya mahasiswa itu, boro-boro deh ikut aksi demonstrasi. Penjara, Men! Apalagi mahasiswa internasional (termasuk Indonesia), kalau sekali saja ketahuan ikut aksi demonstrasi, kalau tidak penjara, langsung deportasi! Ckckckck,, kasihan, mereka sangat iri pada dinamisnya dunia kemahasiswaan kita yang bebas, dinamis, dan demokratis.
Saya juga men-share apa yang pernah saya baca dari catatan perjalanannya Gola Gong tentang Malaysia dan menanyakan pendapatnya (meminta persetujuannya atau paling tidak penjelasan lah). Gola Gong bilang, dia tidak menemukan adanya ‘gairah’ pada penduduk Malaysia–bahkan para pemuda dan pemudinya. Tau apa reaksi teman kita itu? Dia sangat senang saya mengetahui hal itu –seolah-olah saya bisa memahami ‘kesedihannya’ yang tidak dapat dipahami oleh manusia seplanet bumi. Lalu dengan bersemangat ia mulai menjelaskan,
“Orang Malaysia itu, datar. Bicara dengan orang tua dan bicara dengan teman, sama saja! Kalau kita kan, dengan teman kita bisa lepas, santai, sedangkan dengan orang tua kita biasanya lebih sopan, halus… mereka nggak, mereka sama aja pada semua umur, sama kakunya. Senior saya di sana pernah bilang, bila ada 2 orang; 1 orang Indonesia dan 1 lagi orang Malaysia, meski wajah mereka mirip, dia tetap bisa membedakan mana yang Indonesia dan mana yang Malaysia. Orang Indonesia tuh, gimana ya, lebih lepas gitu. Kalau mereka kayak agak-agak tertekan gimana gitu… Meskipun orang Malaysia tertawa sampai ngakak (terbahak-bahak), tetap saja tawa mereka itu seperti tidak lepas…”
Waow. Kurang lebih seperti itu penjelasannya. Ternyata sejalan dengan yang diceritakan Gola Gong. Jadi kalau menurut saya, secara psikologis kita sebenarnya (seharusnya) lebih sehat daripada orang Malaysia… kita terbiasa terbuka, mengemukakan pendapat dan keinginan, hidup tanpa tekanan otoritas (meski raga kadang terkungkung masalah hidup, namun batin kita bebas merdeka). Orang miskin kita pun masih bisa bahagia –kalau dia mau.
            Lagi. Lagi. Sekarang tentang pendidikannya. Entah sistemnya atau budayanya atau apanya, yang jelas menurut ceritanya, pelajar Malaysia itu sangat pasif di kelas. Jangankan berdiskusi, mereka bahkan tidak pernah bertanya. Menurut mereka, “banyak bertanya = bodoh”. Bila ada yang tidak mereka pahami tentang suatu pelajaran, mereka menemui dosen terkait di ruangannya untuk meminta penjelasan lebih banyak, atau di manapun, yang penting tidak di kelas dan, privat. Kesimpulannya menurut teman kita ini,
“jadi mereka pintarnya sendiri saja, tidak bagi-bagi. Kalau kita (mahasiswa internasional) kan kalau punya ilmu dibagi-bagi, senang berdiskusi, banyak bertanya, kritis,,, kalau mereka tidak… maka itu kami lebih senang bergaulnya dengan anak-anak internasional juga di sana
Seperti ‘kita dahulu’, tapi ini realitas ‘mereka sekarang’. Seperti kurikulum zaman guru SD saya sekolah: DDCH. Duduk, Dengar, Catat, Hafal. Kalau kata cerita beliau, itu peninggalan penjajah; kita terbiasa hidup terjajah.. Tahukah, bahwa banyak orang yang bilang,
“orang-orang kita mah ga pada pinter-pinter, ga dibiasain kritis seperti orang-orang luar,”
pasti yang mereka maksud barat. Hey, lihat tuh, di Jiran situ, anak-anak Indonesia termasuk sangat aktif!! Nah. Satu yang menggelitik saya setelah itu,
“Dulu kan mereka (Malaysia) belajar pada kita, dan sekarang kita yang banyak belajar ke mereka. Sebenarnya, apa sih yang membuat pendidikan mereka lebih maju daripada kita???”
Menunggu dikau pulang,
Rumah, 27 Desember 2009