Follow Us @farahzu

Wednesday, December 29, 2010

Manfaat; Nilai Di Balik Kemakmuran

2:43 PM 11 Comments
     Sedang ingat dulu waktu mahasiswa (ehm); waktu membuat visi, misi, atau tagline buat kampanye, project, maupun lembaga. Seingat yang saya pernah terlibat, hampir semuanya diilhami oleh sebuah hadits yang sudah cukup populer,
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”
(HR Bukhari-Muslim)
Itu, wajar lah ya, namanya juga mahasiswa: sukarela, memang untuk belajar, memang untuk berkontribusi, memberi manfaat. Tidak berorientasi pada profit.
     Selanjutnya, setelah lulus dan mulai membaca beberapa profil perusahaan, saya sangat tertarik dalam mencermati visi, misi, dan nilai-nilai yang melandasinya. Ternyata kebanyakan perusahaan bukan bertujuan profit material semata lhoh. Seolah menemukan benang merah, saya menyimpulkan bahwa ternyata perusahaan-perusahaan besar itu memiliki visi untuk memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
     Baiklah kita ambil contoh Panasonic (ideas for life). Mereka didasari oleh misi sebagai berikut:
Panasonic generates ideas for life… today and tomorrow. Through innovative thinking, we are commited to enriching people’s live around the world. (http://panasonic.co.id/web/tentangpanasonic/panasonicideasforlife)
      Atau Starbucks dengan misinya menyuguhkan secangkir kopi hebat kepada dunia. Bagi sang CEO, prinsip membangun sebuah perusahaan dengan jiwa sangat melekat dalam hati dan pikirannya. Prinsip ini yang membuat Howard Schultz, CEO Starbucks saat itu, sangat memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Setiap pegawai, tetap maupun tidak tetap, berhak mendapat tanggungan kesehatan komprehensif, termasuk pasangannya.
      Terhadap petani yang meningkatkan standar kualitas, kepedulian lingkungan, sosial dan ekonomi, Starbucks menghadiahinya status ‘pemasok pilihan’ dan membayar kopinya dengan harga tertinggi. Dampaknya, petani Kolombia lebih suka menanam kopi daripada koka (bahan kokain yang merusak masyarakat). (sumber: Spiritual Company, Ary Ginanjar Agustian). Ckck.. mantap ya..?
     Jadi, tujuannya bukan untuk menjadi perusahaan yang terunggul atau menjadi yang terbesar… mungkin ambisi untuk itu ada, tapi tetap landasan utamanya adalah untuk ‘memberi’, bukan ‘menjadi’. Visi manfaat itulah yang mendorong inovasi terus-menerus sehingga perusahaan itu berkembang pesat. Lalu dipercaya oleh publik. Akhirnya trust juga yang membuat konsumen dan masyarakat jadi loyal.
     Visi manfaat itu juga yang mungkin mendorong para pegawainya untuk semangat bekerja: karena mereka menemukan makna dari pekerjaan mereka, bukan sebatas penggugur kewajiban. Visi manfaat adalah hal utama yang membuat perusahaan terus berkembang. Menjadi perusahaan terbesar? Itu hanya efek samping yang akan mengikuti dengan pasti. ^_^
    Dalam lingkup pribadi, menyitir kata-katanya Oki Setiana Dewi, ia menjadi lebih bermakna ketika mengubah prinsip hidupnya; dari menjadi yang terbaik, jadi 
melakukan yang terbaik
Menjadi yang terbaik, ia akan melakukan apa saja, termasuk bersaing ketat dan bisa saja saling 'senggol' dengan orang lain alih-alih saling membahu menghasilkan yang terbaik. Tapi melakukan yang terbaik, ia sama akan mengerahkan usaha terbaiknya, selain itu, ia juga dapat bersinergi dengan orang lain.
    Memang lebih meniadakan ke’aku’an, tapi akan lebih bernilai di mata Allah. Insya Allah.
Setiap perbuatan baik adalah sedekah (HR Bukhari, no.6021)

Inspired by:
Tim PSAU BBM (Bersama Beri Manfaat)
BEM UI 2009 (BEM Kita, Bergerak Bersama, Bermanfaat Bagi Semua)
Spiritual Company; Kecerdasan Spiritual Pembawa Sukses Kampiun Bisnis Dunia (Ary Ginanjar Agustian)

Wednesday, December 22, 2010

Keluarga dakwah; berurat-berakar

8:40 PM 13 Comments

Rasulullah saw pernah bersabda,
“Sebaik-baik sahabat adalah, orang yang bila engkau melihatnya, menjadikanmu mengingat Allah” (Alhadits)
Barang siapa yang ingin dimudahkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia bersilaturrahim” (Muttafaqun ‘alaih)
        Nah. Saya punya cerita tentang sebuah keluarga. Keluarga sepupu saya, dengan abi, ummi, dan 4 orang anak (2 laki-laki, 2 perempuan). Beberapa kali (cukup sering) saya mengunjungi keluarga ini: mampir, sengaja berkunjung, atau menginap. Beberapa kali itu pula saya menemukan SPBI (stasiun pengisian bahan bakar iman), dan biasanya tepat ketika iman sedang turun. Akan saya ceritakan 2 saja.
        Saya menyetujui benar-benar, bahwa tombo ati yang paling mudah adalah berkumpul dengan orang-orang soleh. Suatu sore, saya datang ke rumah keluarga itu, menemani anak-anak bermain dan belajar. Menginap. Pagi-pagi sekali, sebelum subuh, sepupu saya dan suaminya sudah bangun dan ‘mulai sibuk’. Ba’da subuh, barulah saya ikut nimbrung di dapur, membuat sarapan.
       Sayup terdengar dari dapur, dari dalam kamar yang mana entah, keponakanku yang waktu itu baru kelas 4 SD kalau tidak salah, sedang murajaah hafalan quran bersama abinya. Sang ummi yang bersamaku di dapur ikut melantunkan bacaan surat itu. Sedihnya, hanya aku yang diam; bukan cuma tidak hafal, bahkan aku tidak tau mereka sedang membaca surat apa… hiks.. kalah sama bocah...
        Akupun kembali dengan tekad menyala… \(^o^)/
      Contoh kedua belum lama ini terjadi. Aku datang tidak untuk menginap. Ketika ummi dan abinya sedang menerima tamu, aku agak terpana melihat keponakanku yang berusia 5 tahun sudah lancar menyalakan komputer dan menyetel VCD, tanpa bertanya sedikitpun. Lalu menonton dan ikut berbicara (doi hafal dialognya bo). Ckckck…
      Filmnya tentang kisah raja Thalut, nabi Daud as, dan Jalut. Aku duduk di sampingnya, ikut menonton. Alih-alih menjelaskan atau membimbing anak itu, aku malah asik sendiri dengan kisah itu; tentang keimanan yang sempurna, kekuatan tekad, dan keyakinan penuh pada Allah sehingga mampu mengalahkan musuh.
Terutama tentang mujahidun li nafsihi. Memerangi hawa nafsu sendiri.
     Beuh. Benar-benar merasa tertampar telak. 2-0. Belum termasuk yang tidak ikut saya ceritakan.
     Mungkin mereka (apalagi anak 5 tahun itu) tidak sadar, bahwa yang biasa tampak dari mereka sudah mampu membuat orang ingin bertaubat. Mungkin juga mereka tidak bermaksud untuk memberi contoh atau ‘tamparan’ buatku, tapi hanya dengan melihat mereka saja, rasanya aku benar-benar faqir…
Allaahu akbar
Ga anak, ga orang tua, sama aja:
Da'i

Baca Juga: Lo Harus Tetap PIntar

Tuesday, December 14, 2010

ruang-ruang hati

8:21 PM 8 Comments
Tadi saya naik bis. Ketemu orang yang mirip banget sama Mas Pur. Mas Pur itu karyawan di fakultas saya, dulu sempat kerja bareng, waktu beliau masih jadi staf kemahasiswaan fakultas dan saya di Dept. Kemahasiswaan bem fakultas. Kami pernah jadi single fighter di waktu yang bersamaan, mengurus hal yang sama, urgen pula. Akhirnya jadilah kami merasa sehati waktu itu, merasa teraniaya. *lebay.
Hingga karena satu dan lain hal, beliau dipindahkan ke bagian humas fakultas. Aku dan terutama deputiku, sedih pisan menerima kenyataan bahwa bukan beliau lagi yang menjadi partner kami membantu mahasiswa. Setiap papasan, kami jadi melankolis dan, mungkin lebay, berkaca-kaca.
Di kemahasiswaan, Mas Pur digantikan oleh Pak Lili. Kalau aku sedih Mas Pur dipindah, beliau selalu bilang, ‘Pak Lili juga baik kok’. Aku tahu Pak Lili baik, tapi kan Pak Lili bukan Mas Pur (bocah banget deh mikirnya).
Nah. Setelah itu, aku magang di mahalum (kemahasiswaan dan hubungan alumni) psikologi. Kerja bareng langsung sama Pak Lili selama hampir 1 tahun. Ya, Pak Lili memang bukan Mas Pur, tapi aku bersyukur pernah mengenal dan bekerja dengan beliau. Seperti dengan Mas Pur.
***
Dulu waktu SMA, aku punya mentor. Mentor pertama yang bertahan setelah beberapa mentor sebelumnya bingung karena sistem yang belum rapi. Beliau lembuuuttt sekali. Cantik dan baik hati. Tidak pernah marah. Hingga suatu saat, ia harus digantikan karena jadwal kuliahnya tidak memungkinkan untuk bolak-balik ke SMA. Kami pun bersedih. Lalu inisiatif mencari mentor baru. Dapat.
Mentor yang ini, beda banget sama yang sebelumnya! Beliau tegas, tidak lembut dan bikin ikhwan naksir seperti mentor sebelumnya, dan, galak. Beberapa bulan pertama, aku masih berpikir, “Aku masih akan mentoring, tapi mentorku yang pertama tak kan pernah bisa tergantikan di hati kami”.
Waktu pun berjalan. Ternyata, akupun mencintai mbak yang ini, seperti apa adanya dia. Yang sama sekali berbeda dengan ‘mbak ideal’ mentorku sebelumnya. Waktu pula yang membawa hatiku menyimpulkan, “Mbak ini mengambil tempat yang lain di hatiku, dengan caranya sendiri”.
***
Teman, bahwa ternyata hati kita punya banyak ruang, sudahkah kita menyadari? Ada banyak orang di sekitar yang kita sayang atau sukai. Coba perhatikan, apakah mereka semua sama dan setipe dalam sifat dan karakternya? Apakah mereka semua memperlakukan kita dengan cara yang seragam?
Karena hati kita punya banyak ruang, tidakkah seharusnya kita menjauhkan prasangka terhadap orang lain yang belum kita kenal baik? Tidak juga membandingkan dengan orang yang sudah-sudah. Mereka ternyata bisa menempati ruang-ruang itu dengan cara mereka masing-masing, yang berbeda. Karena hati kita punya banyak ruang, bukankah seharusnya meluaskan pandang dan hati agar tidak sesak? ^_^ 

ujung sumatera 2010

5:02 PM 0 Comments

dijepret dari selasar selatan MUI

pertama kalinya menginjakkan kaki ke sumatera, meskipun hanya ujungnya saja. Alhamdulillaah, ada kesempatan sambil datang ke walimah teman, dadan dan etha ^_^
barakallaahu laka, wa baraka 'alaika, wa jama'a bainakumaa fii khaiirr..

*by: canon eos 450D

Wednesday, December 8, 2010

Mucil’s Diary

7:50 PM 10 Comments
Bismillah
Buat aku hari ini bersejarah. Untuk pertama kalinya dalam hidup, menyaksikan orang bersalin secara langsung (meskipun ngintip-ngintip).
Bermula saat menemani kawan baikku yang akan bersalin di rumah sakit ibu dan anak dekat rumahku. Waktu itu temanku itu baru bukaan awal, mulesnya masih jarang, jadi masih nyantai. Awalnya pas aku datang, dia ditemani kakaknya. Lalu kakaknya pulang, suaminya datang. So sweet deh. Suaminya itu teman sekelasku, dan aku ga pernah tau dia bisa ‘seromantis’ itu (halah). Jadi waktu istrinya kontraksi dan kesakitan, tiba-tiba dia bicara sesuatu yang awalnya ga nyambung, “Lagi di tattoo tuh kakinya”. Mengernyitlah alis kami, “Hah, tattoo??” kupikir kaki bayinya..apa hubungannya? Ternyata ia melanjutkan, “Sedang ditattoo surga di kakimu”.
Hhooooooohhh…. Aku t e r h a a r r r u u u w w w ….
Jadi di rumah sakit itu, ruang bersalinnya tuh digabung beberapa pasien dalam satu ruangan. Eh.. pasien tepat di sebelah temanku yang hanya dipisah oleh tirai, waktu persalinannya tiba, bukaannya sudah sempurna. Ya jelas terdengarlah semua erangan, jeritan kesakitan, dan setiap nafas kencang yang diembusnya, juga instruksi dokter, dan kesibukan para perawat.. Duh, akunya jadi ngeri, temenku juga stress dengernya. Akhirnya dia mengalihkan pikirannya dengan nyetel murattal dari hape.
Alhamdulillah ga lama, bayinya lahir. Legaaa… padahal bukan siapa-siapaku. Trus waktu kudengar sayup-sayup sang ayah melafadzkan azan di telinga bayi itu, jadi terharu ajah gituh. Trus kusingkap sedikit tirai, lalu kurekam deh pake hape. Hehe.. lumayan, mudah-mudahan jadi pengingat betapa bersihnya aku dulu, dan penyemangat untuk senantiasa kembali ke fitrah. Yuk…
*sampai siang, temenku belum ada kemajuan, dokter yang mau meriksa bukaannya pun belum dateng-dateng. Sedang panggilan dari rumah sudah berdering. Aku pulang dulu ya… Padahal ingin sekali menangkap momen temanku sendiri (si ayah) yang melafadzkan azan di telinga mujahid kecilnya, trus mau aku upload ke fesbuk (haha..). Tapi sayang, aku hanya sempat mengambil gambar dia sedang menyuapi istrinya (which is temanku juga) makan siang, sepiring berdua. Aih, aih, ngambil gambarnya aja ngumpet-ngumpet pas udah mau pulang.^_^
Ya Rabb, selamatkanlah keduanya...

Thursday, December 2, 2010

Mengayuh Sepeda Hidup

9:08 PM 0 Comments
*berusaha mencari contoh majas alegori yang sejak guru SMA saya sekolah hanya satu itu saja (mendayung bahtera hidup). Hehe..

     Baiklah kita mulai dari belajar bersepeda, roda dua. Ketika mulai oleng, bukan untuk menjejak tanah kita belajar, melainkan apa yang kita lakukan? Mengayuh. Terus saja mengayuh. Maka kita akan lupa dengan oleng itu, lalu kita maju. Atau ketika mengendarai motor di jalanan berbatu yang juga membuat oleng, apa yang kita lakukan? Menarik gas. Tetap saja. Bukan berhenti atau memperlambat.
      Maka begitulah hidup, kawan *sok tuir bener ya gue*. Kerikil masalah akan selalu ada. Kadang membuat kita oleng dan hampir terjatuh. Tapi hidup harus tetap berjalan, sampai tiba saatnya ruh keluar dengan senyum kemenangan. Jangan berhenti.
      Sebenarnya maksud tulisan ini bukan di situ sih. Melainkan pada apa yang menjadi fokus kita. Kalau dalam mengejar tujuan kita menemui masalah, selesaikan, tapi jangan terfokus pada masalah itu. Tetap fokus pada tujuan kita  di depan. Tetap mengayuh dan menarik gas untuk maju, bukan berusaha bertahan stabil menghadapi batu-batu yang membuat oleng itu.
      Kita ambil saja contoh di kelompok/organisasi. Kelompok/organisasi yang produktif biasanya jarang disibukkan oleh masalah-masalah yang sebenarnya (maaf) remeh, tidak signifikan terhadap tujuan yang ingin dicapai. Misalnya perasaan sakit hati, tidak nyaman dengan anggota lain, dsb. Kenapa?
     Karena mereka telah disibukkan untuk bergerak. Maka tidak ada waktu lagi untuk mengurus hal remeh-temeh.
    Dalam hidup, kita (harus) punya tujuan. Atau target dan keinginan-keinginan. Nah, kalau pikiran dan raga kita disibukkan oleh kerja-kerja penting dan relevan demi mencapai tujuan itu, maka kita tidak akan repot memikirkan masalah-masalah yang mungkin saja tampak besar, namun sebenarnya tidak benar-benar menghalangi tujuan besar kita. Kalau ada ketakutan tidak bisa mencapai tujuan, kejarlah tujuan itu lebih keras dan sungguh-sungguh, tak perlu kita pikirkan ketakutan itu. Jangan fokus supaya tidak oleng, kayuh saja, tarik saja gasnya! Yang penting maju dan rintangan ‘jalan berbatu’ itu usai.
      Yang kita perlukan adalah tetap fokus pada tujuan dan senantiasa bergerak. Insya Allah ‘penyakit-penyakit’ akan sendirinya menjauh. Karena diam itu mematikan ternyata. Gerakan anti malas. Hehe..

Wednesday, December 1, 2010

Mengapa kita selalu senang bila bertemu dengan orang yang mirip dengan kita?

10:34 AM 11 Comments
Saya punya kembaran (ketemu gede). Kami sama-sama akhwat 640L yang (agak) tomboy dan sedikit caur (tapi tetap manis, haha,boong). Gaya bicaranya mirip. Sama-sama bungsu, suka travelling dan aktivitas menantang yang menstimulasi adrenalin, punya selera dan kriteria yang sama tentang calon pendamping, bahkan yang rahasia sekalipun. Kami beda kampus, tapi amanah selama di kampus ternyata sami mawon. Cologne yang kami suka pun sama, bunyi sms di handphone kami sama tanpa disengaja, bahkan kami punya biskuit favorit yang sama waktu ngekos, tentu saja di kosan masing-masing. Orang kampusnya aja beda daerah. Padahal kami juga tidak dekat waktu SMA, apalagi waktu SMP. Dan kami baru menyadari waktu foto berdua, ‘ih, mirip jugaaa!!’
Uhmm.. kenapa ya, saya selalu senang bertemu dengan dia, ‘kembaran’ saya itu, menemukan persamaan-persamaan lain lagi, lalu excited sekali dengan itu. Kenapa kita selalu senang menemukan persamaan dengan orang lain? Apakah itu berarti kita masih terlalu cinta dan tertarik dengan diri kita sendiri?
Mungkin di alam bawah sadar yang tidak kita sadari (halah), ya, jujur saja, mungkin masih terlalu cinta pada diri sendiri. Kalau kita sudah ‘selesai’ dengan diri dan benar-benar menaruh minat pada orang lain, bukankah lebih linear kalau kita lebih senang menemukan perbedaan-perbedaan pada diri orang lain?
Untuk kamu yang aku sayang,
Aku gak tau kita sama gombalnya atau ngga
^_^

Allah menyayangi kita dengan 2 cara

10:31 AM 14 Comments
Kalau ada yang mengumpamakan hidup itu ibarat sekolah, mungkin ada benarnya. Di sekolah ada guru, buku, teman-teman, belajar, ujian, nilai, dan sebagainya. Begitupun dengan hidup. Ada tuntunannya, ada ‘guru’nya, orang-orang di sekeliling, ada belajarnya, ada pula ujian dan hasilnya. Maka katakan, sekolah mana yang lebih lama waktu ujiannya dibanding waktu belajarnya?
Hitam putih jalan hidup, pahit getir warna dunia,
tangis tawa rasa hati terluka atau bahagia
Bersabarlah sementara, setiap duka tak abadi
Semua wajah kan diuji, pada Allah kita kan kembali
 (Opick, Di Bawah Langit-Mu)

Jadi, kalau di antara kita pernah mengalami ujian yang sangat berat, yang membuat kita (hampir) putus asa, bahkan mungkin ada yang sampai terlintas untuk menyudahi hidup, kini sadarilah, bahwa ujian berat itu tanda Allah sayang pada-Mu. Layaknya Ayyub as yang ditimpa penyakit bertahun-tahun, lalu ia berdoa pada Rabbnya,
“dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (QS: 21: 83)
Ujian itu tanda Allah sayang padamu…
Tapi kalau setelah kita merenung dan mengingat-ingat, ternyata yang kita hadapi dalam hidup sampai saat ini tampak senang-senang saja, lapang-lapang saja, selalu mampu mengatasi masalah, tenang, itu bukan tanda Allah tidak sayang padamu, dengan membiarkan hidupmu lapang tanpa ‘ujian’. Justru, itulah cara Allah menyayangimu, kawan. Justru itulah ujiannya. Sebagaimana jalan Sulaiman as yang dengan segala kenikmatan hidupnya, berdoa pada Tuhannya,
…“Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS: 27: 19)
Nah. Ujian jenis ini bahkan lebih banyak membuat orang lalai, lupa bersyukur, lalu sombong, kufur. Na’udzubillaah..
Ujian kesulitan seringkali mendekatkan kita pada Allah, mengembalikan kita pada fitrah. Untuk ‘shalih’ kembali. Karena kita butuh lebih kuat dalam menghadapinya, maka memintalah kita pada Sang Maha Kuat. Namun ujian kelapangan, atas mudahnya hidup, seringkali menggelincirkan kita dari fitrah, merasa tidak sulit, merasa tidak butuh tambahan kekuatan, maka tidak meminta, kemudian menjauh.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw menyebutkan bahwa sungguh indah urusan umat Islam. Apabila ia ditimpa kesulitan ia bersabar, dan apabila ia mendapat nikmat, ia bersyukur. Ujian pertama mengajari kita untuk bersabar, ujian kedua mengajari kita bersyukur. Tidak ada alasan untuk berkeluh kesah \(^_^)/
Bekasi Express, Nov 29 2010
(parafrase materi training ^_^)