*menyelesaikan tulisan ini sulit. Takut ada yang tersinggung, dan takut sulit membawa pikiran pembaca seperti alur pikiran saya.. bismillaah.. Saya tidak menulis untuk membanding-bandingkan kadar keimanan. Tulisan ini hanya tentang fenomena*
Suatu siang yang terik dalam perjalanan mengais rezeki ^_^, saya dan 2 orang teman (mahasiswa UI ‘swasta’) naik angkot yang melewati kampus UI Negeri (UIN). Berdasarkan informasi dan rumor sana-sini, kampus yang dulunya bernama IAIN ini di dalamnya lebih liberal dibandingkan dengan kampus umum seperti UI, IPB, UNJ, dsb. Padahal, kebanyakan mahasiswanya dulunya adalah santri yang mondok bertahun-tahun di pesantren. Nah, dari situ, kami berdiskusi tentang imun dan steril.
Sobat kecil saya yang dulu sempat kuliah 1 semester (atau 1 tahun, lupa) di sana, pernah bercerita tentang kampusnya. Katanya, “Di kampus gue nih Far, UI Negeri —lo swasta kan? *aih*—ga jelas mana teman mana musuh. Kalau kita teriaknya ‘Allaahu Akbar’, musuh kita teriaknya ‘Allaahu Akbar’ juga! Jadi setres gue…” Konon banyak juga pemikir liberal yang jebolan sana.
Balik lagi ke kami, di angkot siang itu, jadi menyambung-nyambungkan fakta tersebut. Di kampus kami, UI ‘swasta’ dan PTN-PTN lainnya, kebanyakan latar belakang mahasiswanya adalah sekolah umum. Tapi alhamdulillaah tidak dikenal sebagai liberal. Ada yang pesantren, tapi tidak banyak. Sebaliknya, ‘UI Negeri’ punya banyak santri yang sungguh lebih banyak mempelajari agama daripada kami. Kami pun menyimpulkan, mengingat diskusi sebelumnya juga dengan teman yang lain, para santri yang pada akhirnya melenceng itu steril, dan tidak tahan terhadap dinamika dan beragamnya dunia di luar lingkungan asalnya yang ‘bersih’.
Layaknya tubuh, tidak baik kalau dijaga terlalu bersih. Terlalu steril. Kalau demikian, antibodi alami dalam tubuh tidak akan berfungsi, dan pada akhirnya akan melemah. Akibatnya, meski hidup (sangat) bersih, tubuh tidak kebal terhadap penyakit yang bisa datang dari mana saja. Layaknya tubuh, manusia pun bisa saja dijaga habis-habisan oleh orang tua dan lingkungannya dari pengaruh buruk pemikiran, pergaulan, dan media yang negatif. Tapi bagaimana ketika ia harus keluar dari penjagaan itu, melihat dunia luar yang ternyata berbeda dengan yang selama ini ia pahami di lingkungan kecilnya? Ketika melihat dunia yang ternyata ‘begitu berwarna’, ia akan tergoda, ingin mencoba segala macam hal, hingga tidak sedikit yang akhirnya terpeleset, melenceng jauh dari apa yang telah diajarkan dan dibekali oleh lingkungan kecilnya yang steril. Ia bersih, steril, tapi daya tahannya lemah. Tidak punya imunitas.
Memang tugas orang tua untuk mendidik anak-anaknya, dan menanamkan nilai-nilai Islam hingga sang anak memiliki kepribadian yang kokoh. Namun seringkali, orang tua hanya membuat anaknya steril, bukan imun. *tapi orang tua jenis ini masih lebih baik daripada orang tua yang tidak mendidik anaknya dengan nilai agama.
Lalu? Bagaimana membangun imunitas itu?
Pertama, harus disadari bahwa tugas orang tua membuat anaknya kuat, bukan steril tapi lemah. Maka, kenalkan anak-anak dengan lingkungan yang beragam. Tidak hanya lingkungan yang baik agar bisa ia contoh. Tapi juga lingkungan yang kurang/tidak baik, dengan pendampingan dan penjelasan yang sabar mengapa lingkungan itu bisa demikian buruk dan bagaimana cara menghindarinya. Saat anak mencapai usia puber misalnya, selain tetap dijaga dengan nilai-nilai Islami, kenalkan juga tentang kenakalan-kenakalan remaja seusia mereka, ajak diskusi dan jelaskan bagaimana mereka seharusnya menjalani masa labil yang kritis itu. Seperti belajar karate (kangen ih); yang diajarkan adalah bagaimana cara menghindari serangan, bertahan, dan menyerang bila perlu, sambil latihan bertanding. Bukan bagaimana cara kabur yang efektif kan? ;D Kenalkan anak dengan dunia yang beragam.
Kedua, ini saran dari Kak Seto, duhai ortu, jangan hanya jadi orang tua, tapi juga jadilah teman bagi anak-anakmu. Ada saatnya anak lebih dekat dengan teman daripada dengan orang tua (biasanya ketika remaja). Iya, kalau teman-temannya baik, kalau tidak? Nah. Orang tua, sebaiknya tetap berjiwa muda sampai kapan pun (apa sih). Ikut mempelajari dunia apa yang sedang dihadapi anak, yang pastinya berbeda dengan yang mereka hadapi dulu. Dunia berubah. Dekati, interaksi yang intens, buat anak merasa senyaman mungkin untuk bercerita pada orang tua senyaman mereka bercerita pada temannya.
Yang paling penting memang selalu keluarga. Siasati agar anak merasa keluarga benar-benar menjadi lingkungan utama, walaupun remaja kebanyakan membuatnya terpinggirkan. Keluarga harus tetap menjadi tempat kembali yang paling dirindukan, lebih dari teman-temannya. Penjagaan pun akan lebih mudah, terjangkau, dan diminati oleh kedua belah pihak (orang tua dan anak). Dan yang paling penting, imunitas sang anak akan terbangun, hingga ia siap melangkah ke manapun. ;D
Merasa sangat sotoy, padahal masih
Calon orang tua dan belum apa-apa ^_^