Follow Us @farahzu

Thursday, September 30, 2010

membangun imunitas, bukan menjaganya tetap steril

10:36 AM 18 Comments
*menyelesaikan tulisan ini sulit. Takut ada yang tersinggung, dan takut sulit membawa pikiran pembaca seperti alur pikiran saya.. bismillaah.. Saya tidak menulis untuk membanding-bandingkan kadar keimanan. Tulisan ini hanya tentang fenomena*
Suatu siang yang terik dalam perjalanan mengais rezeki ^_^, saya dan 2 orang teman (mahasiswa UI ‘swasta’) naik angkot yang melewati kampus UI Negeri (UIN). Berdasarkan informasi dan rumor sana-sini, kampus yang dulunya bernama IAIN ini di dalamnya lebih liberal dibandingkan dengan kampus umum seperti UI, IPB, UNJ, dsb. Padahal, kebanyakan mahasiswanya dulunya adalah santri yang mondok bertahun-tahun di pesantren. Nah, dari situ, kami berdiskusi tentang imun dan steril.
Sobat kecil saya yang dulu sempat kuliah 1 semester (atau 1 tahun, lupa) di sana, pernah bercerita tentang kampusnya. Katanya, “Di kampus gue nih Far, UI Negeri —lo swasta kan? *aih*—ga jelas mana teman mana musuh. Kalau kita teriaknya ‘Allaahu Akbar’, musuh kita teriaknya ‘Allaahu Akbar’ juga! Jadi setres gue…” Konon banyak juga pemikir liberal yang jebolan sana. 

Balik lagi ke kami, di angkot siang itu, jadi menyambung-nyambungkan fakta tersebut. Di kampus kami, UI ‘swasta’ dan PTN-PTN lainnya, kebanyakan latar belakang mahasiswanya adalah sekolah umum. Tapi alhamdulillaah tidak dikenal sebagai liberal. Ada yang pesantren, tapi tidak banyak. Sebaliknya, ‘UI Negeri’ punya banyak santri yang sungguh lebih banyak mempelajari agama daripada kami. Kami pun menyimpulkan, mengingat diskusi sebelumnya juga dengan teman yang lain, para santri yang pada akhirnya melenceng itu steril, dan tidak tahan terhadap dinamika dan beragamnya dunia di luar lingkungan asalnya yang ‘bersih’.

Layaknya tubuh, tidak baik kalau dijaga terlalu bersih. Terlalu steril. Kalau demikian, antibodi alami dalam tubuh tidak akan berfungsi, dan pada akhirnya akan melemah. Akibatnya, meski hidup (sangat) bersih, tubuh tidak kebal terhadap penyakit yang bisa datang dari mana saja. Layaknya tubuh, manusia pun bisa saja dijaga habis-habisan oleh orang tua dan lingkungannya dari pengaruh buruk pemikiran, pergaulan, dan media yang negatif. Tapi bagaimana ketika ia harus keluar dari penjagaan itu, melihat dunia luar yang ternyata berbeda dengan yang selama ini ia pahami di lingkungan kecilnya? Ketika melihat dunia yang ternyata ‘begitu berwarna’, ia akan tergoda, ingin mencoba segala macam hal, hingga tidak sedikit yang akhirnya terpeleset, melenceng jauh dari apa yang telah diajarkan dan dibekali oleh lingkungan kecilnya yang steril. Ia bersih, steril, tapi daya tahannya lemah. Tidak punya imunitas. 

Memang tugas orang tua untuk mendidik anak-anaknya, dan menanamkan nilai-nilai Islam hingga sang anak memiliki kepribadian yang kokoh. Namun seringkali, orang tua hanya membuat anaknya steril, bukan imun. *tapi orang tua jenis ini masih lebih baik daripada orang tua yang tidak mendidik anaknya dengan nilai agama.
Lalu? Bagaimana membangun imunitas itu? 
Pertama, harus disadari bahwa tugas orang tua membuat anaknya kuat, bukan steril tapi lemah. Maka, kenalkan anak-anak dengan lingkungan yang beragam. Tidak hanya lingkungan yang baik agar bisa ia contoh. Tapi juga lingkungan yang kurang/tidak baik, dengan pendampingan dan penjelasan yang sabar mengapa lingkungan itu bisa demikian buruk dan bagaimana cara menghindarinya. Saat anak mencapai usia puber misalnya, selain tetap dijaga dengan nilai-nilai Islami, kenalkan juga tentang kenakalan-kenakalan remaja seusia mereka, ajak diskusi dan jelaskan bagaimana mereka seharusnya menjalani masa labil yang kritis itu. Seperti belajar karate (kangen ih); yang diajarkan adalah bagaimana cara menghindari serangan, bertahan, dan menyerang bila perlu, sambil latihan bertanding. Bukan bagaimana cara kabur yang efektif kan? ;D Kenalkan anak dengan dunia yang beragam. 

Kedua, ini saran dari Kak Seto, duhai ortu, jangan hanya jadi orang tua, tapi juga jadilah teman bagi anak-anakmu. Ada saatnya anak lebih dekat dengan teman daripada dengan orang tua (biasanya ketika remaja). Iya, kalau teman-temannya baik, kalau tidak? Nah. Orang tua, sebaiknya tetap berjiwa muda sampai kapan pun (apa sih). Ikut mempelajari dunia apa yang sedang dihadapi anak, yang pastinya berbeda dengan yang mereka hadapi dulu. Dunia berubah. Dekati, interaksi yang intens, buat anak merasa senyaman mungkin untuk bercerita pada orang tua senyaman mereka bercerita pada temannya. 

Yang paling penting memang selalu keluarga. Siasati agar anak merasa keluarga benar-benar menjadi lingkungan utama, walaupun remaja kebanyakan membuatnya terpinggirkan. Keluarga harus tetap menjadi tempat kembali yang paling dirindukan, lebih dari teman-temannya. Penjagaan pun akan lebih mudah, terjangkau, dan diminati oleh kedua belah pihak (orang tua dan anak). Dan yang paling penting, imunitas sang anak akan terbangun, hingga ia siap melangkah ke manapun. ;D

Merasa sangat sotoy, padahal masih
Calon orang tua dan belum apa-apa ^_^

Sunday, September 19, 2010

Take a Break For a Soul; Seistirahat-istirahatnya Jiwa

9:06 PM 9 Comments
                Waktu muda dulu (uhk), pada akhir tahun 2007, saya diamanahkan menjadi ketua pelaksana sebuah rangkaian kegiatan di fakultas. Staf saya kebanyakan adalah teman-teman seangkatan dan adik kelas. Tapi ada juga segelintir senior ikhlas yang turut membantu dalam struktur di bawah saya. Suatu hari, saat salah satu acara berlangsung dengan cukup membuat panitia hectic, saya mengirim sms pada senior saya itu untuk datang ke tempat saya saat itu dan membantu segera, dengan bahasa agak menuntut untuk “segera”. Dan balasan dari beliau, adalah sama sekali tidak saya sangka,
Sebentar ya Farah, saya lelah, saya mau tilawah dulu
Dzing!!
Dan benar saja, dia sendirian di mushala mungil ikhwan fakultas saya, sedang tilawah. Huuuff.. ga bisa dan ga kepengen ngomel.. *karena malah saya dibuatnya iri dengan ketenangannya…
*&*
Dalam sebuah riwayat yang pernah saya baca namun sayang tidak bisa saya sebutkan, dalam sebuah situasi yang melelahkan, Rasulullah saw. meminta Bilal untuk mengumandangkan azan untuk shalat. Beliau berkata, “Yaa Bilaal, arihnaa bi shshalaah”, ya Bilal, istirahatkan kami dengan shalat.
Lalu?
Uhmm… saya jadi berpikir. Rasulullah saw dan para sahabat, serta senior saya itu, dengan ampuh menjadikan ibadah-ibadah mereka sebagai obat penawar lelahnya. Bukan hanya sumber kekuatan. Kok bisa ya? Sedangkan kita… Kebanyakan kita (atau saya) seringkali terbalik. Kita (atau saya) bahkan bisa-bisanya lelah karena (merasa) sudah kebanyakan tilawah. Kita (atau saya) seringkali kelelahan dan mengantuk karena (merasa) sudah kebanyakan rakaat shalat. Bagaimana mereka bisa?
Astaghfirullaah al Azhiim…
*&*
Dan kemarin ketika mengisi sebuah acara ‘kongkow’-nya adik-adik hanif di fakultas, seorang adik kelas yang baru selesai kuliah membagi hal menarik yang didapatnya di kelas, “Ternyata agama itu dasar dari resiliensi”. Klop-lah sudah. Sejalan.
*resiliensi: daya lenting; kemampuan seseorang untuk bangkit setelah mengalami hal-hal yang membuatnya terpuruk dalam hidupnya.

Back to the main question, “h o w c o m e”???

Berjalan Lebih Cepat; Being The King of Our Own Kingdom

5:45 PM 17 Comments
                Sering menyebut kata-kata, “Lagi gak mood nih”, atau kalimat sejenis yang intinya menyatakan kalau kita sedang dalam kondisi tidak baik, tidak produktif, dan sedang tidak bergairah? Saya pernah. Dan banyak orang lain juga pernah. Selanjutnya, setelah kalimat itu terlontar, kita jadi malas melakukan sesuatu, lemas, sensitif, sampai mudah marah. Senggol, bacok; istilahnya.
                Nah. Hal seperti di atas itu sering terjadi. Sesuatu yang datang dari luar diri mempengaruhi perasaan, pikiran, sampai perilaku kita. Ketika orang lain (apalagi yang signifikan bagi kita) tidak ramah pada kita, kita jadi sebal, bete, sensi, bad mood, mudah marah. Emosi mempengaruhi perilaku. Itu biasa terjadi.
                Tapi teman, belakangan ada istilah (lumayan) baru dalam dunia psikologi. Facial Feedback Hypothesis; yang menjelaskan bahwa ternyata, perilaku yang awalnya merupakan tampak luar dari emosi, bisa juga berbalik mempengaruhi emosi. Kalau kita sedang sedih, jangan melihat ke bawah, tapi dongakkan wajah ke atas. Sedih kita akan berkurang. Sedikit-sedikit cobalah tersenyum. Perasaan kita akan lebih baik. Perilaku (mendongak ke atas dan tersenyum) bisa juga kan mempengaruhi emosi (perasaan sedih berkurang).
                Sedikit uraian di atas menunjukkan bahwa sebenarnya kita bisa memilih emosi apa yang ingin kita rasakan. Jadilah orang yang memilih untuk bahagia. Memilih untuk bersemangat. Memilih untuk sukses. Emosi akan mengikuti. Lalu seperti biasa, kembali mempengaruhi pikiran dan perilaku kita. Jangan membiarkan perasaan dan tindakan kita takluk di bawah pengaruh negatif dari orang lain atau suasana di luar kita. Jadilah raja atas perasaanmu sendiri. Pasti bisa kalau kita mau.
                Kalau sedang sedih, lemah, malas, lemas, cobalah berjalan dengan langkah yang lebih cepat. Atau melakukan gerakan apapun yang sedang dilakukan dalam tempo lebih cepat. Atau dengan sengaja melakukan gerakan apapun dalam tempo yang cepat. Insya Allah kembali segar dan bersemangat.

*tapi kalau suatu saat anda merasa lemas lalu mempraktekkan cara terakhir ini kemudian anda pingsan, cobalah hubungi dokter. Barangkali anda benar-benar sakit secara fisik. ;D
**fyi, banyak orang yang merasa badannya kurang fit untuk beraktivitas, padahal sebenarnya hanya sugesti sakit yang timbul dari kemalasan.
Gerakan Anti Malas

Tuesday, September 14, 2010

kampus gila!!

5:43 PM 8 Comments
Mencermati kembali tulisan-tulisan saya akhir-akhir ini, saya mendapati sebuah kenyataan pahit: tulisan-tulisan saya mengalami penurunan mutu *padahal dulu juga ga bagus-bagus amat sih. Dulu waktu masih aktif di kampus sebagai mahasiswa, lalu sempat vakum, walaupun kemudian aktif lagi di kampus bukan sebagai mahasiswa. Bedda banget.
Dulu, aku menulis artikel-artikel reflektif berhikmah, tips-tips, sampai tulisan penyemangat ku-post di sini. Tapi kenapa semakin ke sini, semakin banyak cerita yang hanya cerita, sampai curhatan kelabilan. Aaahh, memalukan ternyata. Dulu pun aku sempat bertekad untuk mendedikasikan tulisanku untuk orang lain, pembaca. Bukan untuk pelampiasan emosi ataupun pengabadian memori supaya tidak terlupakan. Apalagi untuk menggugurkan kewajiban sebagai kontributor di MP >_< Ow, ow.. ke mana tekad itu??
Ternyata eh ternyata, usut punya usut, diskusi dengan teman, aku sampai pada suatu kesimpulan. Penurunan kualitas tulisanku ini banyak dipengaruhi oleh lingkaran aktivitas. Dulu waktu di kampus, jadi aktivis (bahkan belum aktebel), duniaku luas. Setiap hari penuh agenda, bertemu orang-orang baru, banyak belajar hal baru, tempat-tempat baru, ilmu-ilmu baru. Setelah lengser dari kegiatan kampus dan fokus skripsi, dunia mulai menyempit. Hanya rumah, dakwah sekolah, fakultas (ruangan dosen, perpustakaan, dan mahalum), dan rektorat sesekali (ada kerjaan). Tidak lagi ada ruang BEM, ngacak-ngacak ruang DPM, rapat-rapat, makan-makan.. (lhoh?) Selesai skripsi, lebih parah lagi. Kebanyakan di rumah, kadang ke sekolah, ngampus hanya sesekali, keluar jadi pembicara juga lebih sesekali. Semakin sempit. Dan hasil tulisanku, semakin parah kebanyakan curhat.
Ternyata, lingkaran aktivitas kita sangat mempengaruhi apa yang kita hasilkan. Terutama tulisan, karena di situlah pikiran kita tergambar. Semakin besar lingkaran aktivitas kita, semakin banyak yang bisa kita tulis: semakin banyak yang kita pikirkan, semakin luas wawasan, semakin banyak ilmu yang kita dapat, hingga semakin banyak yang bisa kita bagi pada orang lain.
Subhanallah. Kampus tuh gila banget! Gila, inspiring banget! Gila! Benar-benar memperkaya; pemikiran, wawasan, hingga kebijaksanaan kita sebagai pribadi. Dinamika kehidupan di dalamnya, gila, benar-benar mengajarkan bagaimana kita harus mandiri, kuat, dan stabil, walau cobaan apapun menerpa *lebay. Gila!