Follow Us @farahzu

Monday, March 23, 2020

Book Review: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir – Salim A. Fillah


Judul            : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir; Kisah, Kasih, dan Selisih dalam Perang Diponegoro
Genre          : Fiksi Sejarah
Author         : Salim A. Fillah, 2019
Penerbit      : Pro-U Media
Jumlah halaman: 632 halaman

Janissary

Beberapa waktu sebelum membeli buku ini, saya sudah menyimak potongan-potongan ceramah Ustadz Salim A. Fillah mengenai sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro. Bukan hanya dalam mengusir penjajah, namun ternyata yang utama adalah beliau memperjuangkan Islam agar dapat tegak kembali di tanah Jawa, yang telah banyak direndahkan setelah kedatangan penjajah Belanda itu. Jadi begitu lho, hubungannya *eeh.

Di Jawa itu, ternyata dahulu islami sekali lho. Iya sih, kan Kerajaan Mataram ya hehehe… Ada banyak simbol-simbol di Kraton, rumah warga, dan tentu saja masjid, yang kental sekali dengan pesan-pesan agama. Di antaranya seperti ukiran buah nanas di tiang Masjid Gedhe Keraton, yang mengingatkan kodrat manusia (An-Naas) agar tidak sombong. Buah/pohon salak juga, yang berasal dari nama surah dalam Alquran, Al-Falaq, mengingatkan akan godaan setan yang akan selalu menyertai, maka perkuatlah benteng keimanan. Juga, sebagai penanda rumah pejuang, di halamannya selalu ada pohon sawo berjajar, diambil dari pesan imam ketika akan shalat berjamaah: sawwuu shufuufakum, agar senantiasa meluruskan dan merapatkan barisan, baik dalam shalat maupun dalam perjuangan. Demikian pula, Pangeran Diponegoro memilih nama gelar beliau Sultan Abdul Hamid Diponegoro, yang merujuk pada Sultan Turki Utsmani ketika beliau lahir, Sultan Abdul Hamid I. Kalau lidah orang Jawa, beberapa bisanya menyebut Ngabdul Kamit, itu maksudnya sama 😊

Buku ini berlatar Perang Diponegoro yang dikenal juga dengan Perang Sabil (1825-1830). Yang dimaksud adalah perang melawan penjajah Belanda yang kafir, yang menginjak-injak Islam di tanah Jawa, jihad fi sabilillah, berjuang di jalan Allah. Disingkat Perang Sabil. Di buku sejarah sekolah dulu, kita taunya hanya Perang Diponegoro saja kan. Nah, di buku ini lebih lengkap dan fair sejarahnya.  

Di buku tebal ini, penulis banyak menyiratkan pesan kesetiaan; pada cita-cita yang mulia, pada pemimpin, dan pada saudara-saudara seperjuangan. Selain itu juga tentang keteguhan tekad dan idealisme, yang ditunjukkan oleh Sang Pangeran dan sahabat-sahabatnya. Ada banyak tokoh yang tadinya tergabung di barisan beliau, akhirnya keluar dan memilih berdamai dengan penjajah. Alasannya banyak. Ada yang memang tergoda dengan iming-iming penjajah hingga tak malu berkhianat, ada juga yang memilih menyerah karena melihat kesengsaraan rakyat yang ditimbulkan oleh perang yang berkepanjangan ini. Padahal sih, Belanda melobi dan merayu habis-habisan para tokoh untuk sesegera mungkin menghentikan perang, dikarenakan VOC, korporasi dengan valuasi terbesar itu, bangkrut gara-gara membiayai perang ini. Namun, masih banyak pula orang-orang yang istiqomah di samping beliau, serta rakyat yang setia membersamai beliau dengan pengorbanan sepenuh jiwa dan raganya.

Kemudian pelajaran yang juga saya dapatkan dari buku ini, di antaranya tentang kekuatan. Pangeran Diponegoro sering diceritakan memimpin perang gerilya di hutan-hutan sambil ditandu karena sakit. Saking seringnya diceritakan begitu, sampai waktu sekolah dulu saya hanya tahu beliau ketika lemah dan sakitnya saja. Beliau memimpin perang meskipun sedang sakit memang fakta, hanya saja dipaparkan juga dalam buku ini, bahwa di luar keadaan sakitnya, beliau adalah seorang yang sangat kuat. Ia bisa mendobrak tembok yang tebal, tinggi, dan besar ketika dikepung tiba-tiba, tanpa peralatan, sehingga ia dan pasukannya bisa menyelamatkan diri. Ketika ditangkap karena pengkhianatan, beliau menahan marahnya dengan meremas pegangan kursinya, yang terbuat dari kayu, sampai hancur. Makjaaaang. Eh, maa syaa Allaah!

Seorang muslim bukan hanya dituntut untuk soleh dan taat beribadah, namun juga harus memiliki kekuatan dan keterampilan yang bisa digunakan untuk membela agama Allah. Tidak harus menunggu ada perang, namun kita harus melatih diri baik meskipun keadaan sedang damai, sehingga kita siap kapanpun diperlukan. Lalu insight lainnya, maaf tidak saya tuliskan semua hehe…

Selain itu tentunya ada juga kisah cinta yang bikin hati meleleh dan penasaran ingin tahu lanjutannya. Kalau kisah cinta mah emang gak pernah ada basinya ya? Selalu haneut, hihihi…

Tokoh-tokoh dalam buku ini, ada Sang Pangeran sendiri dan para panglima serta pengawal-pengawal setianya. Janissary, fyi, adalah kesatuan elit pasukan Turki Utsmani, seperti Kopassus-nya kita. Nah, di dalam buku ini juga ada kisah tentang ahli waris seorang Wazir (perdana menteri) Turki Utsmani beserta juru tulis/sekretaris kepercayaan sang Wazir tersebut, keduanya memegang peran sentral di sepanjang buku ini. Bagaimana ceritanya mereka bisa sampai terlibat dalam perjuangan pasukan Sang Pangeran dalam perang sabil di tanah yang sangat jauh ini? Baca aja ya.. in sya Allah ada banyak ilmu dan wawasan yang bisa didapatkan dari buku ini.

Selain itu, dari sisi antagonis ada para pejabat Hindia Belanda dan VOC, serta para pejabat Keraton yang telah hilang harga dirinya karena membelot mendukung penjajah. Ada juga yang seperti duri dalam daging, terlihat membantu perjuangan namun ternyata mata-mata musuh. Seru Guys!

Ternyata manusia sekompleks itu ya. Ada yang dengan cita mulianya untuk agama menjaga idealismenya mati-matian, bahkan tak takut mati sama sekali. Ada juga yang ketamakannya na’udzubillah, sampai benar-benar rela mengorbankan iman, harga diri, dan rakyatnya, hanya demi uang dan jabatan, mendukung para penjajah.

Cerita dalam buku ini ditulis dengan alur maju-mundur, sehingga cukup perlu konsentrasi untuk melihat keterangan tahun di setiap awal babnya, terutama di awal-awal cerita. Di sini ada banyak fakta sejarah yang menyertakan tahun-tahun dan kejadian, yang menambah informasi pada pembaca, diselipkan dalam perkataan tokoh-tokoh di dalam cerita. Namun saya pribadi melewatkan beberapanya karena kepanjangan hehehe… ‘afwan Ustadz.

Kalau menurut saya, cara latar belakang cerita dibawakan itu agak kelamaan, atau sayanya yang lama ngerti baru bisa menikmati ya? Fyi, Buku ini sudah dicetak ulang bahkan sebelum resmi launching lho! Selaris dan sebagus itu memang!
Salim a Fillah
Saya merekomendasikan buku ini buat kamu yang muda, atau yang merasa muda, dan yang ingin selalu berjiwa muda. Buku ini bernas, ma sya Allah. Ada banyak pembelajaran dan ghirah (semangat) yang terbangkitkan sejak memulai hingga menyelesaikan membaca kisah ini. Karena sejatinya mempelajari sejarah bukan hanya mendapatkan informasi kejadian, tanggal, tempat, dan tokoh, melainkan mengambil hikmah, melestarikan kebaikan dan kebijaksanaan para pendahulu, serta belajar dari kelengahan atau kesalahan yang pernah ada agar tidak kita ulangi di masa sekarang dan yang akan datang.

Jazakumullah khayran Ustadz Salim.

“Katanya, cinta seorang lelaki seperti matahari. Semua orang tahu kapan ia terbit dan kapan waktunya terbenam. Bahkan banyak yang akan menyadari pula ketika takdir gerhana menggelapkannya. Tapi cinta seorang perempuan seperti kuku-kuku jari. Ia tumbuh perlahan, tapi pasti; meski dipotong berulang kali. Kuku sudah ada sejak janin tumbuh dalam rahim. Tapi kesadaran untuk merawat dan mempercantiknya hadir seiring meremajanya usia.” (Salim A. Fillah, dalam Sang Pangeran dan Janissary Terakhir)

No comments:

Post a Comment