Follow Us @farahzu

Saturday, July 25, 2009

Road to BEM UI

–Refleksi Tengah Tahun—

Akhir-akhir ini sedang banyak mengalami hal-hal yang mengubah hidupku. Juga baru banyak memahami dan mengalami hal-hal yang sudah kumengerti sebenarnya sejak lama. Hanya baru mendapatkan insight-nya baru-baru ini.

Diminta jadi Kabir PSDM pertama kali,,, dengan berat hati permintaan itu kutolak. Sms-sms dari mereka masih tersimpan hingga saat ini. Menyisakan kenangan keegoisan yang mengkanak-kanak. Lalu kutawarkan banyak orang lain yang kuanggap kompeten untuk posisi itu. Sebuah sms malam itu berbunyi, “Emangnya kalo Farah kenapa? Mau lulus ya? Sama dong…” Huks, huks, itu benar-benar menyisakan perih. Perih atas pilihanku sendiri.

“Far, mau lulus 4 tahun kan? Bantuin MWA aja gimana?” Wah. Kujawab dengan mengingatkannya, bahwa keberatanku bukan hanya harus lulus 4 tahun. Dan ia langsung mundur.

“Far, lagi sibuk ga? Boleh kutelpon sekarang?” Witri minta aku jadi kadept Kesma. Oh tidak, aku tidak bisa. Maafkan aku…

Hingga akhirnya 10 Januari 2009, hasil muktamar SMA membebankan sekaligus melegakan sedikit rasa bersalahku. Allah tau jalanmu yang lebih baik… Tidak lagi punya amanah di kampus, saatnya aku kembali ke sekolah. Pikirku, saat itu sudah final.

Ternyata belum. “Mba, saya mohon, bayangkan adik-adik kita dari pelosok yang ingin masuk UI.. ini bisa jadi ladang pahala yang besar… Kita jihad bareng-bareng…”. Pertimbangan dari orang-orang terpercaya kuminta, lalu paginya aku menjawab, “Saya insya Allah bisa bantu di Kesma, tapi jadi staf dan hanya 6 bulan”. Deal. Kupikir, saat itu sudah final.

Ternyata belum. Beberapa hari setelahnya, malam hari aku ditelepon Nanda, wakil ketua BEM UI. Aku diminta memberi ‘lebih’, memback-up kadept Kesma. Aku takut ‘Kesma sebelumnya’ terulang lagi. Tapi, ya sudahlah. Bismillah. Malam itu, kupikir sudah final.

Ternyata belum. Tepat pagi harinya, aku ditelfon lagi. PSDM. Dengan berbagai pertimbangan, mereka kembali memintaku. Akupun butuh sangat banyak pertimbangan. Kutelfon mba-ku. Kutanya pihak sekolah. Tak banyak waktu kumiliki untuk memutuskan. Hanya 1 waktu shalat tersisa untuk istikharah: ba’da zuhur. Kuminta pertimbangan sepupuku,,, beliau pun akhirnya bingung. Akhirnya, “Gini aja deh Far, jalanin aja yang ada sekarang dulu. Nanti pasti Allah ngasih jalan.” Akupun akhirnya membulatkan hati. Padahal pihak sekolah belum menjawab. Tapi tak ada waktu lagi! bismillah. Akhirnya, kupikir inilah finalnya. Aku menerima.

“Alhamdulillaah… Far, besok kita Oprec”. Appaaa???!!!!

Hyaaaa!!! Besoknya aku langsung berlala-lili di Depok.

Pagi. Kutelepon sahabatku, Lissa, staf PSDM tahun lalu, meminta bala bantuan. “Tapi Lissa cuma bisa 6 bulan, Farah.. Lissa harus lulus semester ini” aku mengerti, masih ada 2 adiknya yang menunggu giliran. Tanpa pikir panjang karena panik, “Ya udah gapapa. Pokoknya bantuin aku dulu”. Langsung kubuat janji siang itu juga dengan temanku Rina, deputi PSDM tahun lalu. Di Pusgiwa. Kantor baruku.

Sampai pusgiwa, wajah yang kutemui pertama adalah Fathia. Rasa bingung dan cemas yang memuncak membuatku langsung menghamburkan diri, “Faaaaattthhh!!!” memeluk Fathia. Ia menenangkan, “Akhirnya Far, datang juga…” sambil tersenyum lega.

Sore itu aku melihat kelegaan memancar dari wajah banyak orang. Dari teman-teman tim sukses yang sudah bergabung lebih dulu, Yuli, Avid, Input, juga dari Tiko, apalagi dari Nanda. Selanjutnya aku tau orang ini memang ekspresif sekali. Ya Allah, betapa selama ini aku menghambat kerja banyak orang… Jadi tidak tega mau setengah jalan dan lulus duluan… Apalagi ketika bercanda dengan Yuli, ingin lulus di tengah kepengurusan. Menurut Yuli aku bergurau saat itu, padahal dalam hati aku sungguh-sungguh serius. Lalu Yuli berkata pada Tiko yang ada di seberangnya, “Wah, Ko, parah nih, belum-belum udah pada mau resign tengah tahun!” Tiko yang sedang menunduk mengurus sesuatu mendongak pada kami, dan, aku, aku merasa iba seketika melihatnya! Oh tidak. Farah, jangan mudah terpengaruh… dan aku pulang masih dengan keinginan mundur di tengah tahun…

Sampai sore, teman-teman se-fakultasku itu –anak-anak PSDM tahun lalu- terutama RIna benar-benar menentir aku dari nol, terutama tentang rekrutmen yang sudah di depan mata. Aku bingung. Bingung. Setelah itu, dengan masih canggung, aku masuk lagi ke ruang BEM. Ka Edwin datang dan mengucapkan, “Akhirnya Farah….” Maksudnya, akhirnya Farah, ke sini-sini juga larinya. Aku yang masih bingung harus apa, meminta Ka Edwin bicara apapun tentang PSDM. Aku butuh gambaran. Aku butuh masukan. Aku butuh arahan. Terima kasih kak. Lalu Nanda. Tiko masih sibuk. Dan… besok team building BPH. Artinya aku tidak bisa menyiapkan rekrutmen.

Sepulang dari Pusgiwa matahari t’lah lama tenggelam. Shalat maghrib di ruang BEM.
Menunggu bis kuning. Berjalan dari stasiun UI hingga kosan, sambil berpikir. Hmmhh,, sepertinya aku tidak pernah ditakdirkan untuk kuliah, perpus, pulang ditemani matahari, beres-beres kosan, dan istirahat atau belajar lagi dengan tenang. Rasanya sampai lulus aku harus berjibaku dengan kegiatan seabrek di luar akademis. Tapi aku tidak menyesali apapun. Aku merasa beruntung bahkan. Dan aku hanya tersenyum.

Esok paginya kami berkumpul di stasiun UI. Kesan pertama. Aku telat 3 menit dari jam 7, sebelumnya sudah izin akan sedikit telat. Tapi sampai sana, aku baru sendiri. Hummfh,, biasa. Eh, ternyata di ujung sana, udah ada Tiko! Subhanallah, memberi teladan yang baik. Tak lama datang Nanda membawa bungkusan Alfamart. Lalu menunggu yang lain. Singkat cerita, kami baru jalan dari UI jam 8. Berkenalan dengan orang-orang yang sama sekali baru kukenal, saling mengakrabkan diri selama perjalanan. Ini sahabat suka-duka-ku ke depan.

Ternyata perjalanan kami cukup panjang. Jauh bo! Kalau tidak salah ingat 3 jam kami habis di jalan, menuju jalur pendakian Curug Cibodas. Begitu turun dari bus yang menuju Tasik itu, kami langsung meregangkan sendi-sendi, meledek Nanda menanyakan “jackpot”, mengambil beberapa foto kami, dan beristirahat sambil menunggu Tiko dan Nanda membeli makan siang untuk kami yang akan disantap bersama di bawah air terjun nanti. Hohhoo,, servis nyaris sempurna. Mereka berdua bahkan membawanya dalam pendakian kami setelahnya.

Sebenarnya aku sedang khawatir. Khawatir tidak bisa pulang cepat seperti yang diwanti-wanti orang rumah karena subuh esok harinya kami akan  berangkat ke Jogja, wisudaan kakakku. Ditambah lagi aku belum meminta izin pada orang tuaku bahwa aku akan lulus terlambat, menerima amanah di BEM UI. Dan betapa leganya aku kala perjalanan kami semakin jauh dari jalan, semakin mendekati air terjun. Karena, tidak ada sinyal!! Jadi keberadaanku tidak bisa dilacak =D di saat yang bersamaan orang-orang resah karena tidak ada sinyal.

Singkat cerita… aku merasakan kenyamanan yang luar biasa dalam perjalanan bersama tersebut. Tanpa tekanan sedikitpun yang belakangan baru kusadari hampir selalu menyertaiku selama mengemban berbagai amanah di tingkat fakultas. Apalagi saat itu aku sedang sangat ingin naik gunung dan berenang. Atau salah satunya. Dan naik gunungku terkabul, bersama teman-teman baru yang sangat menyenangkan. Saat itu, aku benar-benar merasa lepas.

Lagi-lagi cerita indah ini harus saya singkat, kami berjalan turun menuju peradaban kembali. Sebelum turun, Tiko meminta kami mengambil masing-masing sebuah batu dari dalam air terjun yang menganak sungai. Aku mengambil 3. Batu ini yang kelak akan menjadi saksi berubahnya pikiran dan hatiku drastis. Saksi atas komitmenku senja itu.

Di bawah, tepat di luar pagar Taman Raya Cibodas, kami duduk melingkar dan saling memperkenalkan diri masing-masing. Identitas, kesenangan, sifat-sifat, yang tidak disukai, membuka diri. Terutama aku dan korbidku yang baru saja bergabung. Aku sehari sebelumnya, korbidku semalam sebelumnya. Setelah semua memperkenalkan dirinya, Tiko meminta kami menggenggam batu yang kami bawa dari air terjun tadi siang, dan, ini dia salah satu keahlian dan kesenangan ketua kami; merenung dan kontemplasi.

Kami menutup mata, khusyuk mendengarkan kata demi kata dari Tiko. Semuanya jelas. Semuanya berat. Tentang besarnya amanah di pundak kami. Aku sangat tertohok karna masih saja bertahan dengan “niat jahat”ku. Alirkan, alirkan semua keegoisan diri pada batu dalam genggaman kalian. Keberadaan kita untuk kemanfaatan yang jauh lebih besar daripada sekedar untuk diri kita. Ketika membuka mata, kami diperintahkan untuk meletakkan batu itu di depan kami. Meninggalkan batu itu di sana bersama segala keegoisan yang tersisa, di dataran yang tinggi, jauh dari tempat kami berjibaku kelak, Depok, Jakarta dan sekitarnya.

Aku… yang menjadi merasa sebenar-benar egois, tidak meletakkan batu itu di depanku. Aku melemparnya, meneriakinya,

“Batu! Kamu aja yang lulus 4 tahun! Aku ga bisa ninggalin mereka!!!”


Dan komitmen itu seketika membatu. Keras. Kuat menancap.

Betapa Allah benar-benar
Maha Tau segala yang terbaik,
Depok, Januari-Juli 2009
--tahun terindahku di kampus perjuangan ini—

4 comments: