Follow Us @farahzu

Friday, October 22, 2010

Cerita Nelayan (vs Karyawan)

Membaca buku tentang perjuangan para guru di pelosok-pelosok nusantara, saya jadi teringat akan sebuah perjalanan di tengah tahun 2009 lalu. Di blog ini, judulnya Trip to Skrip (si). Ya, perjalanan saya seorang diri, ngebolang, mengikuti saran pembimbing skripsi saya yang waktu itu masih ‘mbak’ Ninik L. Karim (pamer, =D), untuk menghabiskan waktu sehari atau setengah hari dengan masyarakat Marunda yang ingin saya teliti. Supaya jelas apa masalah yang mereka hadapi. Supaya jelas manfaat skripsi saya nantinya.
Jadilah, berbekal petunjuk jalan dan angkot dari teman yang tinggal di sana, saya menuju Marunda dan akhirnya sampai setelah hampir putus asa (biasa, nyasar). Seperti, memasuki Cagar Budaya. Hingga sampailah saya di suatu warung, basa-basi beli sesuatu (lupa apaan), sambil nanya-nanya (baca: wawancara) pada ibu pemilik warung.
Alhamdulillah seperti yang saya harapkan, perbincangan ringan itu membuat ibu pemilik warung bercerita banyak tentang masyarakatnya. Tentang mata pencaharian warganya yang nelayan, tentang kesadaran atas pendidikan yang masih minim, hingga tentang bagaimana warungnya laku di sana. =,=”
Beliau telah lama membuka usaha warung. Sebelum di Marunda pesisir seperti sekarang, ia pernah juga membuka warung di Marunda ‘yang bukan pesisir’ (apa ya, saya lupa nama daerahnya), yang sudah lebih ‘kota’ dan kebanyakan warganya adalah karyawan. Menurutnya, meskipun taraf hidup masyarakat di pesisir lebih rendah daripada di ‘bukan pesisir’, namun usaha warungnya lebih maju di pesisir. Katanya, penduduk pesisir yang nelayan malah lebih royal dan lebih banyak jajannya dibanding yang ‘bukan pesisir’ dan karyawan. Awalnya saya sempat bingung dan tidak habis pikir.
Lalu ibu ini menjelaskan.
“Iya Neng, kalo nelayan kan dapat uang tiap hari, jadi ga mikir besok makan apa, besok makan apa,
jadi yang didapat hari ini ya untuk hari ini aja.
Kalau karyawan beda, mereka dapat uang sebulan sekali, jadi harus ngatur uang”.
Ow, di sini kuncinya. Lebih lanjut beliau menjelaskan hipotesis pribadinya. Justru karena setiap hari dapat uang itulah, masyarakat nelayan lebih royal dan merasa tidak perlu mengatur uang. Hal itu juga yang membuat masyarakatnya selalu merasa miskin untuk sekolah, karena tidak pernah punya uang tabungan. Padahal, setiap hari anak-anaknya banyak jajan.
Bukannya saya ingin membagus-baguskan karyawan dibanding yang bukan karyawan, apalagi menjelek-jelekkan nelayan. Nelayan yang independen, tidak bergantung pada orang lain, hanya bergantung pada laut dan alam (harusnya pada Allah). Hanya ingin mengangkat sisi lain dari sebuah realita masyarakat. Bahwa tidak selalu kemampuan untuk mengenyam pendidikan berbanding lurus dengan kemiskinan dan gaya hidup, walaupun yang seringkali terjadi adalah demikian. Kemampuan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan, kadang kala juga dipengaruhi oleh keinginan kuat masyarakat itu sendiri, untuk mendapatkan pendidikan demi cerahnya kelanjutan hidup generasi berikutnya.
Keinginan kuat masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Bekasi, 22 Oktober 2010
Baca Juga: BPH On Vacation: Ciamis!

11 comments:

  1. trims.. aku juga suka sama kamu, ludi =D

    ReplyDelete
  2. Marunda itu dimana far? Hehe ngga tau.com

    ReplyDelete
  3. di kabupaten bekasi kak, perbatasan dengan Cilincing, Jakarta Utara

    ReplyDelete
  4. mslah manajemen keuangan,, aku pernah ngobrol2 sm tetanggaku waktu ngontrak di rumah petak.. ternyata pengeluaran harian dia lebih besar dari aku(&suami).. ya mungkin karna dia udah pny anak umur 3 thn-an.. tapi penghasilannya jg lumayan kok. yg bikin terlihat miskin tu karna mereka sulit utk nabung.. dan lebih milih belanja konsumtif.. kondisi ky gini jg bisa dipengaruhi oleh pendidikan..

    ReplyDelete
  5. waduh??
    aku jadi merasa kurang terdidik lies =_="

    ReplyDelete
  6. maksudnya gmn c far? kok aku jd ga nyambung yak? hehe. maaph

    ReplyDelete
  7. aku belum berhasil menjadi manager keuangan yang baik...

    ReplyDelete