Follow Us @farahzu

Saturday, February 29, 2020

Hati-hati Mencurahkan Hati (Tentang Curhat)

Siapa di sini yang suka curhat ke orang lain atau sahabat? Meskipun biasanya kaum perempuan yang paling suka curhat, jangan salah lho, para lelaki juga kok fyi, meskipun 𝘵𝘦𝘳𝘮𝘴&𝘤𝘰𝘯𝘥𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴-nya lebih banyak, hihihi. ⠀
Biasanya setelah mengeluarkan segala ganjalan hati dengan mengungkapkannya melalui kata-kata, kita merasa lebih tenang. Lebih plong dan masalah menjadi lebih ringan. Apalagi kalau yang dicurhati adalah pendengar yang baik dan ahli ya.. ⠀

Nah, melalui artikel ini saya hanya mau mengingatkan, 𝗵𝗮𝘁𝗶-𝗵𝗮𝘁𝗶 ya. Ketika kita sedih atau punya masalah berat sehingga harus curhat pada orang lain, ingat ini. Orang yang kita curhati itu hanya 2 kemungkinannya: teman atau lawan. Kalau teman, mendengar kesedihan kita, dia akan ikut sedih. Sedangkan kalau lawan, dia akan senang melihat kita susah. Rela? Jadi? ⠀

Setelah mengetahui ini, saya pribadi jadi berpikir, untuk apa? Mau buat teman kita sedih atau lawan kita senang di atas kesedihan kita, keduanya bukan pilihan yang saya inginkan. ⠀

Kita harus lebih berhati-hati jika merasa butuh curhat. Tidak sembarangan, ke banyak orang, apalagi ke media sosial. Untuk apa? Kalau teman kita banyak, mungkin kita bisa mendapatkan simpati. Lalu berharap dikasihani? ⠀

Seorang ustadz yang bijak mengatakan, “Curhatnya orang beriman itu kepada Allah. Silahkan curhat, berkeluh kesah, menangis, dalam doa kepada-Nya.” Dijamin aman! Gak bakal bocor. Lalu beliau melanjutkan, “Kita boleh menceritakan masalah kita pada manusia,  hanya dalam rangka 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗮𝗿𝗶 𝘀𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗵𝗹𝗶𝗻𝘆𝗮. Misalnya, mengeluhkan sakit kepada dokter agar mendapat diagnosis dan solusi terbaik untuk kesembuhannya. Atau kepada psikolog anak atau pakar parenting dalam hal pendidikan anak. Dan kepada orang yang ahli di bidang lain, sesuai dengan masalah kita.  ⠀

Curhat kepada manusia juga harus hati-hati, kalau tidak ingin rahasia kita menjadi konsumsi publik. Tidak jarang ada kasus, seseorang bercerita masalahnya dengan menambahkan kalimat, “Jangan bilang siapa-siapa ya.” Ternyata orang yang diceritakan itu menceritakannya lagi pada orang lain dengan kalimat tambahan yang sama: jangan bilang siapa-siapa. Terus begitu hingga rahasia itu menjadi rahasia umum, diketahui banyak orang sedang dia sendiri tidak menyadarinya. Miris kan? Ya tapi itulah yang banyak terjadi.⠀

Selama belum keluar dari mulut kita, kata-kata itu sepenuhnya milik kita, di bawah kontrol kita. Tapi sekali dia keluar, dia sudah bukan milik kita lagi. Meskipun isinya tentang kita, cerita kita. Bisa menyebar kemana pun kepada siapapun, tak bisa lagi kita kontrol. Maka, hati-hati ya. Hati-hati. ⠀

Terakhir, saya hanya menyampaikan, sebagai kewajiban mengingatkan sesama. Namun saya juga masih belajar. Saling mengingatkan ya 😊⠀

Baca Juga: Tentang Mampu senDiri dan Butuh Orang Lain (Coaching Insight)
#30dwc #30dwcjilid22 #day13



No comments:

Post a Comment