Jadi panitia bidang acara PSAU (ospek fakultas) 2 hari kemarin mengajariku banyak hal. Tapi yang ingin kuangkat di sini hanya beberapa, yah, sesuai dengan judul tulisan ini lah..
Selalu, saat para feedbacker memberi evaluasi, aku berpikir, apakah yang mereka katakan (dan omelkan) pada para maba sudah mereka lakukan? Apalagi para komdis yang hanya bantu memberi stressor dengan suaranya yang na’udzubillah.. hanya menjalankan tugas mereka kah? Harusnya setiap kata yang keluar dari mulut-mulut mereka sudah mereka lakukan dulu sebelumnya. Kabura maqtan ’indallaahi antaquuluu maa laa taf'aluun...
Kalau ada maba yang tidak mengumpulkan essay karena belum sempat ngeprint, atau ga ada rental yang buka or alasan-alasan lainnya yang sebenarnya masuk akal –tapi tetap tidak bisa dibenarkan—mereka akan bilang, ”Kamu ga punya temen yang punya printer?” Kalau mereka bilang ’nggak’ yang sebenernya wajar karena mereka belum banyak kenal sebagai satu angkatan –tapi tetap tidak bisa dibenarkan juga,, kasian juga ya?? Memang begitu. Ada yang tau alasan logis kenapa mereka berkata-kata demikian??
Karena..
Pada sesi itu berlaku LOS (Level of Stress) 3
Trus, nyambungnya dengan judul? Ya, bahwa kita sebagai da'i (bagi yang merasa) dan manusia yang punya kehidupan sosial, memiliki inisiatif untuk memberi lebih dulu menjadi nilai lebih --tapi harusnya semua orang punya itu.
Saat menghadapi suatu keadaan, seorang yang matang (menurut saya) harusnya tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga sesamanya. Kenapa? Karena ia tidak hidup untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia seluruhnya. Eh, tapi tetap diniatkan karena ALLAH. Karena ia paham kenapa ia diciptakan dan kini berada di dunia yang fana. Pernah kepikir ga, kalo dunia ini fana dan akan ada dunia lain yang kekal, kenapa kita harus mampir dulu di kefanaan kalo ga ada maksud dan tujuannya?
Balik lagi, ia paham kalau hidup adalah memberi manfaat pada manusia dan semesta. Minimal untuk orang-orang di sekitarnya.
Maka bagi yang tidak memberi manfaat,,,
ke laut aja
***
"Orang yang hidup untuk dirinya sendiri akan hidup dan mati sebagai orang kecil
Namun orang yang hidup untuk memberi manfaat pada orang lain akan hidup sebagai orang besar dan tidak akan pernah mati selamanya" (Sayyid Quthb)
Waah... kalimat terakhirnya keren. Ternyata jargon "ku" cukup terinternalisasi, OK keluarga BBM. Soal kaburo maqtan, ada nggak sih manusia yang benar-benar seimbang antara dunia idenya (yang tercermin lewat lisannya) dengan dunia nyata (yang ia praktekkan). Manusia memang hidup selalu dengan topeng, bisa jadi kalau setiap orang mengetahui aslinya kita bisa jadi tak seorang pun mau untuk bergaul dengan kita. Makanya kita berdoa "Allahumma inni ashbahtu minka fii ni'matiw wa'afiatiw wa sitr". Tentunya kita harus selalu tetap berhusnuzhon dengan selalu berniat untuk menginternalisasikan topeng yang bagus itu menjadi wajah kita yang sesungguhnya atau dengan kata lain mempraktekkan apa yang telah kita katakan.
ReplyDeleteafwan sedikit mengkoreksi bukan
maa laa ta’maluun...
tapi
maa laa taf'alun...
Biar ga berubah arti :-)
oiya astaghfirullah...syukron diingetin
ReplyDeletetapi af1, saya terinspirasi oleh Muhammad saw pada abad ke 7M dulu, bukan dari BBM, hehee..
ketika mempertanyakan tentang orang lain, sudahkan bertanya tentang keadaan diri ?
ReplyDelete