Follow Us @farahzu

Tuesday, March 31, 2009

Hikmah dari Depok, 28 Maret 2009

Rekans, apapun yang kalian lakukan hari itu, kalian semua, telah memberiku pelajaran yang sangat berharga.
Pelajaran pertama (pelajaran kedua dst di tulisan berikutnya). Belajar bahwa menjadi idealis juga harus berpijak pada kenyataan, bila tidak ingin menjadi penyandang autisma. Karna hanya dengan melihat kenyataan lah kita bisa berpikir dan merancang kondisi yang ideal. Nah, masalahnya adalah, bagaimana menjaga kadar idealisme dan realisme tersebut agar tetap seimbang dan sehat?
Apabila kadar idealisme lebih besar atau bahkan jauh melampaui realisme seseorang, orang itu akan memiliki optimisme dan semangat yang tinggi. Namun karna tidak berdasarkan pada kenyataan, maka idealisme itu merupakan idealisme yang rapuh dan tidak akan pernah bisa terwujud. Di sini dilibatkan pemahaman integral terhadap medan, analisis kebutuhan dan masalah, menyintesis ‘benih-benih solusi’, dan kemampuan menyusun strategi. Ketika ia kembali menyadari ‘dunia nyata’ dimana idealismenya tidak (belum) dapat berkembang subur, maka akan lahirlah sangat banyak kekecewaan. Dan seketika runtuhlah optimisme dan semangat itu.
Sebaliknya, apabila kadar realisme lebih besar daripada idealisme, maka seseorang akan tumbuh menjadi manusia kecil yang tidak akan pernah berani bermimpi (apatah lagi berusaha?). Apalagi yang masih tersisa dari sikap pesimis??! (tulisan terkait)
Lalu, kita kembali ke masalah, bagaimana menjaga kadar idealisme dan realisme tersebut tetap seimbang dan sehat?? Caranya, ya itu tadi. Dibutuhkan kemampuan memahami medan (kenyataan) secara integral, analisis kebutuhan dan masalah, menyintesis peluang dan ‘benih-benih solusi’, dan kemampuan menyusun strategi. Nah, bagaimana langkah konkretnya?
…………………………………………………………………………………………………..
Sama sekali tidak menjawab. Mohon maaf. Karna skill-skill tersebut merupakan life skill menurut saya, yang dipelajari dari pengalaman (concrete experience) yang tidak cukup hanya 1-2 kali. Apalagi hanya membaca tulisan reflektif yang tidak ilmiah seperti ini.

Kalau ada yang mengartikan tulisan ini adalah kemarahan,
Maka kemarahan itu adalah kemarahan saya, yang ditujukan untuk diri saya pribadi.
Tapi kalau tidak, ya, bagus lah.
Sejatinya saya hanya ‘agak geram’ dengan diri saya yang terlalu. Yang selalu.
Hanya ingin menulis kok…
                                                                                                Bekasi, 29 Maret 2009

4 comments:

  1. knapa far?
    tetep semangat yaa dalam menjaga idealisme :)

    ReplyDelete
  2. apa jembatan yang bisa menguhubungkan idealisme yang mengawang di langit dengan realita yang menapak di bumi ?

    ReplyDelete
  3. Hm..
    Tulisan ini tampaknya ditujukan untuk orang2 tertentu sebagai sebuah protes atas kondisi yang menurut sang penulis tidak ideal.. (Mungkin terkait amanahnya di kampus)

    Penulis juga mengalihkan kemarahannya kepada diri sendiri karena menyadari bahwa tidak ada gunanya untuk meluapkan kemarahan kepada sang pemicu. Atau bisa jadi karena karakter penulis yang cenderung submisif. Yang pasti, penulis berhasil menurunkan tensinya dengan dipublishnya tulisan ini, karena sang pemicu adalah orang2 yang juga punya akses untuk membaca tulisan ini. Jadi kepada sang pemicu, hayo ngaku!

    *detektif mode: on*

    He2..

    ReplyDelete
  4. Hmm.. Sebuah analisis yang cukup menarik dari Bung Imaneon.

    Jika dibaca ulang tulisan sang penulis lalu dikombinasikan dengan analisis Bung Imaneon, maka tak ayal lagi, tulisan ini diarahkan pada...

    *huehehe..ga tega nulisnya*

    ReplyDelete