Follow Us @farahzu

Monday, June 22, 2009

Ojek, Oh Ojek

Tidak lagi-lagi deh… mencari villa dengan bantuan tukang ojek di daerah (teeeeettt, sensor ah)… cukup, sudah. Pengalaman EPT (Evaluasi Paruh Tahun) BEM UI kemarin cukup membuatku trauma (agak lebay) dengan tukang ojek.
(mohon maaf, yang saya maksud dengan tukang ojek disini definitif kok, tidak semua tukang ojek)
Pertama waktu survey. Di tengah perjalanan menuju villa yang direkomendasikan oleh ibu seorang stafku, aku bertanya-tanya pada abang ojek yang membawaku tentang villa yang bagus dan sesuai budget kami. Singkat cerita, dengan informasi dari tukang ojek itu, akhirnya kami menemukan villa yang pas dan cukup oke.
Setelah bertemu dengan ibu pengelola villa tersebut, ia mengatakan, sebenarnya harga sewa villa tersebut bisa turun banyak, apalagi kami memakainya di hari kerja. Bisa didiskon hingga 400.000. dengan catatan, kami datangnya sendiri. Kalau atas rekomendasi tukang ojek, berarti dia juga harus memberi komisi pada tukang ojek itu. Hmm.. 400.000. harga sebuah informasi. Mahal juga.
(sejak itu aku ingin sekali segera bekerja dan memiliki mobil sendiri, hingga aku bisa keluar-masuk mencari villa dan mendapatkan diskon lumayan)
Singkat cerita, di hari-H, kami datang dengan 3 bus kuning. Tanpa diminta, abang-abang ojek itu menjadi pemandu bus kami menuju villa, dengan alasan medan yang curam dan sulit. Untuk 3 ‘pemandu’, saya berencana memberi mereka sesuai tarif ojek biasa. Tapi mereka minta berkali-kali lipat. Bayangkan. Mereka bilang tarif pemandu tidak bisa disamakan dengan tarif ojek, meskipun aku tidak melihat ada perbedaan effort yang signifikan. Dengan alasan keamanan, mereka selalu berkata, “se-rido-nya Ibu deh mau ngasih berapa”, tapi mereka mematok tarif yang tidak bisa dikompromikan. Bahkan kami tidak pernah meminta mereka untuk memandu. Oh. Terima kasih banyak. Akhirnya aku dan bendaharaku masuk ke dalam mengambil uang, setelah keputusan akhir adalah 3x lipat untuk masing-masing ‘pemandu’, dengan catatan supir kami tidak perlu dipandu lagi ketika pulang malam ini dan datang kembali untuk menjemput esok sorenya.
Salahnya kami adalah, kami berdua masuk ke dalam bersama-sama, harusnya ada seorang dari kami yang menunggui di luar. Benar saja, ketika saya kembali, tukang ojek itu sedang ‘mepet’ dengan supir bus kami, dan tiba-tiba si abang ojek berkata, “Pak supirnya ga berani Bu, kalau ga dipandu juga pulangnya dan datang besoknya”. Hemmmmm!!!! Bagus!!
Selesai urusan ojek malam itu, udara dingin, dan sedikit gerimis. Saya mengobrol santai dengan ibu pengelola villa, iseng bertanya, “Besok pagi kira-kira hujan ga ya Bu, soalnya kita mau naik ke curug”. Nah! Di saat yang bersamaan, seorang abang ojek tadi melewati kami dan mendengar. Ia langsung berhenti dan bertanya padaku, “Bu, besok mau naik ke curug? Berapa banyak? Semua?” Kujawab sekenanya, “Iya, semua” dengan masih jengkel karena kejadian sebelumnya. “Ada 100 orang?” tanyanya lagi. Kujawab, “nggak, paling 60-70”. “Ooh, nggak, kalau banyak kan bisa saya bantuin nego ke curugnya, biar didiskon gituu…” Dengan spontan langsung kujawab, “Oh, nggak usah. Kita ga banyak kok!” Sungguh dalam hati aku dongkol setengah idup. ‘Iya, masuk Curugnya diskon, tapi potongannya buat elu! Makasi banyak dah, mendingan buat pemeliharaan Curug!’ begitu pandainya ia melihat peluang!!
Masalahnya adalah dana kami sangat ngepas. Itupun masih hutang sama bendum. “Pungutan-pungutan liar” seperti itu kan mana ada kuitansinya??!!
Setiap ada yang datang kemudian, selalu saya wanti-wanti via telfon, “ojeknya 5.000 ya, ga lebih!” atau “Lo bermuka orang sini aja ya, jangan keliatan lo bukan orang asli sini”, dll. Udah gitu, masa tarif siang dan malam bisa beda! Bayangkaaannn… menyebalkan sekaliii…..
Keesokan sorenya, saya kembali dibuat dongkol cukup dengan melihat jaket yang sama yang dipakai seorang tukang ojek kemarin. Oke, kali ini aku akan melibatkan si PO, stafku yang angkatan 2008 tapi terlihat sangat dewasa dan kuat bernegosiasi (dia laki-laki). Kami hanya butuh 1 pemandu kali ini! 3x lipat tarif ojek seperti semalam: ‘kalau mau ambil, kalau tidak ya sudah. Kami tidak punya uang lagi’. Tapi tetap saja, mereka memaksa 2 ojek dengan tarif 4x lipat 1 ojek biasa (lagi-lagi mereka mengulang ‘seridonya ibu aja mau ngasih berapa’ tapi tetap maksa mematok harga. Ga rido!) Tapi entah kenapa, hanya aku yang masih menolak, sedangkan semua temanku yang laki-laki yang harusnya mendukungku malah, “Ya udah Far, 5.000 lagi”. haaahh!! Kecewa!! Lima ribu juga dari kemarin duit gue!! Dan puluhan ribu lainnya yang sudah keluar untuk pungutan-pungutan liar seperti ini tidak akan pernah bisa di-reimburse. Dengan utang masih beberapa juta. Hwaaa… anak-anakku, sabar ya,, kita harus mencari uang lebih keras! Semangatt!!
Hanya sedikit kekecewaan di tengah
membahagiakannya kebersamaan dengan BEMers UI sehari-semalam
16-17 Juni, 2009

6 comments:

  1. wah.. nggak nyangka.. dulu ga ada cerita kayak gitu...

    ReplyDelete
  2. hehe,,, dulu waktu kias kak? kan nyari villanya ga sama tukang ojek kan ka??

    ReplyDelete
  3. banyak... kias, kiat, team building, dll... nggak pernah nyari villa sama tukang ojek... selalu ada yang nganter jemput gitu... tak adakah ikhwah yang seperti itu lagi?

    ReplyDelete
  4. atau tukang ojek sudah sangat berubah... atau .. atau..

    ReplyDelete