Follow Us @farahzu

Wednesday, June 3, 2009

Pak, Ada Uang Receh?

2:22 PM 3 Comments
Waktu masih semester 4, mata kuliah Psikologi Kepribadian 2, kami sedikit membahas tentang learned helplessness. Putus asa yang dipelajari. Sang dosen meminta kami mencari contoh. Hampir semua contoh yang dikemukakan benar, namun tidak sesuai dengan mau si dosen yang memberikan clue: “di dekat kita banyak sekali lho…” Semua contoh yang ada dianggapnya terlalu memenara gading, mencerminkan anak-anak UI sekarang. Ada yang menyebutkan dirinya sendiri, tokoh-tokoh ternama, artis, ilmuwan, bahkan Ibnu Khaldun.
Tak berhasil ditebak, sang dosen akhirnya menjawab clue-nya sendiri. Pengemis. Betapa seringnya mereka menemui keputusasaan dalam usaha-usaha mereka yang lebih produktif sebelumnya, dengan daya lenting (resiliensi) yang belum cukup mereka miliki, akhirnya pasrah mengharapkan uluran tangan orang lain yang murah hati. Daya lenting, maksudnya kemampuan mereka untuk kembali fight setelah mengalami kegagalan.

Jumat pagi, 2 pekan yang lalu, saya berencana untuk “pergi ke suatu tempat” bersama beberapa orang staf saya yang semuanya perempuan. Setelah kami berkumpul dan tinggal menunggu  1 orang terakhir, kami berpencar sebentar. Ada yang membeli minum sebotol besar ke indomart Kober, sedangkan saya dan 1 orang yang lain masuk ke gang sawo untuk membeli roti goreng Medan, sekalian memecah uang untuk ongkos.
Semuanya Rp5.000,00. Kukeluarkan selembar uang Rp50.000,00 yang ingin dipecah. Sang penjual mengambilnya, dan tanpa banyak pikir menghampiri seorang pengemis yang sedang duduk tak jauh dari situ. Menghampiri seorang pengemis, menukarkan uang! Kakek-kakek pengemis itu tidak punya. Tanpa perlu waktu untuk berpikir, sang abang menghampiri pengemis lainnya, kali ini nenek-nenek. Ada!
Lima puluh ribu rupiah, dengan pecahan 2 lembar 20.000an dan 1 lembar 10.000. Sepagi itu, kira-kira pukul 07.15, dari buntalan kain seorang pengemis. Padahal hanya jarak selangkah dari gerobak roti goreng itu ada banyak gerobak pedagang lain. Mungkin mereka belum dapat segitu banyak pagi-pagi, tapi pengemis itu bahkan membawa bekal 50.000! itu yang terlihat. Belum lagi yang tidak, mungkin saja bila saya ingin menukarkan 100.000….
(silahkan menyimpulkan pikiran masing-masing)
Yang jelas, saya begitu shock-nya melihat ‘adegan’ itu sehingga ketika melewati kedua pengemis tadi, sama sekali tidak ada keinginan untuk memberi. Saya ilfeel. Ilang feeling. Setelah itu tanpa rasa malu sedikitpun (atau memori bahwa uang saya-lah yang tadi ditukarkan padanya melalui abang roti goreng), pengemis itu masih saja meminta pada saya yang bahkan menoleh pun tidak ingin, dengan ekspresi yang, entahlah, sangat tidak menyenangkan, seakan saya berdosa sangat telah membuka aibnya (punya uang minimal 50.000 pagi-pagi).
Hummmmmmmmmmheeemmmmmmmmmmmmm……. Betapaohbetapa……………

Depok pagi hari,
3 Juni 2009

Tuesday, May 19, 2009

Pasar Malam Hari

11:19 AM 7 Comments
        Apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar kata ‘suasana pasar di malam hari’? Bukan, bukan pasar malam. Pasar sayuran terutama. Gelap, suram, kotor, suara musik menghentak-hentak, orang-orang seram, mabuk, menyeramkan, hingga anak gadis dilarang melintasi pasar malam-malam oleh orang tuanya? Humm.. mungkin itu benak anda. Atau saya?
Senin malam, saya dan ibu saya pulang naik angkot sampai Pasar Kranji. Kami berencana melanjutkan perjalanan pulang dengan becak sampai rumah. What’s a pity, jalan menuju rumah saya ada di belakang pasar itu. Begitupun abang-abang becak.
Awalnya saya sudah membayangkan yang seram-seram ketika harus melintas masuk pasar. Yah, lebih kurang seperti sedikit gambaran di awal. Tapi ternyata,

Subhanallah. Taukah, Pasar Kranji malam hari jauh lebih tertib dibandingkan dengan pagi atau siang harinya. Lebih bersih bahkan. Tidak ada tumpukan sampah seperti biasanya. Tidak ada satupun tape yang diputar kencang-kencang. Hanya ada suara orang bertransaksi yang tidak ribut. Tidak pula preman-preman pasar yang beringas dan besar-besar. Yang ada hanya pembeli dan para pedagang yang kalem-kalem. Mungkin justru mereka baru keluar dari peraduannya, memulai hari di waktu malam.

Entah kenapa, aku terpesona. Hanya karena melihat pemandangan pasar malam itu…
Tapi, lebih dari itu ternyata. Atas hal-hal yang belum kita ketahui,
Kawan, berapa sering kita berprasangka buruk?
Depok Pagi Hari,
19 Mei 2009

Simponi Malam

11:12 AM 5 Comments
Simponi Malam
Sebuah nasyid dari Gradasi menggambarkan keindahan malam, sebagai berikut:
Cahya tembaga semburat di barat kala mentari jelang peraduannya.
Rona merah memerah dan memudar, dan kegelapan pun menumpah bumi
Lantang bernyanyi, mengharu malam, sang jengkrik halau sunyi mencekam
Merdu berlagu, “Meruah kelam…”
Sang burung hantu usik keremangan…

Berjuta gemintang menjalin rasi, konstelasi di langit tanpa batas
Berhias rembulan sabit bercahya bak perahu melayari samudra..
Luasnya semesta …. Agungnya pencipta …. Maha kuasa…
Allah… Allah… Allah…

Malam ini berjalan bersama orang tuaku menjenguk tetangga yang sakit, berjalan kaki pastinya. Di perjalanan pulang aku iseng bertanya, “Kok selama di rumah ini ga pernah ngeliat bulan or matahari terbit or pelangi ya?” karna kami baru menempati rumah yang sekarang kurang lebih 1,5 tahun. Lalu tiba-tiba aku teringat 2 kata: simponi malam.
Entah kenapa aku ingin membandingkan Simponi Malamnya Gradasi di atas dengan Simponi Malam versiku. Simponi yang kunikmati tiap malam-malam di akhir pekan dari kamarku. Hhuummm.. jauh berbeda ternyata.
Ibuku sulit tidur jika di kamarku. Berisik, katanya. Tapi kok aku enjoy aja yah? Haha.. secara kalo udah tidur hanya Allah yang kuasa membangunkanku dengan kehendak-Nya =D
Kamarku, berisik. Itu benar. Apalagi kalau malam minggu. Motor, mobil, suara orang-orang yang berjalan kaki… kalau ada orang menelepon dan aku sedang di kamar, pasti deh nanyanya, “Lagi di mana sih Far? Rame amat…” mereka lantas menyangka aku berada di pinggir jalan. Memang benar, kamarku memang ‘di pinggir jalan’.
Tapi, lambat laun aku menikmati. Indera-inderaku beradaptasi secara otomatis. Dan yang terpenting… aku tetap bisa beristirahat dengan nyenyak dan nyaman di kamar. Hwehwehwee…
Malam memang simponi. Namun, apa sih definisi simponi itu? Aku tak tahu. Bagiku, simponi adalah sesuatu yang indah. Mungkin irama, atau lagu. Yang mungkin saja merupakan gabungan dari suara-suara yang biasa saja atau bahkan tidak indah. Tapi karna mereka bersinergi, simponi terjadi dan, indah.
Meskipun berisik, bagiku, itulah simponi malamku, yang bagaimanapun senantiasa menyadarkan bahwa aku ada di bumi manusia. Di sini aku dilahirkan dan di sinilah tempatku berbuat.
Bercita untuk berbuat yang terbaik
Bekasi, May 17th , 2009

Thursday, May 14, 2009

Trip To Skrip… (si)

10:44 AM 7 Comments
Marunda
Entah kenapa akhir-akhir ini sedang ingin menulis mengenai perjalanan. Melulu perjalanan. Setelah beberapa minggu off nulis (ngetik/nge-blog), jadi ngerapel juga nih hari ini, mumpung libur.
Rabu lalu (May 6th, 2009) kusambut pagi dengan dag-dig-dug. Berbekal sms dari teman berisi rute bis dan angkot menuju Marunda, demi kebermanfaatan jangka panjang skripsiku (halllaaahh..). Bismillah.. padahal entah apa yang akan kulakukan setibanya di sana: mencari rumah pak RT-kah, mencari warung kah, atau mencari rumah si Pitung bahkan… belum jelas hingga kakiku melangkah menuju Damai menunggu bis jurusan Priuk. Ketika menunggu, alhamdulillah tekadku terbulatkan melalui pertemuan dengan seorang teman yang juga sedang menunggu bis. Kuceritakan ke-abstrak-an pikiranku menuju Marunda (dengan tanggapan, ‘Jauh bangeeettt’), mengenai bagaimana aku bisa menggali masalah-masalah yang dialami penduduk di sana. Bismillah, aku mencari rumah pak RT atau warung, mana sajalah yang kutemui lebih dulu!
Perkiraan waktu dari temanku yang menunjuki rute via sms itu tepat. Dalam 2 jam aku sampai akhir rute angkot dari Cilincing menuju Marunda Lama. Turun, aku berjalan,,, mencari pemukiman penduduk,, tengah hari bolong,, di kawasan industri yang debunya luar biasa. Masuk ke sebuah gang, berjalan lagi, hingga akhirnya yang lebih dulu kutemui adalah warung. Pas banget lagi haus, beli pop ice sambil ngobrol sama ibu-ibu di sana. Ngalor, ngidul, keluarga, profesi, sejarah Marunda, barulah terungkap bahwa yang kudatangi bukanlah Marunda yang bersejarah yang kumaksud. Ternyata aku sudah di Bulak Turi. Pantesan,,, menurut data yang kudapat, pencaharian sebagian masyarakat sana adalah nelayan.. tapi kata ibu-ibu itu kebanyakan karyawan… Hyaaahh,, akhirnya kubeli lah beberapa renteng pop ice sebagai balas jasa atas informasinya, lalu aku pamit. Menuju Marunda yang “sebenarnya”.
Kutelepon temanku, dia baru bilang kalau aku turun angkot terlalu jauh. Fiiuuhh,, habis aku tidak tahu harus turun di mana. Ya sudah, aku naik lagi angkot yang tadi, turun di rumah susun setelah STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran). FYI, panas sekali saat itu, sodara-sodarah!! Tapi berbekal tekad demi masa depan, BISMILLAH, kuarungi kembali udara-udara penuh debu polusi (lebaaii). Turun angkot, menurut informasi tukang martabak keliling, arah Marunda Pulo adalah lurus bukan belok ke arah rumah susun.
Aku sempat terpikir untuk mengubah subjek penelitianku menjadi warga rumah susun itu, tapi urung ketika beberapa langkah lagi sampai ke “gerbang” bambu bertuliskan “Welcome to Kampoeng Maroenda”, yang membuatku mempunyai kesan, “Di balik gerbang itu ada dunia lain!” dalam pikiranku ada sebuah cagar budaya, masyarakat asli dengan kehidupannya yang berbeda dari sekitarnya. Langsung kukeluarkan handphone, dan aku yang mulai bete kepanasan jadi bergairah kembali =D serasa sebentar lagi jadi turis.
Benar saja, baru 2 langkah memasuki ‘dunia itu’, aku langsung diterpa angin laut yang sangat segaaarrr… bebas polusi so pasti. Seketika itu juga aku jadi bergairah. Lupa panas dan penat yang dari tadi hinggap. Selamat datang skripsi!!
Gerbang itu disambung dengan jembatan di atas air sepanjang kurang lebih 10 meter dengan lebar 1 meter yang bisa dilewati motor. Di kanan dan kiri jembatan itu banyak kios-kios di atas air, bahkan ada rumah dengan bangunan seperti permanen (tembok), tapi di atas bambu-bambu di atas air! Aku takjub... Di perairan sekelilingnya, kutemui rumpun-rumpun bakau. Subhanallah,, aku baru pertama kali melihat bakau in front of my eyes!!
Berjalan terus lurus, di depan aku melihat ada rumah panggung besar bercat merah kecoklatan (atau coklat kemerahan?). Kutanya seorang adik kecil di sana, “De, ini ‘rumah si Pitung’ itu ya?” “Iya mbak, masuknya dari belakang”. Hwaaa,,, aku benar-benar merasa jadi turis! Langsung asik foto-foto deh ^^.
Aku terus berjalan, menyusuri rumah-rumah penduduk yang sangat sederhana… eh, ada juga yang lumayan bagus kok. Hingga menemukan sebuah –lagi-lagi— warung yang cukup lengkap sepertinya, trus beli roti, trus ngobrooollll… nah, ini dia ternyata, The Real Marunda! Mayoritas penduduknya nelayan ‘yang tiap hari dapat duit’ dari hasil melaut, yang berimbas pada kesadaran pendidikan yang belum tinggi. Kok bisa? Ya, karena tiap hari mereka selalu mendapat uang segar, mereka tidak biasa mengatur keuangan seperti halnya karyawan yang digaji hanya sebulan sekali; ‘gimana caranya biar nih duit cukup buat idup keluarga sebulan’. Itu juga sebabnya mengapa –ternyata— gaya hidup mereka konsumtif. Juga, karena tidak terbiasa mengatur keuangan, tidak biasa menabung, akhirnya sulit menyekolahkan anak-anak mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Apalagi Marunda Pulo jauh dari mana-mana, jadi meskipun biaya sekolah gratis, ongkos kan tidak gratis… gittuuhh… Tapi itu hanya sekelumit dari isi perbincanganku dengan ibu-ibu pemilik warung di sana.
Setelah kurasa cukup, aku pamit dan kembali ‘berwisata’. Ah, aku belum ke masjid Al-Alam, yang konon katanya masjid itu tidak pernah dibangun, tapi dengan ajaib bisa ada. Dan katanya sih si Pitung pernah shalat di sana (pertanyaanku, terus kenapa?). Lagi-lagi, aku menyusuri pinggir laut utara Jawa, menikmati hembusan anginnya yang menyenangkan, menuju Masjid Al-Alam. Aku menyusuri jalan setapak, tampak masih baru diaspal, langsung berbatasan dengan perairan (yang ternyata empang, bukan laut!! Gede banget abisnya, kirain nyambung ama Laut Jawa) yang sepertinya berair payau, masih dengan sedikit bakau-bakau. Konon katanya, di sana banyak hutan bakau yang lebaaattt… tapi sekarang tinggal sedikit tersisa, sayang.
Jalan yang kulewati tidak lebar, kira-kira 1,5 meter saja, tapi panjang. Di kanan air, kirinya dibatasi oleh pagar seng sepanjang jalan itu. Di sepanjang jalan, aku melihat sesuatu yang menurutku agak ganjil. Beberapa orang menyandarkan sepedanya ke pagar seng tersebut, lalu berdiri di atas sepeda yang tersandar itu, menghadap kedalam pagar (lihat orang-orang di belakangku ). Penasaran, kuangkat tinggi-tinggi handphone-ku hingga lebih tinggi dari pagar seng, lalu kupotret dalamnya pagar seng itu. Yang kudapat, hanya gambar sampah-sampah mengambang di air. Tak puas, aku menemukan sebuah lubang di pagar seng itu. Aku pun mengintip.
O,ow,, ternyata di dalamnya adalah empang juga!! Dan orang-orang itu sedang memancing!! Bayangkan… betapa pegalnya (lhoh?). menurut informasi yang kudapat dari seorang bapak-bapak yang melintas dan memang berniat melakukan hal yang sama (memancing dari atas sepeda, wew), memang banyak orang yang suka memancing di sana, meskipun ‘terlihat’ ilegal dan ngumpet-ngumpet.
Tapi sayang,, karena waktu tak mengizinkan dan kulihat masjid Al-Alam masih jauh di sana (meski atapnya merah sudah terlihat), aku mengurungkan niat untuk mengunjunginya. Sudah sore. Akupun memutar haluan kakiku untuk pulang. Berat meninggalkan kesenangan berada di sana, namun, ‘ah, masih banyak waktu besok-besok’ kupikir. Kalau jadi penelitian di Marunda kan akan sering ke sana berarti.
Lalu aku bertemu dengan adik temanku yang menunjuki jalan ke Marunda itu. Temanku itu ikhwan, adiknya akhwat, masih SMA. Tapi ya Allah, rasanya aku melihat ikhwan itu memakai jilbab =D saking miripnya kakak-beradik itu. Ada yang tau siapa?
Satu hal yang membuatku tak habis pikir. Sepanjang jalan yang kulalui adalah kawasan industri, banyak pabrik-pabrik, jalanan aspal yang debunya ‘dinaikdaunkan’ oleh truk-truk besar penuh muatan. Luar biasa polusinya. Hingga ke terminal Tj. Priuk. Tapi kuperhatikan, sepanjang jalan, hanya aku yang menutup hidung atau wajah dengan tissue. Sensory adaptation yang menyedihkan… bahkan aku baru bebas bernapas dan melepas hidung dan wajah dari penutup apapun setelah duduk di patas AC yang membawaku kembali ke dunia nyata: Depok perjuangan.
Alhamdulillah..
Bekasi tercinta, May 10th 2009

Marunda, Trip To Skrip (si)

10:37 AM 0 Comments

gerbang 'dunia lain', Marunda Pulo

perjalanan yang entah, bermodalkan tekad, seorang diri... diawali dengan kebingungan dan gondok dengan polusi berat, diakhiri dengan menjadi turis =)

Wednesday, May 13, 2009

Salemba

11:20 AM 6 Comments
Salemba…
Betapa perjalanan itu mengakrabkan, seperti hadits nabi. Aku suka Salemba. Salemba bagiku saat ini berarti perjalanan bersama BEMers. BEMers tercintah. Pertama kali merasakan “indahnya” Salemba adalah ketika kunjungan pertama BPH ke FK dan FKG. Tidak semua, memang. Bahkan BPH putrinya hanya aku dan Dita (danus). Tapi bagiku yang merupakan new comer, perjalanan bersama teman-teman  baru itu sangat menyenangkan. (Hehee,, dari tadi isinya menyenangkan mulu, ga ada ide pikiran lain)
Perjalanan kedua kami adalah waktu BEM Sport With Faculty, waktu itu futsal lawan FK. Tidak penting memang kalah atau menang (karena selama ini kami kalah mulu. Hheee..), selain silaturrahim dengan FKers, bagiku itu momen sangat berharga untuk PDKT dengan BEMers, terutama waktu itu anak-anak Kremas (Kreasi Mahasiswa).  13 – 4 skor waktu itu. BEM UI, tepat, 2 gol di awal, 2 gol di akhir ^^. Dari target kami SERI waktu itu. Tapi sekali lagi,,, yang penting senang =D
Ketiga adalah BGTF (BEM Goes To Faculty) kerjaannya Biro Humas. Waktu itu BGTF rapelan, 2 fakultas sekaligus, FK-FKG. Fiiuhhh,, yang ini ajang mengakrabkan diri dengan BPH dan tentunya para staf yang banyak hadir, terutama anak-anak Humas. Berbagi cerita dan keluh dengan para kepala PSDM di 2 fakultas tersebut, ternyata masalah kami relatif sama. Tapi FKG merasa lebih enjoy dengan kondisi SDMnya, saat si kabir FK terlihat pyusssiiinggg banggettss.. jadi merasa punya banyak teman senasib =D Hyah, betapa rumitnya manusia… Alhamdulillah waktu itu aku sudah sembuh dengan ke-BT-anku ngurus masalah SDM yang ga abis-abis (meski masalah belum juga selesai, hhe..). tapi tetep mesti jaim dong, BEM UI gituh..
Review, May 10th 2009

20 Jam Bersama Deputi *panjang, ga dibaca juga gapapa, cuma pengen cerita*

9:37 AM 4 Comments
“Ini, orang apa bukan sih?” kata Dedi waktu mereka ulang awal mula kehadiranku dan deputi di villa itu. Jam 7 pagi hari Sabtu baru ditelepon, rencananya diminta mengisi acara hari Minggu. Tapi “orang ini” malah minta malam itu juga. Maksudnya aku, berdasarkan pertimbangan kondisi fisik dan psikologis =).
Awalnya, aku panik luar biasa. Acara yang kupikir dibatalkan karna tak kunjung ada berita, ternyata jadi! Aku juga sih, yang meminta acaranya malam itu juga... Ketika diberitahu di sana tidak ada laptop, aku nyengir sendirian, ‘laptop sih ada, tapi materinya yang belum ada’. Panik aku mencari-cari orang yang bisa menemani. BPH BEM, teman kosan, adik kelas, semua sulit. Dan, ah! Kenapa tidak mengajak deputiku saja???
Tak dinyana, tanpa banyak tanya, deputiku itu langsung menyanggupi, “Mau Kak!” padahal aku yakin 100%, dia juga ga tau apa yang mau disampaikan xP

Sebelum berangkat ke Depok, aku menelepon beberapa orang, meminta masukan materi. Satu diantaranya adalah orang yang mendelegasikan kami untuk mengisi acara ini (KetUm BEM UI). Bismillah, hanya dengan sedikit gambaran konsep dan uang saku yang ngepas ongkos juga, aku berangkat.
Singkat cerita, aku bertemu dengan deputiku itu (namanya Dhila) pukul 12.15. bergegas dari kosannya ke stasiun UI, memesan Pakuan. Yang penting cepat dan ga macet!! Alhamdulillah ga lama, kereta datang. Dengan sangat nyamannya kami menyingkirkan tas ke bangku sebelah, lalu berdiskusi dan mencatat, bagaimana alur penyampaian materi nanti malam. Sampai stasiun Bogor sesuai target, bahkan sebelum target. Jadi, makan dulu lah ya... Trus naik angkot.. Masya Allah, itu masih sangat siang, jam14 kurang, maceeettt luar biasa. Di L300, angkutan ke-3 yang kami naiki, kami bertualang luar biasa. Melewati jalur alternatif, sempit, menanjak sangat curam, menurun, bagai roller coaster,, parah banget dah! Alhamdulillah, setelah sekian lama kami terjepit dan L300 mulai meniti jalan utama, kami melihat secercah harapan (halah), Masjid At-Ta’awun! Masjid gede yang di puncak menuju Bandung itu lhoh... Jauh ya?? Nah, dengan adanya petunjuk masjid itu, kami berpikir, ‘sebentar lagi sampai’. Kukirimlah sms pada Dedi untuk menjemput kami. Tapiii... jauh ternyata dari masjid itu! Hwaa..
Dedi bilang, kalau tidak macet, ya, 1 jam-lah dari stasiun Bogor... Tapi kami menghabiskan 3 jam saudara-saudara! Alhamdulillah.. menyenangkan sekali ketika turun... Tubuh rasanya legaa..tidak ada yang menghimpit kanan-kiri. Udara dingin... pemandangan indah.. ga lupa foto dooongg.. =)
Sepanjang perjalanan yang sangat panjang di L300, kami banyak bercerita. Dasar emang kami tuh udah dari sananya cerewet kali ya... Jadi ga abis-abis.. Cerita tentang kami dahulu, di daerahnya di Medan, kampung mamaku, dll. Sesekali kami terdiam, merenung masing-masing, lalu bertatapan, “Hwaaa... apaan nih gamesnya??!!” Masih merancang bahkan...
Alhamdulillah sampai villa pukul 17.00. Tegur sapa bentar, langsung shalat ashar. Dhila langsung kuminta buka laptop, mensistematiskan pikiran-pikiran kami sepanjang perjalanan tadi, membuat power point. Trus aku ngobrol bentar ama Dedi, terkait persiapan acara ba’da maghrib nanti. Trus, langsung masuk kamar dan berkutat kembali dengan laptop.
Akhirnya! Selesai juga! Walaupun, kami akui sangat, cukup minimalis. Sesuai dengan waktu yang ada untuk bersiap.  Dengan kami yang belum berpengalaman.. mata adik-adik panti yang sudah mulai kiyep-kiyep, lengkaplah sudah.. tinggal niat yang menguatkan. Tapi entah, katika kami meminta feed back usai acara pada Dedi dan temannya Toto, katanya bagus kok. Pas ngenanya, soalnya itulah yang sangat kurang dari mereka: keberanian untuk bermimpi. Mereka cuma ngasih feedback, besok-besok mungkin pake video... Yups. Kami dapat dengan sangat mudah menebaknya. Ah, ya sudahlah.. pelajaran. Sampai pulang pun, kami masih sering nyengir-nyengir kalo inget performa kami malam itu =D
Malam minggu itu, kami tidur dengan posisi entah, meringkuk-ringkuk seperti bayi dalam kandungan, beramai-ramai dengan adik-adik panti di sebuah kamar. Esok subuhnya, seperti dugaanku, aku orang pertama yang terjaga. Semua kesiangan! Pantas saja karna mereka tidur sangat larut ba’da acara senang-senang malam itu. Untung kami ga ikut.. ga lama setelah dikasih kamar, langsung beres-beres, dan, terlelap lah kami.
Kira-kira jam 6 pagi kami pamit. Alhamdulillah dengan bertabur doa dari ibu-ibu pengurus panti,, aamin, aamin, aamin… Rencananya sih kami mau jalan sampai ke depan, menikmati dinginnya udara di sana dan sekalian, foto-foto. Hehehh.. Tapi Dedi dan temannya memilih mengantarkan, jauh katanya. Seperti datang kemarin, aku membonceng deputiku, dan Dedi dibonceng temannya dan membawakan tasku yang cukup berat. Ternyata memang, jauh =P
Kami menolak sarapan dulu di villa sebelum pulang. Alasannya karna buru-buru, dan, malu ah, yang lain belum ada yang makan. Tapi udara dingin turut mendukung kelaparan kami. Pas banget nemu indomart. Beli sarapan lah kami di sana. Tapi, eh, di depan ada yang jual gemblong. Menggiurkan. Beli juga deh =D
Tidak lama, L300 datang. Di sepanjang jalan yang sangat lancar dan sepi, kami asyik mereview perjalanan kami sejak kemarin, di alam pikiran masing-masing. Masih saja tersenyum-senyum sendiri, mengingat kedodolan semalam, ah, malu kalo inget. Tapi menyenangkan, sangat. Lagi-lagi seperti berangkat, sesekali kami bertatapan sambil tetap senyum-senyum, terus, tertawa lagi ingat semalam. Dudul, dudulll,,,
Dan ternyata benar! Hanya 1 jam kami L300! Yang bikin lama macetnya ternyata. Parah banget…
Oh my deputy,,, how I love our journey. And how I love you =)
Bogor-Depok-Bekasi,
April 12th, 2009

Wednesday, April 8, 2009

Hanya Sepotong, untuk Kemajuan Total

8:27 AM 13 Comments
“….Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (QS: Ar-Ra’d: 11)
Konon, di tahun 1970-an, seorang pejabat Korea Selatan datang berkunjung ke Indonesia, tepatnya ke Aceh, dan masuk ke dalam masjid Baiturrahman (yang masih tegak berdiri ketika tsunami menghantam itu lhoo..). Dinding masjid besar itu berukir kaligrafi-kaligrafi yang indah. Pejabat Korea Selatan itu ingin tahu, “Apa itu?” Kemudian dijelaskan bahwa itu adalah potongan ayat Al-Qur’an. “Apa artinya?” tanya sang pejabat lagi. Ternyata arti ayat Al-Qur’an di kaligrafi itu adalah ayat 11 dari surat Ar-Ra’d.
Si pejabat sangat terkesan dengan ayat Al-Qur’an itu. Saya tidak tahu apakah pada akhirnya ia masuk Islam, namun ayat itu begitu memotivasinya. Sepulangnya ke negerinya, ia menggunakan ayat itu untuk menciptakan semangat membangun pada masyarakatnya. Potongan ayat itu dijadikan jargon pembangunannya!
Dan hasilnya, kita bisa lihat seperti apa kemajuan Korea Selatan kini.
Sobat, kalau kita perhatikan lebih jauh ayat ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa Allah menghendaki adanya usaha kita untuk berubah. Kemauan kita untuk bangkit. Maka jangan heran bila ada orang yang hanya merutuki ‘di manakah Tuhan yang katanya pemurah’ untuk memberinya rizki, meluluskannya ujian, mengubah takdirnya menjadi lebih baik, tanpa usaha keras, maka takdirnya tidak akan berubah. Pernah dengar sebuah quote, “Usaha tanpa doa; sombong. Doa tanpa usaha; bohong” ? Yah, kira-kira seperti itu lah.
Karna Allah menghendaki kita untuk banyak punya pahala di hari akhir kelak. Melalui usaha-usaha kita untuk mengubah takdir kita. Usaha-usaha kita untuk menjadi lebih baik. Maka Allah menghendaki kita “berproses”.
Bila kita perhatikan lebih lanjut ayat ini secara keseluruhan, Allah memulai potongan ayat ini dengan ‘keadaan kaum’. Tapi coba perhatikan lagi, di akhir Allah menutup dengan ‘keadaan DIRI mereka sendiri’. Pertama, bahwa perubahan itu butuh usaha aktif dari agen-agen pengubahnya. Kedua, bahwa perubahan yang besar (kaum) harus dimulai dari perubahan yang kecil (diri). Artinya, bila kita ingin mengubah dunia, atau masyarakat, atau almamater kita, atau bahkan keluarga kita, maka mulailah dengan mengubah diri kita sendiri.
Naah, sobat, inginkah kita menjadi orang yang bermanfaat dengan melakukan perubahan yang baik? Untuk almamater kita misalnya yang telah banyak memberikan hal berharga untuk kita (ilmu, sahabat, guru-guru, kenangan, etc), apa yang bisa kita sumbangsihkan, minimal sebagai balasan? Mungkin tidak serta-merta kita bisa menyumbang dana dalam jumlah besar untuk renovasi dan memperbagus bangunan fisiknya. Atau kontribusi secara kontinu untuk pengembangan diri siswa-siswanya. Lalu apa?
Sobat, percaya deh, kita tetap bisa berkontribusi dengan mengharumkan nama baik almamater kita. Dengan prestasi-prestasi kita.
Kadang kita cukup hanya dengan meningkatkan prestasi yang sudah ada. Atau memperbaiki yang salah. Menambah yang kurang-kurang. Menambal yang bolong… Tapi kadang kita dihadapkan pada ladang pahala yang lebih besar: memulai semuanya.
Dengan memulai yang sebelumnya tiada, memang tidak mudah. Tapi bisa. Orang-orang yang memulai kebaikan dan membuat hentakan-hentakan sejarah dengan mengukir prestasi, bukanlah orang-orang biasa. Maka jadilah orang yang luar biasa. Untuk berkontribusi lebih bagi almamater kita. Bagi bangsa kita. Dimulai dari diri sendiri. 
“Orang kecil hanya hidup untuk dirinya sendiri
dan mati sebagai orang kecil.
Sebaliknya, orang besar hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya pada orang lain,
dan tidak akan pernah mati selamanya”
(Sayyid Quthb)
Untuk adik-adikku yang
akan menempuh Ujian Nasional,
Depok, 8 April 2009

Wednesday, April 1, 2009

pelajaran kedua

2:38 PM 18 Comments
Pelajaran kedua. Dalam hal apapun, percayalah, terlalu banyak sisi positif yang pantas untuk diberikan apresiasi. Bahkan mungkin dapat dikembangkan lebih lanjut. Hanya saja itu menuntut kelapangan hati dan pikiran kita untuk dapat menangkap hal-hal positif tersebut. Bukan mata, karna sejatinya mata yang sehat pasti akan dapat melihatnya. Tapi mengenai ’kesadaran’ hingga mampu memberdayakannya? Mata berkata, “Maaf, itu bukan urusan gue”.
Hanya menuntut kelapangan hati dan pikiran. Hanya? Dibutuhkan pemahaman mendalam mengenai esensi hal tersebut, hingga parameter yang dipakai jangan sampai meleset kepada hal-hal yang sifatnya printilan (duh, yang ga tau peristiwanya apa, maaf ya kalo jadi bingung). Pada akhirnya lapang karna hati dan pikiran itu hanya akan berfokus pada pencapaian-pencapaian yang dituju sesungguhnya. Lapang karena tidak dipusingkan dengan hal-hal kecil yang kadang hanya merupakan debu pengganggu.
Selain itu, dibutuhkan juga hati dan pikiran yang bersih (mau lengkap? baca aja tazkiyatun nafs). Yang selalu berpikir positif. Yang selalu dapat menyingkap hikmah kebaikan dari apapun yang terjadi. Mungkin ini mirip-mirip dengan teori yang sedang ‘in’ di fakultas saya: Positive Psychology, Appreciative Inquiry, dan lain-lain ‘kerabat mereka’. Yah, intinya sih, setiap kita memang punya kelemahan. Harus diperbaiki. Tapi jangan lupa, bahwa tiap diri kita juga punya kekuatan yang HARUS dikembangkan. Kelebihan kita itu, amanah.  
Nah, jadi inti dari tulisan ini adalah sebagai berikut. Untuk menjadi orang/organisasi yang efektif memberdayakan potensi-potensi kebaikan yang dimilikinya, yang harus kita lakukan adalah upaya-upaya untuk membersihkan hati dan pikiran, yang akan menjadikannya lapang. Ini akan membantu kita bisa melihat lebih dekat (kalo kata Sherina dulu kala) mengenai esensi dan hakikat sesuatu, dan ’membingkai’ diri anda (pikiran dan perilaku) menjadi lebih positif.
Depok, 1 April 2009

Tuesday, March 31, 2009

Hikmah dari Depok, 28 Maret 2009

2:01 PM 4 Comments
Rekans, apapun yang kalian lakukan hari itu, kalian semua, telah memberiku pelajaran yang sangat berharga.
Pelajaran pertama (pelajaran kedua dst di tulisan berikutnya). Belajar bahwa menjadi idealis juga harus berpijak pada kenyataan, bila tidak ingin menjadi penyandang autisma. Karna hanya dengan melihat kenyataan lah kita bisa berpikir dan merancang kondisi yang ideal. Nah, masalahnya adalah, bagaimana menjaga kadar idealisme dan realisme tersebut agar tetap seimbang dan sehat?
Apabila kadar idealisme lebih besar atau bahkan jauh melampaui realisme seseorang, orang itu akan memiliki optimisme dan semangat yang tinggi. Namun karna tidak berdasarkan pada kenyataan, maka idealisme itu merupakan idealisme yang rapuh dan tidak akan pernah bisa terwujud. Di sini dilibatkan pemahaman integral terhadap medan, analisis kebutuhan dan masalah, menyintesis ‘benih-benih solusi’, dan kemampuan menyusun strategi. Ketika ia kembali menyadari ‘dunia nyata’ dimana idealismenya tidak (belum) dapat berkembang subur, maka akan lahirlah sangat banyak kekecewaan. Dan seketika runtuhlah optimisme dan semangat itu.
Sebaliknya, apabila kadar realisme lebih besar daripada idealisme, maka seseorang akan tumbuh menjadi manusia kecil yang tidak akan pernah berani bermimpi (apatah lagi berusaha?). Apalagi yang masih tersisa dari sikap pesimis??! (tulisan terkait)
Lalu, kita kembali ke masalah, bagaimana menjaga kadar idealisme dan realisme tersebut tetap seimbang dan sehat?? Caranya, ya itu tadi. Dibutuhkan kemampuan memahami medan (kenyataan) secara integral, analisis kebutuhan dan masalah, menyintesis peluang dan ‘benih-benih solusi’, dan kemampuan menyusun strategi. Nah, bagaimana langkah konkretnya?
…………………………………………………………………………………………………..
Sama sekali tidak menjawab. Mohon maaf. Karna skill-skill tersebut merupakan life skill menurut saya, yang dipelajari dari pengalaman (concrete experience) yang tidak cukup hanya 1-2 kali. Apalagi hanya membaca tulisan reflektif yang tidak ilmiah seperti ini.

Kalau ada yang mengartikan tulisan ini adalah kemarahan,
Maka kemarahan itu adalah kemarahan saya, yang ditujukan untuk diri saya pribadi.
Tapi kalau tidak, ya, bagus lah.
Sejatinya saya hanya ‘agak geram’ dengan diri saya yang terlalu. Yang selalu.
Hanya ingin menulis kok…
                                                                                                Bekasi, 29 Maret 2009

Tuesday, March 24, 2009

Aku Ingin...

1:12 PM 12 Comments

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..
(Aku ingin- Sapardi Djoko Damono)

Lalu sahabatku MonMon menambahkan,

Farzu,
Aku ingin menggarukmu dengan sederhana….

Nebeng komputer DPM UI,
24 Maret 2009
 


Tuesday, March 17, 2009

Cucu ke-19

12:13 PM 93 Comments
Ternyata adik bungsuku ini ketua OSIS! Di sebuah SMP negeri ternama di Jakarta. Tak dinyana, menanggapi kekagetanku ia hanya berkata, ”Lah, kirain Kak Farah udah tau...”. Adik bungsu kami, betapa mengesankan.
Kami sangat dekat, punya minat yang sama, idola yang sama (ayah kami masing-masing), cara pandang yang sama (meski ia masih labil karena masih remaja), dan wajah yang katanya mirip (yang ini aku agak sanksi, dia cantik soalnya, kan aku manis). Senang belanja juga kalau lagi mudik (belanja kerajinan di Rajapolah, Tasik). Adik bungsuku, hanif sekali. Ia konsisten berhijab dalam usianya yang masih sangat muda (usia yang sama saat aku masih sering lepas-lepas jilbab). Ia menjadikanku referensi untuk bertanya maupun bercerita. Jadi geer. Hehe,,
Adik bungsuku, lebih cepat dewasa dibandingkan aku. Saat aku dan kakaknya (adikku juga) curhat tentang hal-hal yang sangat khas dalam kehidupan ABG, ia bercerita tentang organisasinya, teman-temannya, hikmah-hikmah yang ia dapatkan, pokoknya jelas lebih berbobot daripada ceritaku waktu seusianya dulu. Aku jadi malu...
Adik bungsu kami,,, tetap saja masih ABG. Saat aku sms-an dengan seorang kakaknya, ia mengirim sms, ”Kok sms-nya sama Kak Uul doang siihh??” Hihi, cemburu. Padahal maksudku ingin lebih dekat dengan semua adikku secara personal, yang artinya akan tiba giliran untuk adik bungsuku ini. Tapi, yah, namanya juga ABG...
Adik bungsuku ini, punya banyak ibu. Ibu pertama adalah ibu kandungnya, ia memanggil beliau, ”mama”. Ibu keduanya, ibuku, yang dipanggilnya dengan, ”mama aris” (kenapa bukan mama farah??). Ibu ketiganya adalah uwakku, ia memanggilnya ”mama dada”. Padahal uwak kami banyak. Tapi untuk ”mama dada”, hanya waktu ia kecil saja, karena sekarang panggilannya untuk beliau sama dengan kami, ”wak dada”.
Adik bungsu kami,,, cepatlah dewasa dan lakukan hal terbaik yang bisa kau lakukan untuk dunia..
                                                                                               Depok, Mahalum Psikologi
30 Desember 2008

Betapa Motivasi yang Kita Berikan untuk Rekan Kerja Kita Sangatlah Bermakna

12:07 PM 14 Comments
Suatu saat di sebuah kamar rumah sakit terdapat 2 orang pasien. Kamar tersebut memiliki sebuah jendela di sebuah sisinya. Selama berhari-hari, kedua pasien tersebut dirawat di kamar itu. Seorang pasien yang tempat tidurnya tidak berdekatan dengan jendela tampak lebih parah penyakitnya hingga ia tidak boleh bangkit untuk duduk sekalipun. Namun tidak demikian halnya dengan pasien yang tempat tidurnya berdekatan dengan jendela.
Berhari-hari kedua pasien itu dirawat dalam kamar tersebut. “Ceritakan padaku apa yang kau lihat di luar jendela”, kata pasien yang tidak boleh bangun pada temannya yang dapat bangkit duduk di sebelah jendela, pada suatu sore.
“Di luar ada taman yang setiap sore ramai oleh anak-anak yang bermain. Mereka sangat lincah, ceria, dan menyenangkan sepertinya ……..”.
Sore berikutnya dan seterusnya, pasien yang berdekatan dengan jendela itu bercerita pada teman di sebelahnya tanpa diminta, bagaikan sebuah rutinitas.
“Di luar ada pedagang balon warna-warni, tukang es krim yang ramai dikerubungi anak-anak……”.
“Wah, ada pelangi! Indah sekali warna-warninya… Andai kau bisa bangkit untuk duduk saja, kau pasti akan merasakan ketenangan yang sama denganku saat melihatnya”, pada sore berikutnya. Pasien di dekat jendela sedemikian menyenangkan dalam menceritakan pemandangan di luar sana, hingga temannya yang tidak dapat menyaksikan pun terhibur dan ingin segera sembuh agar dapat keluar dari ruang perawatan itu dan menyaksikan sendiri keindahannya.
Hingga pada suatu hari, pasien di sebelah jendela meninggal dunia mendahului temannya yang tampak berpenyakit lebih parah. Ternyata penyakit pasien yang meninggal itu itu lebih parah. Pasien yang tersisa meminta tempat tidurnya dipindahkan ke dekat jendela. Ketika ia berada di sebelah jendela dan dinyatakan sudah boleh bangkit untuk duduk, ia langsung melihat ke luar jendela di sebelahnya. Namun apa yang ia lihat di sana?
Ternyata pemandangan di luar jendela hanyalah sebuah tembok suram. Tembok suram. Tanpa taman, anak-anak yang lincah bermain, balon warna-warni, pelangi…
Dan ketika ia bertanya pada perawat, ia baru mengetahui bahwa temannya yang sering menceritakan pemandangan di luar jendela adalah seorang tuna netra…
Maka keindahan itu hanya ada dalam pikirannya. Pikiran indah yang dapat membuat orang lain merasakan keindahan yang sama, dan melakukan hal lebih jauh yang dapat ia lakukan: memotivasinya. Dan membuatnya semakin bersyukur dan bersemangat menjalani hidup, keluar dari ‘sakitnya’.
(Trie Setiatmoko, untuk menutup rapat BPH BEM UI, Senin 2 Maret 2009)
Depok, 17 Maret 2009

Monday, March 16, 2009

Masih Di Sore yang Sama Ketika Aku Mendapatkan Jawabannya

8:42 AM 2 Comments
Awalnya pertanyaanku tentang kenapa semua orang suka pelangi berbalas istilah, “Tau istilah rumput tetangga lebih hijau dari rumput rumah sendiri?”. Tau, meski rumahku hampir tak berumput.
“Itulah mengapa kita menyukai pelangi, coz we don’t have it… Mobil mewah jika telah kita miliki maka akan terlihat biasa-biasa aja… Tau rasanya ketemu orang yang jarang lu temuin?” katanya.
“Tergantung. Kalo gw ‘suka’ org itu, ya pastinya seneng bgt. Iya ya, seperti pelangi. Ih, pintar! Tapi lain lagi kalo orang itu ga gw sukain. Yupz, trims masukannya, sudut pandang yang unik”, balasku.
“Sebagian keindahan dunia terletak pada warna.. Birunya laut, hijaunya gunung, kuning jaket UI, dll. Hampir semua terangkum di pelangi.”
“Betul… Tapi yang jadi +adalah:
 +Ternyata keindahan pelangi itu universal, ga peduli selera dan karakter orang yang beda-beda.
+Keterpesonaan orang pada pelangi selalu melibatkan emosi, ya ga?” Tanyaku memperjelas pertanyaan.
“Yup, sama spt terpesonanya manusia pada surga.. Slalu mengandung emosi.. Keduanya dpt membuat manusia terharu, senang, bahkan menangis.”
“Iya kali ya..pelangi bawa-bawa bau surga jg. Tha’s why lagu anak-anak ttg pelangi blg, ‘alangkah indahmu…Pelukismu Agung, siapa gerangan’. Pantes aja, ‘ciptaan Tuhan’….” Akhirnya aku menarik kesimpulannya sendiri…
            Nah, bagaimana dengan anda, sudah bisa menyimpulkan kan?!
            Lalu temanku itu bertanya, “Far, kenapa pelangi itu datangnya setelah hujan?”
            Kubalas dengan sms temanku 085691xxxxxx. Tapi dia malah ngejayuz, “Bukan, jawabannya sebagai pelipur lara orang yang kebanjiran…” halaaahh…
Bekasi, 15 Maret 2009

Calon Menteri Nih…

8:40 AM 5 Comments
“Liat ajah, nanti aku yang jadi Menteri Pendidikan”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari lidahku kira-kira 1 tahun yang lalu. Di gedung hijau PPMT, di depan loket kemahasiswaan, ketika sedang kesal dengan Dikti karena anggaran PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) kami tak kunjung turun padahal hari pelaksanaan program semakin dekat. Aku tak sempat berpikir waktu itu, kenapa tidak jadi Dirjen Dikti saja, kenapa langsung Menteri Pendidikan.
Kenapa ya? Ya, paling tidak Menteri Pendidikan lebih berkuasa daripada Dirjen DIkti. Jadi ingat juga tentang keluhan orang-orang tentang kurikulum yang terus berubah dalam waktu singkat yang sangat menyulitkan dan tidak efektif. Juga teringat akan “harusnya pendidikan kita….. harusnya….. harusnya…..”. Juga tentang UU BHP yang waktu itu masih jadi RUU dengan banyak sekali perdebatan. Dan yang terpenting, sangat banyak perbaikan yang dapat dilakukan untuk bangsa ini yang harus dimulai dari pendidikan.
Pendidikan. Meski sebenarnya saya lebih berminat untuk mendalami masalah-masalah sosial dan amat tertarik pada psikologi sosial, tapi rasanya saya akan membangun minat yang lebih dalam akan bidang ini. Terutama psikologi pendidikan. Kalau saja saya angkatan 2006, maka saya akan memilih jadi SoDik (berharap seperti Abu Bakr dan Aisyah). Tapi maksudnya bukan Shadiq, melainkan SoDik, artinya saya memilih peminatan Sosial dan penDidikan. Hehe…
Tapi setelah ikut seminar jobfair yang diadakan oleh departemen P&K BEM F.Psikologi beberapa bulan yang lalu, saya jadi terobsesi untuk kerja kantoran jadi HR. Terobsesi, dan optimis bisa survive, insya Allah. Jadilah saya merombak ulang (lagi) peta hidup saya, memajukan usia dan tahun target jadi MenDikNas, dan mengubah beberapa target sebelum jadi menteri.
Tetap ada kebingungan yang menemani, membuatku teringat akan seorang sahabat tercintah yang ingin merenda masa depan bersama (ups, jangan berpikiran macam-macam lho), lalu mengirim message. “Aku pengen jadi MenDikNas usia 41 thn di tahun 2029, pengen punya LSM di bidang pendidikan usia 30 di tahun 2018. Tapi pengen kerja di kantor juga jadi HR. Tapi kan mau ngambil S2-nya pendidikan. Gimana dong?”.
SMSku berbalas angin surga, “Begini alurnya my sista: S2 di London ambil bidang pendidikan, trus kerja di kantor jadi HR sambil nabung buat diriin LSM, trus usia 30 diriin LSM sambil tetap kerja di perusahaan kalo mau, terus jadi MenDikNas deh”. Hwaaa,, begitu lapangnya.. Makanya, kalau mikir jangan yang ribet-ribet dulu Non…
Kalau ada teman yang berkata ingin menjadi istrinya menteri, aku ingin yang jadi menterinya! Kalau suamiku, jadi presiden dooonngg,,, hehehehe,,, Tapi aku ga mau jadi istri presiden, aku maunya suamiku jadi presiden. Tau perbedaannya?? (halah, apaan sih…)
Bekasi, 15 Maret 2009

Mejikuhibiniu

8:09 AM 10 Comments
Bukan, ini bukan sekedar ‘tentang pelangi’.
“Terkadang Allah hilangkan sekejap matahari, lalu Dia turunkan hujan badai. Lelah kita menghadapi getirnya hidup, rupanya Dia ingin menghadiahkan kita pelangi…” (085691xxxxxx)
Jangan bersedih karena ujian yang menimpa. Karena semakin gelap malam berarti semakin dekat waktu fajar (ini namanya metafor yang menjelaskan metafora). Demikian kira-kira maksudnya.
“ ……. Eh, eh, Far, ada pelangi, liat deh” (085215xxxxxx)
Padahal saya sudah bilang sedang ada di rumah –yang berbeda kota pastinya dengan tempat teman saya itu melihat pelanginya. Tapi dia masih saja menunjukkan “arah MIPA ke FKM” langit tempat pelangi itu berada. Padahal di kota saya tidak hujan sama sekali, jadiii,,, ya tidak ada pelangi pastinya…
“Farah tau ga? Masa tadi gw nelp tmn truz dy nyeritain ttg pelangi yg td… Trus skrg gw lg ngajar eh murid gw ngomongin pelangi yg td jg.. Kasian ya yg td ga liat,. Hehe,,” (085215xxxxxx). Trus abis itu dia demam (apa hubungannya??).
Ada apa ya dengan pelangi? Semua orang yang saya tau selalu terkesima dengan barisan warna-warni yang melengkung dengan sangat sederhana di cakrawala itu. Hingga sebuah lagu anak-anak diciptakan tentangnya oleh sang maestro (ada yang ingat nama pencipta lagunya?). Mungkin warna-warni indahnya. Hanya itu? (tidak layak juga dikatakan ‘hanya’ sih). Maksud saya, adakah lagi alasannya?
Seorang adik yang sangat melankolik ingin menangis ketika melihat pelangi di suatu sore, saat hari pertama penghitungan suara PEMIRA UI. Seorang teman yang kami anggap ‘kaku’ karna tak pernah melibatkan perasaan (logika mulu maksudnya) pun ingin segera melihatnya ketika dikabari ada pelangi. Dan pertanyaannya, “Di mana?” mendapatkan jawaban, “Ya di langitlaahh…”. Tak hanya yang melo dan yang kaku, bahkan yang ca’ur sekalipun terpesona oleh pelangi sore kemarin (maaf ya, temanku yang ngirim sms kemarin… hehe,,).
Mungkinkah karna filosofi kemunculannya? Setelah mendung, hujan deras, seringkali dengan guntur dan kilat yang dapat membawa manusia pada taubat (get it?), angin kencang yang menggigit kulit bahkan tulang,, lalu ia muncul dengan indahnya bagaikan sebuah gairah baru untuk berbenah? Mungkin. Tapi kalau saya sendiri sih, tanpa perlu berpikir kejadian-kejadian apa yang mendahuluinya, secara langsung dan spontan saya akan langsung terpana oleh pelangi. Seringkali saya berhenti apabila sedang berjalan untuk menikmati indahnya. Mungkin karna saya termasuk yang melo kali ya?? Haha, tapi ga sampe pengen nangis kok… melo-melo kan saya penganut aliran Gahar. Hehe…
Jadi, karna apa?
Bekasi, 15 Maret 2009

Wednesday, March 4, 2009

tentang mereka

10:26 AM 3 Comments
Mereka yang selalu membuat aku bangga.
Mereka yang selalu punya inisiatif memulai tanpa perlu dikomando.
Mereka yang selalu punya semangat untuk saling berbagi dan mensolidkan.
Mereka yang selalu punya energi untuk mengembalikan senyum dan keceriaanku.
Mereka yang tidak pernah meninggalkan aku sedih sendirian, tanpa mereka juga ikut bersedih karena kesedihanku (apa sih?).
Mereka yang selalu punya cinta untuk membuat hidupku lebih bergairah.
Mereka yang tak pernah kecewa dengan usaha-usaha mereka meski tak selalu diterima.
Mereka yang disiplin, cepat belajar, dan tak pernah takut pada tantangan.
Membawa semangat baru, selalu baru, untuk berkontribusi terbaik di 'rumah kami'.
Mereka mengajariku banyak hal. Sangat banyak hal.

Mereka
anak-anakku tersayang (anakku nambah 15 orang lagih!!)
Biro PSDM BEM UI 2009,
PSDM KITA

Wednesday, February 18, 2009

kenapa selalu terlambat?

10:47 AM 12 Comments
uuuuhh, betebetebete...

kalo emang penting,,, mbok ya direncanakan dari dulu,,, kalo mendadak-dadak gini kan berarti ga gitu penting. buktinya belum dipikirkan dengan matang... *apalagi dipersiapkan*

aku punya mimpi. dan sekarang kesempatan itu ada di pundakku, eh, ditanganku. namanya juga kesempatan. kalo amanah, baru di pundak ya?

Wednesday, February 11, 2009

berusaha kembali ngeruhiy,,, heheheh

10:29 AM 6 Comments
bismillah...
Langkah pertama. Aku siap pagi ini. Bertemu dengan "anak-anak" yang sama sejak kemarin. Hyaaa,,, kami selalu berkumpul! Di mana pun. Hampir setiap aktivitas. Dimulai dengan diskusi, pertanyaan-pertanyaan. 1 pertanyaan, 2 pertanyaan, hingga pertanyaan ke-3, duh, sulit. Sebenarnya aku bisa menjawab, catatanku cukup lengkap tentang itu. Beberapa sudah mulai kulakukan. Tapi masalahnya,,, aku takut menjawabnya... gimana dooongg??? Malu juga,,, akhirnya kuminta bantuan Terilita untuk menjelaskan. Satu poin, terpenting. Selanjutnya,,, yah, bismillah, kuselesaikan hingga poin ke-5.
Fhiuuuhhh... berat sekali rasanya...
*maaf yah, ga gitu jelas. soalnya malu kalo diceritain juga. huhuhuuu*

Thursday, February 5, 2009

kenapa baru sekarang?

7:36 PM 18 Comments
“Ribuan langkah kau tapaki, pelosok negeri kau sambangi
Tanpa kenal lelah jemu, sampaikan firman Tuhanmu”
(Izzatul Islam, Sang Murabbi)

Hari ini aku belajar memahami. Sesuatu yang sebenarnya telah kumengerti sejak SMA, awal kuterjunkan diri di jalan ini. Bahwa jalan da’wah hanya mampu dilalui oleh orang-orang yang sedikit. Segelintir hanya, namun mereka dalam barisan yang tersusun kokoh. Sedikit sangat, hingga tarik-menarik SDM menjadi hal yang wajar. Sangat wajar bahkan. Hingga tumpukan amanah dalam pundak para da’I melebihi batas kemampuan yang wajar dalam logika awam. Namun karena Allah kekuatan itu muncul.
Saudaraku, maafkan diriku yang sangat terlambat untuk memahami. Maafkan aku yang terlalu lama menikmati kekanakan yang meraja. Kalian mengajariku banyak hal. Aku paham sekarang.
*Ketika telah kau nafkahkan harta, diri, dan jiwamu untuk da’wah, maka jangan lagi kau pikirkan dirimu seorang. Allah selalu punya jalan yang terbaik untuk jundi-Nya*
Depok, 2 Februari 2009

Wednesday, January 28, 2009

Mereka Tahu Aku (Masih) Mahasiswa

7:33 AM 7 Comments
-dinas pertama, dinas luar kota ^.^-
”Ibu Farah,,,”
”Jadi, Bu, urutan buku yang kecil di bawah, lalu,,,,”

     Subhanallah, pengalaman berharga luar biasa. Dari awal memang tidak sampai sangat panik, tapi tetap saja muncul bayangan-bayangan seram terintimidasi. Aku tidak boleh bersikap dan terlihat seperti mahasiswa, pikirku sejak beberapa hari yang lalu. Tepat pada pagi hari pertama,
”Kebodohan yang yakin akan mengalahkan kepandaian yang ragu-ragu. Keyakinan membuat kita mengupayakan yang terbaik, keraguan mengabaikan bahkan kemampuan terbaik”
sahabatku tersayang mengirim sms demikian. Tepat pagi hari pertama, saat di dalam perjalanan menuju sekolah pertama. Yah, YAKIN. Aku Bisa. Allah akan menolong.
      Di sekolah pertama, aku diperlakukan layaknya, apa yah, seorang tamu ”agak” agung yang baru datang dari kerajaan seberang hendak memberikan ”pencerahan” pada masalah pelik yang melanda masyarakat *hidih, lebai luar biasa*. Yang jelas hal ini membuatku makin merasa yakin, aku bisa ”menaklukkan” mereka. Mereka; guru-guru dan ketidakyakinanku sendiri. Alhamdulillah, sekolah pertama, beres. Ngobrol dengan guru BK, katanya dengan mudah beliau menebak aku mahasiswa. Kepala sekolah lain yang datang, langsung mengasosiasikan aku dengan anaknya yang baru saja lulus kuliah. Berarti usiaku tidak jauh berbeda dengan anaknya (a.k.a, mahasiswa).
      Sekolah kedua, aku dijemput oleh wakil kepala sekolah dan disambut tetap dengan panggilan ’ibu’. Tapi seorang guru di sana, ketika aku sedang sendiri mengurusi berkas-berkas, menghampiriku dan mengajakku ngobrol. Ternyata sejak awal aku turun dari mobil, beliau langsung menebak, ”Ah, ini mah mahasiswa, lagi penelitian kali”... (hohohhhoo,,,skripsiku belum sampai bab 3 sodara-sodarah!!). Padahal aku sudah mengusahakan agar aku terlihat jauh lebih dewasa untuk hari itu! Huhuhuhuuu...
      Sekolah ketiga, esok paginya, aku dijemput oleh seorang guru yang sepertinya memiliki posisi penting di sekolah tersebut. Sepanjang perjalanan, seperti umumnya, kami mengobrol. Beliau banyak bertanya. Awalnya, ”Ibu, dari dinas atau dari universitas?”

Kujawab, ”Universitas. UI”. Kupikir, ’ada kemungkinan aku dianggap psikolog dari UI’.

Blablablaaa, beliau bertanya lagi, ”Ibu tinggal di mana?”
Waktu kujawab Bekasi, ia bertanya lagi, ”Kalau ke kampus, kuliah, dari Bekasi??”

Dalam pikirku, ’o,ow,, dia tau aku mahasiswa. Ah, masih ada kemungkinan kan, dia menyangka aku mahasiswa S2...’

Ternyata beliau bertanya lagi, ”Semester berapa?”
NNAHH!! Ya sudahlah, aku memang masih mahasiswa, sedewasa apapun penampilanku saat itu. *MANA MUNGKIN S2 SAMPAI ADA 8 SEMESTER???*

Monday, January 5, 2009

TETETETEEEETTTT….DHUARR!!- sebuah tinjauan atas fenomena dunia

8:11 AM 1 Comments
-Bekasi, 1 Januari 2009-

Ramai nian malam tahun baru 2009. Suara terompet yang menurutku -maaf- sulit untuk dibilang merdu ‘menghiasi’ jalan depan rumahku. Banyak sekali kendaraan berlalu-lalang, bising sekali. Nonton teve; jalan-jalan penuh,, Ancol dan Taman Mini juga penuhh,,, Seluruh dunia penuuhh!!! Semua bersuka cita merayakan datangnya tahun baru.
Satu hal yang menggelitik benak saya, “TAHU gak ya mereka akan penderitaan rakyat Palestina di saat yang sama???” Hampir semua program berita di semua saluran televisi menyiarkan kabar duka tersebut. Saya asumsikan, mereka tahu.
Nah, pertanyaan berikutnya adalah, “kok bisa ya, mereka masih bersenang-senang bersuka ria di tengah penderitaan ratusan manusia lain di Palestina??”
Asumsi saya berikutnya, sedikit analisis fenomena tersebut berdasarkan teori, afeksi (emosi, perasaan, hati) mereka mungkin belum tersentuh.
Mereka tahu, ya, mereka tahu, secara kognitif (pikiran, pengetahuan). Kognitif mereka telah tersentuh. Tapi mungkin afektifnya belum, baru sekedar ‘kasihan, parah banget’, dll. Sedangkan menurut 3 steps model/change theory dari Lewin, perilaku baru yang menetap dapat dibentuk bila melibatkan afeksi/perasaan seseorang.
Misalnya, saya sih yakin sekali orang yang merokok itu tahu tentang bahaya rokok. Tapi mengapa mereka tidak berhenti merokok? Karena, belum ada suatu peristiwa traumatis/insightful yang “mengguncang” afeksi mereka mengenai bahaya rokok. Kalau ada orang terdekat yang ia kasihi meninggal gara-gara jadi konsumen asap rokoknya, kemungkinan besar ia akan menjauhi rokok.
So, kenapa afeksi mereka belum tersentuh?
Mungkin, yang menderita itu rakyat Palestina. Jauuuhhh sekali dari tempat mereka. Atau, yang terluka hanya “rakyat Palestina”. Bukan siapa-siapa, jadi tidak ada hubungan dengan mereka.
Lain halnya, untuk orang-orang yang merasa bahwa “rakyat Palestina” adalah saudara-saudara yang mereka cintai, bagaikan satu tubuh bahkan. Mereka akan bergerak. Pasti.